14 November 2016

Viper dan Super Hercules, Kuda Hitam untuk TNI AU

14 November 2016


Randall L. Howard (kiri) dan Richard Johnston (kanan) menjelaskan keunggulan-keunggulan F-16V dan C-130J Super Hercules. (photo : Angkasa)

Kompetisi jet tempur dan pesawat angkut militer untuk TNI Angkatan Udara, diprediksi akan makin ketat mengingat sejumlah negara memberikan tawaran menarik kepada Pemerintah Indonesia terkait performa pesawat, transfer teknologi, dan ofset yang menjadi syarat pembelian alutsista dari luar negeri.

Untuk pesawat tempur, selain pengganti F-5 peluang masih terbuka lebar dalam dekade ini mengingat dua skadron Hawk 100/200 yang ada di Pekanbaru dan Pontianak pada 2026 sudah harus punya pengganti karena pada masa itu Hawk 100/200 telah mengabdi 30 tahun di TNI AU. Itu artinya, dalam sepuluh tahun mulai dari sekarang TNI AU sudah harus mengkaji jet tempur mana yang paling cocok untuk menggantikan Hawk 100/200.

Wakil Asisten Perencanaan (Waasrena) KSAU, Marsma TNI Arif Mustofa, memberikan sedikit bocoran kepada Angkasa. Dikatakan, untuk pengganti Hawk 100/200 saat ini ada tiga pesawat yang sedang dikaji. Ketiganya adalah jet tempur mesin tunggal, yakni Saab Gripen, Lockheed Martin F-16 Viper, dan KAI FA-50 Golden Eagle. “Ketiga pesawat ini berpeluang, terutama Gripen dan Viper silakan bertarung,” ujar Arif di Jakarta, 1 November 2016.

Randall L. Howard, Pengembangan Bisnis F-16 Lockheed Martin, dalam ajang Indo Defence 2016 di Jakarta mengatakan, Pemerintah Indonesia tahun lalu telah menanyakan kemungkinan Indonesia membeli F-16V dan meminta penjelasan kepada Lockheed Martin mengenai performa dan harga F-16 Viper. Pemerintah AS pun telah memberikan respons pada awal 2016 dan menyatakan bahwa Indonesia bisa membeli F-16V berikut segala persenjataannya. “Ya, Pemerintah AS telah mengatakan bahwa Indonesia boleh membeli F-16V berikut segala persenjataannya,” papar Howard kepada beberapa jurnalis termasuk Angkasa.

Dijelaskan Howard, F-16V merupakan produk F-16 termutakhir dengan teknologi terkini dari seluruh keluarga F-16 yang telah diproduksi sebanyak 4.500 unit di mana 3.300 unit di antaranya saat ini masih dioperasikan di 24 negara (27 operator).


Model F-16 block 70 Viper untuk TNI AU dipamerkan oleh Lockheed Martin di Indo Defence 2016. (photo : Defense Studies)

“Viper dilengkapi beragam avionik canggih dan radar terbaru AESA. Lockheed Martin bukan pertama kali mengintegrasikan radar AESA, melainkan sudah punya pengalaman seperti pada F-22 Raptor, F-16 Block 60, dan F-35 Lightning II. Radar AESA yang digunakan Viper, punya komunalitas 85% dengan radar yang digunakan pada F-35,” ujar Randy panggilan Randall.

Radar AESA yang dimaksud, tidak lain adalah AN/APG-83 SABR (Scalable Agile Beam Radar) buatan Northrop Grumman yang mulai digunakan sejak 2008. Radar AESA ini merupakan turunan dari radar AESA AN/APG-77 (F-22), AN/APG-80 (F-16 Block 60), dan AN/APG-81 (F-35). SABR terpilih menjadi platform radar Viper karena kemampuannya yang terdepan dan biaya perawatannya yang paling efisien.

Efisiensi dan penghematan lainnya, akan didapat oleh operator Viper karena F-16V memiliki umur penggunaan yang panjang, yakni 12.000 jam terbang, meningkat dari umur rata-rata F-16 yang 8.000 jam terbang.

Randall menambahkan, keuntungan lain bila Indonesia mengoperasikan Viper adalah ketersediaan dukungan F-16 yang sangat luas di seluruh dunia. Dengan produksi yang sangat banyak, 3.300 unit saat ini beroperasi, tidak ada kekhawatiran Indonesia untuk tidak mendapatkan suku cadang F-16. Demikian jua dengan syarat ofset atau transfer teknologi, Lockheed Martin akan memberikannya kepada Indonesia.

“Perlu Anda ketahui, untuk ofset dan transfer teknologi, Lockheed Martin adalah yang terbesar melakukan hal itu dengan nilai mencapai 45 miliar dolar AS di seluruh dunia. Tidak ada perusahaan lain yang bisa menandingi,” tambah Howard.

