3 Januari 2010
C-130 Hercules milik TNI-AU (photo : Indoflyer)
Wacana pilihan untuk meneruskan program retrofit pesawat angkut berat Hercules, C-130 tipe B atau membeli pesawat bekas pakai C-130 tipe H masih bergulir di tingkat Mabes TNI AU. Ketersediaan pesawat tipe H yang bisa cepat didapat dari negara yang menawarkan-untuk menopang misi yang mendesak di lingkungan TNI AU, nyatanya belum menjadi jaminan. Persoalannya, pesawat tipe H operasional yang ditawarkan saat ini masih dipergunakan oleh negara pemakai yang akan beralih ke Hercules tipe J (varian terbaru).
Padahal, untuk bisa mendapatkan tipe J, paling tidak dibutuhkan waktu lima tahun sejak pesawat itu dipesan ke pabriknya. Di sisi lain, program retrofit lima unit Hercules tipe B milik TNI AU, terkendala kurangnya dana karena lingkup teknis untuk mengubah tipe B ke tipe H juga memerlukan biaya tambahan plus perubahan nilai dolar akibat terjadi inflasi dan kenaikan harga yang tidak lagi sama dengan kontrak yang dicanangkan lima tahun lalu.
Berikut pandangan Komandan Komando Pemeliharaan Materiil (Koharmat) TNI AU, Marsda TNI Sunaryo HW dalam wawancara dengan Roni Sontani sehari menjelang perayaan HUT Koharmatau ke-46, 26 Oktober 2009, di Bandung.
Selamat Ulang Tahun ke-46 bagi Koharmatau. Bagaimana kelanjutan proses retrofit pesawat C-130 tipe B batch I yang dilaksanakan di Singapura itu ?
Terima kasih. Retrofit empat pesawat C-130 tipe B batch I di Singapura, dua unit (A-1302 dan A-1305) sudah selesai dan sudah diserahkan kepada TNI AU. Dua pesawat lagi sedang dalam proses pengerjaan di Depohar 10, Bandung. Satu unit (A-1308) pengerjaannya sudah mencapai 56%, satu lagi (A-1312) baru 20%. Pengerjaan dilakukan oleh teknisi-teknisi Koharmatau plus supervisi oleh teknisi Singapura. Ada sedikit permasalahan di wing, karena sayap baru yang lebih lebar dan tinggi itu ada kendala di masalah pengangkutan dari Pelabuhan Tanjung Priok. Ini sedang ditangani. Apakah akan dilepas flap dan aileron-nya atau bagaimana. Target kami, April 2010 untuk A-1308 sudah selesai, sedangkan A-1312 dijadwalkan selesai Juni 2010.
Memang ada perubahan dalam masalah wing ?
Wing baru pengadaannya oleh STA Singapura. Barangnya sudah ada di Singapura. Sayap itu dulu punya USAF yang sudah di retrofit yang kita beli untuk penggantian sayap pada tipe B. Wing yang lama tidak digunakan lagi karena ada penggantian struktur wing dari wing tipe T-6 (dipakai oleh pesawat tipe B) menjadi T-7 (yang digunakan oleh pesawat tipe H). TNI AU memilih untuk mengganti wing daripada melakukan refurbish sayap lama karena memakan waktu cukup lama. Kita minta kepada Amerika, untuk pesawat USAF yang memakai T-7 dan sudah di-grounded bisa dibeli oleh Indonesia. Dua pesawat pertama juga wing-nya beli dari Amerika.
Bila A-1302 mengalami musibah di Papua, bagaimana kondisi A-1305 hasil retrofit di Singapura itu ?
Saat ini digunakan oleh Skadron Udara 32, Malang. Telah masuk sekitar September 2009. Hasil evaluasinya bagus, system avioniknya bagus, flight control-nya bagus, semuanya oke. Tidak ada masalah.
Mengenai rencana retrofit lima Hercules tipe B lainnya, apakah akan dilanjutkan ?
Lima pesawat itu akan menjalani retrofit program yang kedua. Saat ini proses administrasi untuk kontraknya baru sampai di Dephan. Namun ada perkembangan dimana terjadi penambahan scope pekerjaan. Yaitu penggantian GTS (Gas Turine Starter) menjadi APU (Auxilary Power Unit) seperti terdapat pada tipe H. Lalu mengganti brake dari single disc menjadi multi disc. Kalau empat pesawat batch pertama masih menggunakan sistem lama.