Artinya, mengenai ofset, hal itu dipandang bukan sesuatu yang baru bagi Lockheed Martin. “Contohnya kami membuat F-16 di Korea, Turki, Belgia, dan negara lainnya. Dengan Indonesia pun sama. Hal yang bisa dilakukan misalnya produksi bersama komponen F-16,” tandasnya.

Randall berpromosi, dibandingkan pesawat tempur mesin tunggal sekelasnya, F-16V adalah yang terunggul. Pesawat ini terbang lebih cepat, membawa persenjataan lebih banyak, dan radius tempurnya paling jauh. Soal sebutan F-16 Viper dengan Block 70, hal itu dibenarkan oleh Howard. “Ya betul, F-16 Block 70 adalah Viper yang menggunakan mesin buatan General Electric, sementara Block 72 adalah yang menggunakan mesin Pratt & Whitney,” ujarnya.

C-130J Super Hercules


Model C-130J untuk TNI AU dipamerkan oleh Lockheed Martin di Indo Defence 2016. (photo : Angkasa)

Bersamaan dengan penawaran F-16 Viper, pihak Lockheed Martin juga memberikan penawaran untuk pesawat angkut militer C-130J Super Hercules yang di Indonesia masuk katagori angkut berat. Pesawat ini merupakan varian terbaru dari keluarga Putra Dewa yang telah menjadi legenda hidup hingga saat ini sejak diproduksi tahun 1954.

Richard Johnston, Wakil Presiden Internasional Pengembagnan Bisnis Mobilitas Udara dan Misi Maritim Lockheed Martin, menyatakan, hingga saat ini total C-130 Hercules yang telah diproduksi di dunia mencapai 2.500 unit. Pesawat ini digunakan di 60 negara dengan pencapaian total 30 juta jam terbang hingga saat ini.

Lockheed Martin menawarkan C-130J kepada Indonesia sebagai penambah kekuatan armada C-130 B/H/HS/L-100-30 yang sejak 1960 (varian B dan KC-130B) mengabdi di TNI AU serta terbukti kehandalannya. “C-130J punya kemampuan multiperan, baik sebagai pesawat angkut militer, pesawat maritime, tanker, medevac, pemadaman api, dan sebagainya,” ujar Johnston.

Dari sisi kapasitas, C-130J dengan mesin baru, propeler baru, dan bahan material baru, mampu mengangkut kargo hingga 20 ton dengan tingkat efisiensi 47% lebih murah dari pengoperasian C-130 sebelumnya. “Pesawat ini hanya butuh satu pilot, satu kopilot, dan satu load master. Prinsipnya hanya itu karena pesawat telah dilengkapi beragam avionik digital (termasuk HUD) yang menunjang kerja pilot. Pesawat ini tidak membutuhkan lagi navigator dan flight engineer,” papar Johnston.

Ditambahkan, keuntungan lain menggunakan C-130J bagi operator Hercules adalah karena adanya banyak kesinambungan. “Hanggar, fasilitas, dan alat kerja tidak perlu baru lagi. Demikian juga dengan operator dan teknisi, amat mudah menyesuaikan,” tekan Johsnton yang penerbang C-130 (termasuk C-130J) dengan akumulasi 4.000 jam terbang ini. “Pelatihan di pesawat hanya butuh tiga hari dan satu minggu di simulator. Itu sudah cukup,” jelasnya.

TNI AU saat ini memang baru tahap memulai pengkajian baik untuk pengganti pesawat Hawk 100/200 maupun kebutuhan untuk pesawat angkut berat melengkapi sejumlah armada C-130.

Yang jelas, baik F-16 maupun C-130 keduanya punya sejarah paling panjang penggunaannya di TNI AU. F-16 sendiri telah digunakan sejak 1989 yang artinya telah 27 tahun dioperasikan TNI AU.

Apakah dengan demikian, kedua pesawat akan menjadi kuda hitam dalam kompetisi dan akhirnya dipilih oleh TNI AU sebagai rekomendasi kepada Kementerian Pertahanan? Belum bisa dikatakan demikian secepat itu.