Apakah hal itu menimbulkan kendala baru ?
Kendalanya ada pada kontrak, yaitu nilai anggarannya masih sama dengan nilai anggaran pesanan awal. Lalu, apa mungkin ada mitra kerja yang mau membantu. Jadi sekarang proses masih mencari mitra kerja. Kalau dengan anggaran awal jelas tidak akan mencukupi. Dengan penambahan scope kerja itu biaya yang dibutuhkan adalah 18,5 juta dolar AS per satu pesawat. Akhirnya, diputuskan tidak diambil karena uangnya tidak cukup. Maka kontrak kembali ke 12,7 juta dolar. Masalahnya lagi, itu harga lima tahun lalu. Dengan inflasi dan harga-harga yang sudah naik, harus dievaluasi ulang oleh Mabesau.
Mabesau pernah menyatakan bila biaya retrofit lima pesawat Hercules tipe B nilainya sama atau lebih mahal disbanding membeli tipe H, sebaiknya beli tipe H saja, asalkan ada penawaran cepat.
Betul, namun masalahnya adalah tipe H yang pernah ditawarkan kepada TNI AU oleh Menhan Amerika itu sebenarnya adalah tipe H yang masih dipergunakan oleh Negara-negara lain yang akan membeli tipe J. Sedangkan kalau membeli tipe J, maka kira-kira lima tahun yang akan datang baru dapat pesawatnya dari pabrik. Sehingga, bila kita butuh dalam waktu cepat, saya kira itu sesuatu yang mustahil. Belum lagi kita juga belum tahu kondisi pesawat sebenarnya.
Penawaran itu datang antara lain dari Norwegia juga kan ?
Katanya demikian, namun kita perlu konfirmasi secara pasti ke mereka. Kalau kita mau beli dari Norwegia, kita juga harus dapat rilis dari Amerika. Dulu juga banyak penawaran, termasuk dari Australia. Tapi kan masih cukup panjang prosesnya. Yang saya rasakan, setiap ada informasi kita tidak pernah mengklarifikasikannya secara tuntas. Kalau memang perlu, cek fisik sekalian agar tahu kondisi sesungguhnya. Jadi tidak terbatas pada wacana. Perlu diingat pula, Kredit Ekspor yang sudah dicanangkan itu adalah untuk retrofit lima Hercules tipe B.
Apakah mungkin KE untuk retrofit itu dialihkan menjadi pembelian tipe H ?
Secara prinsip bisa, asal dengan surat menyurat yang jelas disertai alas an yang jelas juga. Tapi ini sebenarnya program KE anggaran 2005-2009, menurut saya janganlah dialihkan. Soal nanti ada penawaran lagi, maka kita bisa pergunakan program KE 2010-2014. Saya dulu pernah menyarankan kalau dana retrofit lima Hercules tidak mencukupi, ya pakai saja untuk retrofit empat pesawat. Jangan di tengah jalan kita berubah. Meski demikian, keputusan ada di Mabesau. Soal tipe H, jangan sampai biaya perbaikan malah jauh lebih mahal. Contoh, untuk satu mesin, biaya overhaul itu 1 juta dolar AS. Kalau empat mesin berarti 4 juta dolar AS.
Untuk perbaikan mesin, bukankah Depohar 30 sudah mampu ?
Depohar 30 sebenarnya mampu, tapi ada beberapa hal yang masih harus dikirim ke luar. Jadi belum full capacity sekali. Ini kendala juga. Misalnya kita bisa dalam pengerjaan, namun peralatan kita belum punya sehingga pengerjaan tidak bisa dilaksanakan di Depohar 30. Maka ke depan saya berkeinginan, Depohar juga dilengkapi soal peralatan agar mandiri penuh.
Bukankah sudah ada tawaran dari Amerika untuk melengkapi beberapa bengkel itu ?