(Angkasa)

20 komentar:

  1. saranku utk 2017 mulai gunakan pswt gripen dulu. karena biaya operasional dan bbm sangat murah sekali 500 persen daripada sukhoi.. pake dulu..karena dibutuhkan utk patroli yang efesien di seluruh indonesia. idealnya 24 buah. ke depan su 35 diperlukan pada tahun 2019, 2020.. tapi sebaiknya tni beli dulu 6 buah su-35 utk 2017.. utk keperluan operasi penting dan rahasia. tiap su-35 tersebar di seluruh indonesia

    BalasHapus
  2. pswt f16 viper gak bisa dijamin, embergo apalagi adanya programming jahat. karena F22 atau f35 saja udah terintegrasi program. makanya bila indonesia pake integrasi f16 viper makanya mudah DIKUNCI oleh amerika karena sama sama produk amerika

    BalasHapus
    Balasan
    1. @kuntadi

      Bener tuh...f-16 udah dikasi "programing jahat", jadi kalo diterbangkan bisa balik sendiri ke negara pembuatnya.

      ....ini pesawat apa burung merpati?

      Hapus
    2. nggak bisa. itu cuma locking target. kyk nangkap id tiap burungnya.. id nya dipiloti orang amerika, pswt tni nembak rudal, rudal mengenalinya tidak akan menghancurkan. itu khususnya bila amerika menggunakan operasi khusus di indonesia (agresor)

      Hapus
    3. bedanya pswt f16 dan pswt umpan diremote harus pake tempat komputer besar. kalau ini beda, cara pengenalan tentu sulit menghancurkan pst dipiloti amerika bahkan pswt tni sendiri tidak ada susah dilock. kalau latihan bersama, itu cuma taktik. pura2 saling kena. tapi kl pertempuran asli, sudahlah tutup layar..

      Hapus
    4. Lu pikir mesin gripen dari mana kalau bukan dari amerika, selama beli ke negara lain dan belum bisa bikin sendiri ya ada kemungkinan di embargo sama negara lain.

      Hapus
  3. utk pswt angkut, coba condong ke rusia, cina.. kl cina berbahaya, bisa embergo sselama perang indonesia cina.. knp gak manfaatkan produk pswt angkut rusia..

    BalasHapus
  4. buseet semakin gencar rupanya dia!! lanjut embargo

    BalasHapus
  5. Selagi kita gak bisa bikin sendiri dan supaya kita bebas embargo gw tahu jurusnya... Gak usah pake pesawat, haha.. Cukup mbah Darto aja. Alias meriam simbah plus radar moto.

    BalasHapus
  6. Belli senjata buatan barat asing aroma politec lebih berkualitas senjata mau di belli , jangan sampai tni indonesia ke jebak hutang dan ancaman embargo terulang kembali .farian F16 viper tidak terlalu bangus buat indonesia , buat pengganti jet tempur hawk bagus saab gripen delevery on time dan bisa 100% tot bisa di produksi di pt DI bandung .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang bisa tni nerbitin surat utang? Terus kalo beli grippen pasti bebas embargo?

      Hapus
    2. Source code di kita, pabrik di kita, kerja sama di pendidikan juga, plus kemungkinan lawan kita di forseeable future siapa sih? China karena Nine Dash Line mereka di Natuna. Kalo buat bertahan dari China mana diembargo.

      Hapus
  7. Halah gripen jg pake mesin us...di embargo jg tamat, mending gak usah beli pesawat aja kalau takut embargo semua negara bisa embargo

    BalasHapus
  8. Halah gripen itu pake mesin dari as kalau di embargo ya sama aja,kalau gak mau di embargo gak usah beli pesawat aja...selama masih beli ya ada kemungkinan di embargo negara lain

    BalasHapus
  9. beli pesawat paman rusky aja..karena bebas embargo..kalau amrik..enggak jamin karena bisa aja sewaktu- waktu kena embargo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kaya ruski ga pernah embargo aja. Lupa dulu transisi Bung Karno ke Pak Harto diembargo gila-gilaan? Sampe semua MiG, SAMs dan KRI Irian jadi besi tua rongsokan semua? Di politik ga ada teman atau musuh abadi. Yang abadi cuma kepentingan. Tinggal Indonesia aja pinter-pinter manfaatin kesempatan. Barat timur sama semuanya.

      Hapus
    2. Sepertinya dulu itu bukan embargo uni sovyet bos, murni pemerintah kita maunya lbh deketin blok barat secara lagi trend anti komunis kan pasca orla tumbang.

      Hapus
    3. Nope. Begitu orla runtuh, kita kirim MiG-21 kita ke US buat dituker dengan pesawat barat. Sisanya jadi besi tua karena Soviet ga mau kasih kita "maintenance support" lagi. Sumber: wikipedia page MiG-21 bagian Indonesia.

      Hapus
    4. Lah ya itu makanya selama beli dari negara lain ya pasti ada resiko embargo entah dalam bentuk apapun, kalau negara produsen gak sejalan sama pengguna kan. Soal sovyet kenapa gak mau support ya jelas lah orang mereka terlibat perang dingin sama barat dan kitanya berubah haluan jadi pacaran sama barat.

      Hapus