Dari program FMS Amerika menawarkan program FMF kepada TNI AU. Ini adalah program dana Amerika bagi TNI AU. Tapi, semua pelaksanaan dan pengelolaan anggaran oleh Amerika. Dalam waktu dekat, kami akan mengirim satu pesawat tipe H untuk melaksanakan Periodic Development Maintenance (PDM) di Amerika. Satu akan dikerjakan di Amerika, satu lagi dikerjakan di sini. Saya setuju, karena anggota saya akan melaksanakan training di sana sehingga mereka tahu capability dari source of repair di Amerika supaya ilmunya juga bisa dibawa ke Indonesia. Kita juga akan tahu betul butuh peralatan apa saja. Ini akan saya upayakan. Di samping aitu saya akan minta agar sebagian uangnya bisa dipergunakan untuk memback-up perlengkapan bengkel propeller di Depohar 10 bisa jadi yang terbesar di Asean, mengalahkan Singapura.
Kalau masalah ketersediaan suku cadang untuk pesawat Hercules kita bagaimana ?
Supplier masih menyanggupi. Masalahnya hanya terbentur anggaran. Contoh, saya punya lima Hercules di Depohar 10 yang masih menunggu suku cadang. Padahal satu pesawat dengan engine, propeller dan semua komponennya itu, butuh dana Rp 80 miliar per pesawat. Kalau sekarang saya dikasih Rp 80 miliar setahun, maka dana itu habis digunakan untuk menyiapkan pesawat yang ada. Bukan untuk produksi, atau menambah kesiapan pesawat. Bisa saja saya gunakan untuk memproduksi satu pesawat, tapi pesawat-pesawat yang operasional saat ini satu-dua bulan berikutnya sudah tidak bisa terbang lagi. Contoh lain, harga satu engine Dash 15 sekitar 1,5-1,7 juta dolar AS. Kalau empat engine, berarti butuh dana 7 juta dolar AS atau Rp 70 miliar. Ya habis uang saya, padahal itu baru untuk beli empat engine saja.
Berapa sebenarnya ideal anggaran yang dibutuhkan itu ?
Yang mengajukan sebenarnya pihak Dinas Aeronautika. Tapi gampangnya begini, bila kita tetapkan kebutuhan itu adalah bahwa 75% dari pesawat yang dimiliki harus “S”, maka bila kita punya 10 pesawat, berarti delapan pesawat harus siap operasional. Sekarang kalau yang siap hanya lima, maka yang tiga lainnya inilah yang harus diajukan anggarannya, plus biaya untuk kebutuhan perawatan delapan pesawat itu nantinya. Itu baru bicara satu tipe pesawat. Sekarang berapa banyak tipe pesawat yang dimiliki TNI AU? Memang berat, tapi itu faktanya.
(Angkasa, No. 3/Desember 2009)
Padahal, untuk bisa mendapatkan tipe J, paling tidak dibutuhkan waktu lima tahun sejak pesawat itu dipesan ke pabriknya. Di sisi lain, program retrofit lima unit Hercules tipe B milik TNI AU, terkendala kurangnya dana karena lingkup teknis untuk mengubah tipe B ke tipe H juga memerlukan biaya tambahan plus perubahan nilai dolar akibat terjadi inflasi dan kenaikan harga yang tidak lagi sama dengan kontrak yang dicanangkan lima tahun lalu.
Berikut pandangan Komandan Komando Pemeliharaan Materiil (Koharmat) TNI AU, Marsda TNI Sunaryo HW dalam wawancara dengan Roni Sontani sehari menjelang perayaan HUT Koharmatau ke-46, 26 Oktober 2009, di Bandung.
Selamat Ulang Tahun ke-46 bagi Koharmatau. Bagaimana kelanjutan proses retrofit pesawat C-130 tipe B batch I yang dilaksanakan di Singapura itu ?
Terima kasih. Retrofit empat pesawat C-130 tipe B batch I di Singapura, dua unit (A-1302 dan A-1305) sudah selesai dan sudah diserahkan kepada TNI AU. Dua pesawat lagi sedang dalam proses pengerjaan di Depohar 10, Bandung. Satu unit (A-1308) pengerjaannya sudah mencapai 56%, satu lagi (A-1312) baru 20%. Pengerjaan dilakukan oleh teknisi-teknisi Koharmatau plus supervisi oleh teknisi Singapura. Ada sedikit permasalahan di wing, karena sayap baru yang lebih lebar dan tinggi itu ada kendala di masalah pengangkutan dari Pelabuhan Tanjung Priok. Ini sedang ditangani. Apakah akan dilepas flap dan aileron-nya atau bagaimana. Target kami, April 2010 untuk A-1308 sudah selesai, sedangkan A-1312 dijadwalkan selesai Juni 2010.
Memang ada perubahan dalam masalah wing ?
Wing baru pengadaannya oleh STA Singapura. Barangnya sudah ada di Singapura. Sayap itu dulu punya USAF yang sudah di retrofit yang kita beli untuk penggantian sayap pada tipe B. Wing yang lama tidak digunakan lagi karena ada penggantian struktur wing dari wing tipe T-6 (dipakai oleh pesawat tipe B) menjadi T-7 (yang digunakan oleh pesawat tipe H). TNI AU memilih untuk mengganti wing daripada melakukan refurbish sayap lama karena memakan waktu cukup lama. Kita minta kepada Amerika, untuk pesawat USAF yang memakai T-7 dan sudah di-grounded bisa dibeli oleh Indonesia. Dua pesawat pertama juga wing-nya beli dari Amerika.
Bila A-1302 mengalami musibah di Papua, bagaimana kondisi A-1305 hasil retrofit di Singapura itu ?
Saat ini digunakan oleh Skadron Udara 32, Malang. Telah masuk sekitar September 2009. Hasil evaluasinya bagus, system avioniknya bagus, flight control-nya bagus, semuanya oke. Tidak ada masalah.
Mengenai rencana retrofit lima Hercules tipe B lainnya, apakah akan dilanjutkan ?
Lima pesawat itu akan menjalani retrofit program yang kedua. Saat ini proses administrasi untuk kontraknya baru sampai di Dephan. Namun ada perkembangan dimana terjadi penambahan scope pekerjaan. Yaitu penggantian GTS (Gas Turine Starter) menjadi APU (Auxilary Power Unit) seperti terdapat pada tipe H. Lalu mengganti brake dari single disc menjadi multi disc. Kalau empat pesawat batch pertama masih menggunakan sistem lama.
Apakah hal itu menimbulkan kendala baru ?
Kendalanya ada pada kontrak, yaitu nilai anggarannya masih sama dengan nilai anggaran pesanan awal. Lalu, apa mungkin ada mitra kerja yang mau membantu. Jadi sekarang proses masih mencari mitra kerja. Kalau dengan anggaran awal jelas tidak akan mencukupi. Dengan penambahan scope kerja itu biaya yang dibutuhkan adalah 18,5 juta dolar AS per satu pesawat. Akhirnya, diputuskan tidak diambil karena uangnya tidak cukup. Maka kontrak kembali ke 12,7 juta dolar. Masalahnya lagi, itu harga lima tahun lalu. Dengan inflasi dan harga-harga yang sudah naik, harus dievaluasi ulang oleh Mabesau.
Mabesau pernah menyatakan bila biaya retrofit lima pesawat Hercules tipe B nilainya sama atau lebih mahal disbanding membeli tipe H, sebaiknya beli tipe H saja, asalkan ada penawaran cepat.
Betul, namun masalahnya adalah tipe H yang pernah ditawarkan kepada TNI AU oleh Menhan Amerika itu sebenarnya adalah tipe H yang masih dipergunakan oleh Negara-negara lain yang akan membeli tipe J. Sedangkan kalau membeli tipe J, maka kira-kira lima tahun yang akan datang baru dapat pesawatnya dari pabrik. Sehingga, bila kita butuh dalam waktu cepat, saya kira itu sesuatu yang mustahil. Belum lagi kita juga belum tahu kondisi pesawat sebenarnya.
Penawaran itu datang antara lain dari Norwegia juga kan ?
Katanya demikian, namun kita perlu konfirmasi secara pasti ke mereka. Kalau kita mau beli dari Norwegia, kita juga harus dapat rilis dari Amerika. Dulu juga banyak penawaran, termasuk dari Australia. Tapi kan masih cukup panjang prosesnya. Yang saya rasakan, setiap ada informasi kita tidak pernah mengklarifikasikannya secara tuntas. Kalau memang perlu, cek fisik sekalian agar tahu kondisi sesungguhnya. Jadi tidak terbatas pada wacana. Perlu diingat pula, Kredit Ekspor yang sudah dicanangkan itu adalah untuk retrofit lima Hercules tipe B.
Apakah mungkin KE untuk retrofit itu dialihkan menjadi pembelian tipe H ?
Secara prinsip bisa, asal dengan surat menyurat yang jelas disertai alas an yang jelas juga. Tapi ini sebenarnya program KE anggaran 2005-2009, menurut saya janganlah dialihkan. Soal nanti ada penawaran lagi, maka kita bisa pergunakan program KE 2010-2014. Saya dulu pernah menyarankan kalau dana retrofit lima Hercules tidak mencukupi, ya pakai saja untuk retrofit empat pesawat. Jangan di tengah jalan kita berubah. Meski demikian, keputusan ada di Mabesau. Soal tipe H, jangan sampai biaya perbaikan malah jauh lebih mahal. Contoh, untuk satu mesin, biaya overhaul itu 1 juta dolar AS. Kalau empat mesin berarti 4 juta dolar AS.
Untuk perbaikan mesin, bukankah Depohar 30 sudah mampu ?
Depohar 30 sebenarnya mampu, tapi ada beberapa hal yang masih harus dikirim ke luar. Jadi belum full capacity sekali. Ini kendala juga. Misalnya kita bisa dalam pengerjaan, namun peralatan kita belum punya sehingga pengerjaan tidak bisa dilaksanakan di Depohar 30. Maka ke depan saya berkeinginan, Depohar juga dilengkapi soal peralatan agar mandiri penuh.
Bukankah sudah ada tawaran dari Amerika untuk melengkapi beberapa bengkel itu ?
Dari program FMS Amerika menawarkan program FMF kepada TNI AU. Ini adalah program dana Amerika bagi TNI AU. Tapi, semua pelaksanaan dan pengelolaan anggaran oleh Amerika. Dalam waktu dekat, kami akan mengirim satu pesawat tipe H untuk melaksanakan Periodic Development Maintenance (PDM) di Amerika. Satu akan dikerjakan di Amerika, satu lagi dikerjakan di sini. Saya setuju, karena anggota saya akan melaksanakan training di sana sehingga mereka tahu capability dari source of repair di Amerika supaya ilmunya juga bisa dibawa ke Indonesia. Kita juga akan tahu betul butuh peralatan apa saja. Ini akan saya upayakan. Di samping aitu saya akan minta agar sebagian uangnya bisa dipergunakan untuk memback-up perlengkapan bengkel propeller di Depohar 10 bisa jadi yang terbesar di Asean, mengalahkan Singapura.
Kalau masalah ketersediaan suku cadang untuk pesawat Hercules kita bagaimana ?
Supplier masih menyanggupi. Masalahnya hanya terbentur anggaran. Contoh, saya punya lima Hercules di Depohar 10 yang masih menunggu suku cadang. Padahal satu pesawat dengan engine, propeller dan semua komponennya itu, butuh dana Rp 80 miliar per pesawat. Kalau sekarang saya dikasih Rp 80 miliar setahun, maka dana itu habis digunakan untuk menyiapkan pesawat yang ada. Bukan untuk produksi, atau menambah kesiapan pesawat. Bisa saja saya gunakan untuk memproduksi satu pesawat, tapi pesawat-pesawat yang operasional saat ini satu-dua bulan berikutnya sudah tidak bisa terbang lagi. Contoh lain, harga satu engine Dash 15 sekitar 1,5-1,7 juta dolar AS. Kalau empat engine, berarti butuh dana 7 juta dolar AS atau Rp 70 miliar. Ya habis uang saya, padahal itu baru untuk beli empat engine saja.
Berapa sebenarnya ideal anggaran yang dibutuhkan itu ?
Yang mengajukan sebenarnya pihak Dinas Aeronautika. Tapi gampangnya begini, bila kita tetapkan kebutuhan itu adalah bahwa 75% dari pesawat yang dimiliki harus “S”, maka bila kita punya 10 pesawat, berarti delapan pesawat harus siap operasional. Sekarang kalau yang siap hanya lima, maka yang tiga lainnya inilah yang harus diajukan anggarannya, plus biaya untuk kebutuhan perawatan delapan pesawat itu nantinya. Itu baru bicara satu tipe pesawat. Sekarang berapa banyak tipe pesawat yang dimiliki TNI AU? Memang berat, tapi itu faktanya.
(Angkasa, No. 3/Desember 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar