30 Juni 2014

Menhan Tinjau Progres LST Pengangkut Tank Leopard

30 Juni 2014


Kapal LST produksi PT Daya Radar Utama ditargetkan selesai sebelum Oktober 2014 (photo : Kemhan)

Menhan Tinjau Galangan Kapal Pembuat Kapal Pengangkut Tank Leopard

Lampung, DMC -Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro didampingi beberapa pejabat Eselon I di jajaran Kementerian Pertahanan meninjau perusahaan galangan kapal pembuat kapal pengangkut Tank Leopard, PT. Daya Radar Utama, Sabtu (28/6) di Lampung.

Dalam kunjungan tersebut, Menhan dan rombongan diterima oleh Direktur Utama PT. Daya Radar Utama Amir Gunawan. Sebelum peninjauan secara langsung proses pembangunan kapal, terlebih dahulu Menhan dan rombongan menerima paparan dari General Manajer PT. Daya Radar Utama Unit Lampung, Edi Wiyono terkait dengan progres dari pembangunan kapal.

Menhan berharap, pembanguanan kapal yang merupakan pesanan dari TNI AL tersebut dapat selesai pada akhir bulan September 2014, sehingga nantinya sudah siap untuk ditampilkan pada Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun TNI pada Oktober 2014 mendatang di Surabaya. Kapal tersebut menjadi kebanggaan karya anak bangsa sebagai salah satu produk industri pertahanan dalam negeri.

(DMC)

Military Spending on the Rise in Brunei

30 Juni 2014


Brunei may purchase new military equipment in 2014/15 (photo : Royal Brunei Navy)


Territorial disputes in the South China Sea have highlighted the ongoing tensions between China and countries including the Philippines, Vietnam, Taiwan, Malaysia and Brunei Darussalam, with the US also weighing in recently with its proposals for a bigger military presence in the region.

Both Vietnam and Malaysia are undergoing regional military build-ups, and the Philippines doubled its defence budget in 2011 after pledging to conduct joint military exercises with the US.

Meanwhile, Brunei has not been complacent, with additional spending and partnerships shaping the defensive posture of both the nation and the region for coming years.

In late May, the Association of Southeast Asian Nations (Asean) took a step closer towards establishing a formal arrangement for a regional defence industry collaboration during the eighth Asean Defence Ministers’ Meeting (ADMM) held in Nay Pyi Taw, Myanmar.

Defence ministers of Brunei, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, the Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam met to discuss regional defensive needs and future defensive cooperation and concluded the conference by agreeing to a three-year programme.

Defence budget boost

The meeting followed a March announcement by Second Finance Minister Pehin Dato Abdul Rahman Ibrahim about the state’s proposal to increase the government’s defence budget in the 2014/2015 fiscal year.

The budget for the Ministry of Defence, unanimously approved later that month by the Legislative Council, is set to rise by 39 per cent in this financial year to US$719 million. Around 45 per cent of the budget is earmarked for payroll, while recurring expenses represent nearly 24 per cent of the total.

The largest increase however come from the 32 per cent earmarked for “special expenditure”, which in 2013/2014 represented only nine per cent of the budget. Special expenditure includes materials and equipment procurement, with the hike a clear indication that Brunei may purchase new military equipment in 2014/15.

A Royal Brunei Air Force (RBAF) commander was among the first to speak up about the intended use of a budget of around US$183 million.

RBAF Commander Pehin Major General Dato Mohd Tawih told the local media in March, “We are in the process of looking for an aircraft. But from which particular country, you will just have to wait for the announcement.”

The commander also declined to comment on what sort of aircraft, though the RBAF has a fleet primarily comprising helicopters.

Training programmes

The rise in budget may also lead to an uptick in the number of personnel being trained with the government partnering with CAE, a Canadian aviation firm, for the construction of a pilot training centre.

The CAE Brunei Multipurpose Training Centre is expected to be complete in mid-2014 and will be a regional destination not only for pilot training but also for professionals in healthcare and emergency management.

The facility will house PC7 and Blackhawk attack helicopter simulators, which will be used by the RBAF to improve the skills of its pilots as well as the only S92 helicopter simulator in the region for training professionals from the offshore oil and gas sector. To date, eight countries have agreed to send helicopter pilots to train at the centre.

The Republic of Singapore Navy (RSN) and the Royal Brunei Navy (RBN) conducted their annual bilateral naval exercise in early June. Exercise Pelican, as the operation is called, is a programme aimed at deepening the interoperability of the fleets of the RSN and RBN involving naval and helicopter units.

Medical and disaster response

The increased focus on military spending and operations, has also led to a medical and disaster response component. In May, the Asean Chiefs of Military Medicine Conference (ACMMC) was held in Brunei to bring together the regional authorities in combat medicine. The ACMMC, though focused on military medicine, took on a theme of regional cooperation.

Lieutenant Colonel Dr Mohd Hafizul Hj Mohd Hassan, RBAF chief medical officer and ACMMC chair, highlighted the military medical partnership among ASEAN states. “In recent times, we have witnessed remarkable military medical collaboration between nations in response to major disaster in the Asia-Pacific region whether in real-time or in exercises,” he told conference attendees.

In the same month, Brunei hosted the Asean Committee on Disaster Management (ACDM) in a bid to promote regional co-operation.

With the regions’ militaries looking to collaborate, particularly in medicine and disaster response, which have civilian applications, regional countries appear to be also looking towards the peace-time benefits of military build-up.

(Borneo Post)

Lima Tahun ke Depan, BPPT Menargetkan Membuat Pesawat Nirawak MALE

30 Juni 2014


BPPT dengan dukungan dana dari Kementerian Pertahanan menargetkan dalam lima tahun mampu membuat MALE UAV yang mampu terbang lebih 20 jam sehari, ketinggian 20-30 ribu kaki, serta mampu membawa kamera dan radar. (photo : Shephard)

VIVAnews - Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.

"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia. 

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu. 

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya. 

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station. 

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan. 

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa. 

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan. 

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika  di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE). 

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian. 

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya. 

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.

(Viva)

28 Juni 2014

Posisi Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan

28 Juni 2014


Pulau Natuna dan klaim Cina atas Laut Cina Selatan (image : UNCLOS)

RI di Konflik LCS

BENARKAH Indonesia tidak ada sangkut paut apa pun dengan konflik Laut China Selatan (LCS)? Persoalan yang muncul dari jawaban Joko Widodo (Jokowi) pada debat capres (22/6), hingga detik ini masih menjadi perdebatan. 

Secara spesifik, pro-kontra terbagi menjadi dua, apakah Indonesia tidak menjadi bagian dari konflik tersebut dan apakah harus berdiam diri melihat potensi konflik di wilayah ini. Persoalan ini perlu mendapat perhatian karena bisa menjadi indikator untuk mengukur sejauh mana calon pemimpin Indonesia berkomitmen menjaga kedaulatan NKRI dan memahami politik luar negeri. 

Pembukaan UUD 1945 sudah secara tegas mengamanatkan: kepentingan nasional Indonesia adalah menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, keselamatan dan kehormatan bangsa, serta ikut secara aktif dalam usaha perdamaian dunia. 

Memaham konflik LCS memang tidak terlepas dari ambisi China membangkitkan kejayaan imperium masa lalu mereka. Kekuatan raksasa baru dunia tersebut mematok apa yang disebut China 9 dash line yang meliputi 90% area LCS. 

Dalam konflik ini, seperti disampaikan Menlu Marty Natalegawa, Indonesia tidak punya kepentingan langsung karena memang tidak pernah bergesekan secara fisik dengan China seperti ditunjukkan Filipina untuk memperebutkan Scarborough Shoal dan Spratly Islands atau Vietnam untuk dalam sengketa Spratly Islands dan Paracel Islands. 

Kepulauan Indonesia pun tidak ada yang masuk dalam klaim tumpang tindih seperti dialami Malaysia dan Brunei Darussalam di Spratly Islands. Bahkan, Kemenlu China sudah menegaskan bahwa Beijing tidak memiliki perselisihan dengan Jakarta. 

Namun, kita tidak bisa menutup fakta ada irisan di wilayah ZEE. Persoalannya, diperut bumi di bawah laut ini tersimpan cadangan gas dan minyak terbesar di dunia. Berdasarkan data, di wilayah ini salah satunya terdapat blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan 500 juta barel. Total potensi gas bahkan diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik. 

Cadangan ini tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Apakah China tidak tertarik dengan kue yang demikian menggiurkan? Apakahklaim LCS sebatas romantisme historis, tidak bermuatan politis dan ekonomis. 

Fakta yang ada, Negeri Tirai Bambu itu sudah memasang rig pengeboran di kawasan yang diperebutkan dengan Vietnam dan sempat memicu gesekan. Karena itulah, seusai berkunjung ke Beijing, Agustus tahun lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko secara lantang mengatakan, ”Kami adalah negara yang berdaulat, kami akan melindungi wilayah kami dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan kami.

”Secara konkret, TNI sudah membangun shelter Sukhoi di Lanud Ranai, Natuna dan sudah mengubah doktrinnya dari defensif-aktif menjadi defensif-ofensif. Sejauh ini, memang belum terlihat kasatmata akan pecah perang. Tapi lihatlah laporan IHS Jane, Asia-Pasifik adalah satu-satunya wilayah duniayang pengeluaran militernya terus tumbuhsejak2008. 

Tentu saja salah satu hotspot-nya adalah kawasan LCS. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta bahkan sudah secara gamblang mengisyaratkan negaranya akan menggeser 60% kekuatan militernya ke Asia-Pasifik mulai 2012 hingga 2020. 

Kini pangkalan AS sudah tersebar di Pulau Diego Garcia, Christmas, Cocos, Darwin, Guam, Filipina, dan sangat mungkin terus berputar hingga Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga Kepulauan Andaman dan Nicobar. Bukankah posisi kita berada di tengahnya? 

Adapun China sudah mendapat lampu hijau membangun pangkalan aju di Timor Leste untuk armada lautnya dan sudah menjajaki medan Samudra Hindia di selatan Jawa. Dengan anggaran militer sangat besar dan terus meningkat rata-rata di atas 11%—pada 2014 ini mencapai sekitar USD131.5 miliar— tidak heran negeri tersebut kini mengebut membuat satu destroyer per tiga bulan hingga terwujud 12 unit DDG kelas 052D dan menambah dua kapal induk lagi dalam enam tahun ke depan. 

Langkah ini dilakukan sebagai persiapan operasi tempur jarak jauh dan penguatan logistik. Diperkirakan pada 2020, China menjadi raksasa sesungguhnya. Di sinilah Indonesia harus memainkan perannya mewujudkan politik luar negeri bebas aktif untuk menciptakan perdamaian dunia. 

Sebagai negara nonblok, sesepuh ASEAN, dan bemper di selatan LCS, Indonesia adalah satu-satunya negara yang bisa mencegah pecahnya perang yang konon bisa menjadi Perang Dunia III. Dengan demikian, presiden ke depan harus bisa juga menjadi pemimpin di level global. (SindoNews)


Skenario perang yang disebut dengan short sharp war, merupakan perang cepat untuk memukul musuh pertama kali dan harus menang (photo : TNI AL)

Merespons Sengketa Kawasan, Pertahanan NKRI Perlu ‘Short Sharp War’

Jakarta, JMOL ** Konsep perang yang disebut short sharp war yang menitikberatkan pada Control, Command, Communication, dan Intelligent (C3I), mutlak diperlukan dalam membangun kekuatan pertahanan negara. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) tahun 2000, Laksamana (Purn) Achmad Sutjipto menegaskan hal tersebut saat ditemui JMOL beberapa waktu lalu.

“Skenario perang yang disebut dengan short sharp war, merupakan perang cepat untuk memukul musuh pertama kali dan harus menang. Perang pertama sangat menentukan, karena sehabis perang pertama pasti ada kekuatan ketiga yang melerai dan kita tidak malu. Jika kita menang maka akan berpengaruh pada perang-perang berikutnya,” ujar Achmad.

Lebih jauh, Achmad mengutarakan bahwa konsep short sharp war yang ditopang C3I akan terjadi di wilayah Indonesia, menghadapi memanasnya situasi kawasan. Sebagai contoh, adanya sengketa Laut Tiongkok Selatan yang sudah sangat nyata ada.

Maka dari itu, sudah sepantasnya Indonesia berbenah terhadap alutsista dan pemutakhiran sistem C3I untuk menghadapi short sharp war dalam waktu dekat.

“Modernisasi dalam hal Command, Control, Communication, Inteligent atau biasa disebut C3I sangat dibutuhkan yang up to date dan real time, dan itu akan mengkover seluruh ruang tempur atau battle space dalam upaya mempertahankan NKRI,” ucapnya.

Kritikan terhadap MEF

Bicara alutsista terkait juga dengan sarana pendukungnya dalam konteks C3I. Jadi, tidak dapat terlepas dengan Minimum Essensial Force (MEF) yang telah ditetapkan hingga 2024 selama tiga tahap.

“Apakah konsep MEF dirancang untuk short sharp war? Tidak. MEF hanya dirancang berdasar feeling the gap atau adanya kesenjangan kita dengan negara tetangga seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan teknologi, dan kesenjangan posisi,” tegasnya.

Pasalnya, dalam perjalanan MEF tahap I kurun waktu 2010-2014, Indonesia masih mengalami kebocoran potensi laut sebesar Rp 40 triliun per tahunnya. Sudah selayaknya pemimpin ke depan meninjau ulang MEF, apakah masih layak atau tidak.

“Saya yakin, kedua capres kita akan meninjau ulang lagi, karena yang namanya kebijakan itu harus dinamis dan fleksibel. Tidak boleh harga mati,” tuturnya.


Ia menambahkan, berubahnya kebijakan dapat terkait kondisi tertentu, misalnya keterkaitan keamanan kawasan di ASEAN dan meningkatnya perekonomian. Kedua hal itu dapat mengubah suatu kebijakan.

(Jurnal Maritim)

Australian Company Wins LHD Sustainment Contract

28 Juni 2014

Nuship Canberra LHD (photo : Aus DoD)

Minister for Defence Senator David Johnston today announced an Australian company had been awarded a multi‑million dollar contract to sustain Australia’s new Landing Helicopter Dock (LHD) ships.

Kellogg, Brown & Root Pty Ltd (KBR) has been awarded the key contract to provide Capability Support Coordinator (CSC) services for the LHDs over the next five years.

“KBR will bring their world-class asset management expertise to the sustainment of Australia’s new LHDs,” Senator Johnston said.

“This will ensure the vessels are always ready to meet their operational commitments, and maximise the availability of the ships throughout their 40-year lives.”

Senator Johnston said the two LHDs were the largest vessels constructed for Navy and the first, NUSHIP Canberra, was scheduled to be commissioned later this year.

Senator Johnston said the CSC contract contained a mix of fixed and tasked services budgeted at a price of more than $52 million over the five-year term of the contract.

“Importantly this contract has the potential to generate up to 50 new jobs in Sydney supporting the LHDs.”

Senator Johnston said the Government was committed to supporting the local ship building industry for a safe and secure Australia.

(Aus DoD)

Super Drone : UAV TNI AD Karya Univeristas Surya

28 Juni 2014

UAV Super Drone karya Universitas Surya (photo : Jawa Pos)

Hanya dalam Enam Bulan, Kalahkan Drone Wulung

PENELITI yang sehari-hari menjabat sebagai direktur Advanced Marine Vehicles Research Center di Universitas Surya tersebut memang sudah lama terobsesi pada dunia penerbangan. Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama lebih dari 20 tahun di bidang penerbangan, doktor lulusan Universitas Nagoya, Jepang, tersebut membuka harapan baru bagi dunia kedirgantaraan dan militer Indonesia dengan menciptakan pesawat tanpa awak yang diberi nama Super Drone.

Berawal dari penunjukan dirinya sebagai penanggung jawab penelitian dan pembuatan drone oleh Universitas Surya yang bekerja sama dengan TNI-AD, Thombi lalu mengumpulkan sejumlah peneliti sebagai tim pembuat Super Drone. Jumlahnya tujuh orang dan semuanya merupakan pakar di bidang aeromodeling.

Tim itu juga diperkuat tim ahli dari TNI-AD. ”Jadi, total tim beranggota 14 pakar,” kata Thombi kepada Jawa Pos saat ditemui Rabu lalu (25/6).

Mantan peneliti BPPT (Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi) itu mengatakan, proyek tersebut nyaris membuat para anggota tim kencing berdiri. Sebab, proyek itu sejak awal ditargetkan selesai dalam enam bulan. Hal tersebut terkait dengan dana yang terbatas, yakni sekitar Rp 1 miliar. Waktu enam bulan itu relatif singkat untuk sebuah proyek pembuatan pesawat tanpa awak. Juga, mulai Oktober 2013 proyek itu dieksekusi.

Meski begitu, Thombi cs tidak lantas mundur. Target waktu yang singkat dan biaya yang terbatas bagi sebuah proyek berteknologi tinggi tersebut mereka jadikan tantangan. Thombi juga perlu memompa semangat timnya agar bekerja keras menyelesaikan proyek itu sesuai dengan target waktu yang dicanangkan.

”Harus siap berpanas-panas. Kalau tidak mau, jangan bergabung di tim ini,” tegasnya.

Dengan berbekal pengetahuan, ketelitian, dan kerja keras, akhirnya Thombi cs berhasil menyelesaikan pembuatan Super Drone dalam waktu enam bulan pada Maret 2014. ”Sepanjang sejarah di Indonesia, yang saya tahu, (pembuatan drone) ini rekor tercepat. BPPT saja itu butuh waktu 15 tahun,” ujar pria kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1966, tersebut.

Tidak hanya selesai membuat bodi, Thombi dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone bisa terbang nyaris sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji coba di lokasi latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat.

Memang menerbangkan Super Drone yang baru jadi tersebut tidak bisa sembarangan. Perlu memperhatikan kondisi cuaca dan arah angin. Sebab, apabila salah memperhitungkan cuaca, drone bisa gagal lepas landas atau jatuh.

UAV Super Drone ketika pertama kali diperkenalkan kepada media (photo : Kostrad)

”Makanya, harus sabar. Kalau tidak bisa hari ini, ditunggu sampai besok hingga cuacanya bagus dan memungkinkan untuk menerbangkan,” terang Thombi.

”Momen yang paling luar biasa adalah ketika melihat drone berhasil lepas landas. Rasanya, terbayar kerja keras kami selama ini,” tambah doktor yang pernah bergabung di Japan Society for Aeronautical and Space Sciences tersebut.

Super Drone karya Thombi dan timnya punya bobot total 120 kilogram dengan rentang sayap 6 meter dan panjang 4 meter. Drone itu mampu membawa bahan bakar bensin hingga 20 liter di udara. Bensin dibawa dengan menggunakan dua tabung yang diletakkan di tiap-tiap sayap. Dengan stok bahan bakar sebanyak itu, Super Drone mampu terbang 6–9 jam dengan daya jelajah sejauh sekitar 100 kilometer. Pesawat itu juga bisa membawa beban seberat 45 kg saat terbang.

Meski bukan drone pertama yang dibuat di Indonesia, terang Thombi, Super Drone akan menjadi bagian dari alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI-AD untuk kepentingan pertahanan negara. Ke depan, Super Drone disempurnakan sehingga dapat digunakan untuk menyerang musuh, seperti Predator Drone milik Amerika Serikat atau Eitan kepunyaan Israel.

”Tidak hanya untuk pertahanan, untuk aksi kombat juga bisa. Misalnya, tabung bensin diganti dengan bom. Minimal dapat digunakan untuk latihan menjatuhkan bom,” terang Thombi.

Menurut rencana, Super Drone dilengkapi dengan kamera pengintai di bagian bawah kepala pesawat. ”Saat ini belum dipasangi karena masih butuh penyempurnaan. Kamera itu mahal harganya. Kalau dipakai sekarang, terus jatuh, saya bisa nangis,” ucapnya.

Kendati demikian, Thombi mengakui bahwa Super Drone masih jauh dari sempurna. Banyak bagian drone di sana-sini yang masih butuh penyesuaian dan penyempurnaan agar dapat digunakan di lapangan.

Menurut Thombi, yang paling sulit dalam penyempurnaan Super Drone adalah menentukan titik keseimbangan pesawat. Thombi, yang menamatkan program S-1 di Jurusan Teknik Penerbangan Texas A&M University, AS, mengatakan bahwa titik keseimbangan dalam pembuatan pesawat merupakan salah satu yang paling vital. Sebab, beda berat 1 gram saja akan memengaruhi posisi pesawat saat berada di udara.

UAV Wulung karya BPPT (photo : Kaskus Militer)

”Kalau mobil atau truk beda berat di samping atau depan-belakangnya, ia masih bisa jalan di darat. Kalau pesawat, akan jatuh. Makanya, bidang penerbangan menuntut untuk disiplin dan teliti menghitung semuanya,” ujar dia.

Sebab, lanjut dia, waktu enam bulan yang diberikan buat penelitian dan penyelesaian drone tidak mencukupi untuk menciptakan drone yang punya kemampuan baik. ”Waktu enam bulan ya hasilnya adalah enam bulan itu. Jangan ini dibandingkan dengan drone milik Israel. Penelitian mereka bertahun-tahun dengan dana yang unlimited. Jadi, harus dibandingkan apple-to-apple,” tuturnya.

Selain bidang penerbangan, Thombi ternyata juga menekuni bidang maritim. Dia pernah terlibat dalam pembuatan kapal laut dan kapal selam kecil untuk keperluan penelitian di salah satu perusahaan pembuat kapal.

Bagi Thombi, sistem kerja pesawat terbang dan kapal selam tidak jauh berbeda karena sama-sama melayang. Bedanya, pesawat melayang di udara, sedangkan kapal selam ”melayang” di air laut. ”Bedanya ada di fluidanya. Yang satu udara dan satunya air,” ucapnya seraya tertawa.

Pengetahuan mengenai udara dan air tersebut dia wujudkan melalui hasil riset berupa perahu hovercraftyang dirancang dapat terbang di atas air. Perahu itu dapat melayang karena dilengkapi dengan sebuah kipas yang mengarah ke bawah dan sayap. Dengan mengatur pada kecepatan tertentu, perahu akan terbang statis setinggi sekitar 1 meter dari permukaan air.

Hovercraft terbang tersebut akan digunakan untuk program iFly yang dia gagas. Proyek itu merupakan program sosial untuk memperkenalkan pengetahuan berbasis teknologi tingkat tinggi kepada anak-anak putus sekolah. Dalam program tersebut, Thombi bakal memperkenalkan perahu terbang karyanya itu dan mengajak anak-anak untuk ikut mempelajari kinerjanya.

”Dengan memperkenalkan teknologi tingkat tinggi, anak-anak jalanan itu akan termotivasi bahwa mereka juga bisa menciptakan teknologi. Mereka punya potensi yang tidak mereka sadari, yaitu otak yang luar biasa,” tegas dia.

(JawaPos)

HMAS Arunta Returns to Sea After ASMD Upgrade

28 Juni 2014


HMAS Arunta on her first day at sea conducting a boat transfer. (photo : Aus DoD)

A significant milestone has been achieved in the Anti-Ship Missile Defence (ASMD) Upgrade Programme with HMAS Arunta setting sail for her sea acceptance trials this week.

Chief Executive Officer, Defence Materiel Organisation (DMO) Mr. Warren King and the Chief of Navy Vice Admiral Ray Griggs, AO, CSC, RAN, together congratulated all those involved in the programme.

Mr. King said the ASMD Project will deliver a capability providing an improved level of self defence against modern anti-ship missiles for the Royal Australian Navy’s ANZAC Class frigates. Arunta was the second of the eight ANZAC Frigates to complete the upgrade.

“This has been achieved by successfully integrating the Australian designed CEA Phased Array Radar with an upgraded SAAB Combat Management System,” Mr. King said.

“This is a world class capability which was proven by HMAS Perth with successful missile firings off the coast of Hawaii in September 2013.”

Mr. King said the ASMD Upgrade Programme, which also includes major maintenance and repair work, is continuing with HMAS ANZAC due to undock and commence Harbour Acceptance Trials in July and the remaining five ships to be upgraded by 2017.

“I acknowledge the success of the programme has been due to the outstanding efforts and collaboration by BAE Systems, SAAB, CEA Technologies, Navy, the DMO, and the Defence Science and Technology Organisation,” Mr. King said.

VADM Griggs joined Mr. King’s praise for the programme’s success.

“This programme provides the ANZAC Class and the Navy with a capability that is world class and will be a contributing feature of our ability to fight and win at sea,” VADM Griggs said.

During the last eighteen months every compartment within HMAS Arunta has been affected with more than 30,000 metres of fibre optic cabling laid. A substantial maintenance package was also completed to ensure compliance with the tenets of seaworthiness.

(Aus DoD)

27 Juni 2014

Kapal Hidro Oseanografi Pesanan TNI AL Dijadwalkan Datang Januari 2015

27 Juni 2014

Kapal Hidro Oseanografi OCEA OSV190 SC WB mempunyai panjang total 60,10 m (image : Gican)

Indonesia Beli 2 Kapal Survei Canggih TNI AL US$ 100 Juta

Les Sables d'Olonne - Survei dan pemetaan laut menjadi faktor penting bagi pertahanan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) membeli dua kapal survei canggih dan berteknologi tinggi dari Prancis. Kedua kapal ini dibeli dengan harga US$ 100 juta. 

Kedua kapal ini tengah dikerjakan oleh OCEA S.A. di galangan kapal pelabuhan di Les Sables d'Olonne, sekitar 620 KM dari Paris. Kesepakatan pembelian dua kapal BHO (bantu hidro dan oseanografi) sudah diteken pada Oktober 2013 lalu dan merupakan tindak lanjut atas hubungan kerja sama pemerintah Indonesia dan Prancis. 

"Dulu, sebetulnya yang ikut tender juga Korea Selatan. Tapi, setelah dikaji mendalam, termasuk alat-alat dan teknologi yang digunakan, akhirnya diputuskan memesan kapal dari Prancis," kata Kepala Badan Perencanaan Pertahanan (Kabaranahan) Laksda TNI Rachmad Lubis di sela-sela memantau proses pembuatan kapal di Les Sables d'Olonne, Kamis (26/6/2014). 

Kapal ini akan dilengkapi dengan peralatan canggih di bidang oseanografi. Misalnya, kapal ini akan memiliki teknologi untuk memetakan bawah laut hingga kedalaman 6.000 meter. Juga dilengkapi dengan teknologi multi bim yang bisa mencatat gelombang dan frekuensi bawah laut dengan tepat. 


"Jadi nanti kapal ini selain bisa digunakan untuk pemetaan laut dan survei, juga bisa mendeteksi benda-benda di laut, seperti dalam pencarian pesawat yang jatuh, dan lain-lain. Kapal ini nanti juga bisa mendeteksi kapal selam musuh yang sedang sembunyi di bawah laut," kata Dan Satgas BHO, Kolonel Budi. 

Fungsi utama dari kapal ini adalah untuk pemetaan dan survei di wilayah perairan Indonesia. Data-data ini sangat penting bila Indonesia mengalami hal terburuk seperti perang. Begitu ada perang, TNI sudah memiliki data-data dari survei dan pemetaan ini, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat terkait pertahanan. 

Saat ini data pemetaan laut Indonesia sudah tidak diupdate berpuluh-puluh tahun, terutama di perairan kawasan timur. Dengan adanya dua kapal survei canggih ini, Indonesia akan bisa memperbarui data-data pemetaan bawah laut di semua perairan Indonesia. Karena kapal survei, maka di kapal ini juga dilengkapi laboratorium-laboratorium yang canggih. 

Sementara Kepala Pusat Pengadaan (Kapusada) Kemhan Marsma Asep S mengatakan desain kapal survei ini diputuskan melalui koordinasi yang mendalam antara Indonesia dengan OCEA. "Desain mengalami penyempurnaan-penyempurnaan. OCEA mengusulkan desain awal, kemudian Indonesia mengoreksi sesuai yang diinginkan kita," kata Asep. 

Kapal pertama akan selesai dibuat pada akhir September 2014. Setelah melalui serangkaian administratif, pemberian nama, dan upacara serah terima, kapal ini diperkirakan akan tiba di Indonesia pada awal Januari 2015. Sedangkan kapal kedua, direncanakan selesai dibuat pada Agustus 2015 dan akan tiba di Indonesia bulan September 2015. (Detik)


Kapal Survei TNI AL Dilengkapi Senjata Kaliber 12,7 mm dan 20 mm

Les Sables d\'Olonne - Beberapa bulan lagi TNI AL memiliki kapal survei modern yang canggih dan keren berteknologi tinggi. Kapal yang tengah dibuat di Prancis ini ‎dilengkapi peralatan survei terbaru dan juga senjata kaliber 12,7 mm dan 20 mm. Senjata ini digunakan untuk pertahanan diri. 

Senjata kaliber 12,7 mm terdiri dari dua pucuk, akan dipasang di anjungan samping kanan dan kiri. Sedangkan senjata kaliber 20 mm akan dipasang di anjungan bagian depan. 

"Senjata ini tidak besar, karena hanya sebagai self defence," kata Dan Satgas BHO (Bantu Hidro dan Oceanografi) Kolonel Budi Purwanto di sela-sela meninjau pembuatan kapal survei untuk TNI AL di galangan kapal pelabuhan Les Sables d'Olonne, Kamis (26/6/2014).

Kapal ini akan dilengkapi juga dengan laboratorium yang berteknologi modern. Kapal juga dilengkapi dengan ruang-ruang tidur tamtama, bintara, dan perwira yang cukup nyaman, karena untuk pemetaan dan survei, personel akan berada di tengah laut hingga berhari-hari. Begitu juga ada ruang makan dan ruang pertemuan yang baik. 

Kapal ini akan diawaki sekitar 41 personel, termasuk peneliti dari TNI AL. Rencananya pada bulan Juli nanti, 41 personel ini akan berangkat menuju Prancis untuk melakukan training dan pengenalan kapal. Mereka nanti yang akan membawa kapal survei pertama ke Indonesia di akhir 2014. Diperkirakan butuh waktu 5 minggu untuk membawa kapal berbobot 500 ton dari Paris hingga tiba di Indonesia. 


Kelebihan kapal ini adalah bodi kapal terbuat dari alumunium dan baja, sehingga tidak cepat berkarat. Kapal dengan panjang 60 meter dan lebar 11 meter ini juga akhirnya memiliki berat yang lebih ringan, hanya 500 ton. Padahal, kapal-kapal dengan ukuran yang sama bisa mencapai 1.500 ton. 

Lantas, apakah kapal ini akan mudah tergoyang oleh ombak karena berbobot ringan? Ternyata tidak. Saat ini telah ada teknologi baru menggunakan dynamic tank yang bisa membuat kapal lebih stabil dari goncangan ombak, meski hanya 2,5 meter bagian bawah kapal yang masuk ke dalam air laut. "Dengan bobot 500 ton, penggunaan BBM juga pasti akan lebih efisien," kata salah seorang perwira Satgas BHO. 

Saat ini 6 perwira dari Dinas Hidros (Hidro dan Oseanografi) TNI AL terus memantau pembuatan kapal survei ini. Indonesia memesan dua kapal survei dengan biaya US$ 100 juta. Kapal pertama akan selesai bulan September 2014 dan akan tiba di Indonesia awal Januari 2015. Kapal kedua akan selesai bulan Agustus 2015 dan akan tiba di Indonesia pada September 2015. 

Fungsi utama kapal ini adalah untuk pemetaan dan survei di wilayah perairan Indonesia. Data-data ini sangat penting bila Indonesia mengalami hal terburuk seperti perang. Begitu ada perang, TNI sudah memiliki data-data dari survei dan pemetaan ini, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat terkait pertahanan. 

Kapal ini juga bisa dengan cepat mendeteksi benda-benda asing dan mencurigakan di bawah laut, seperti bangkai pesawat yang jatuh atau kapal selam musuh. Kapal ini dilengkapi dengan alat-alat pemetaan tiga dimensi dan bisa menjangkau pemantauan hingga kedalaman 6.000 meter.

(Detik)

First Royal New Zealand Air Force Beechcraft T-6C Takes Flight

27 Juni 2014

The first RNZAF T-6C takes off. (all photos : RNZAF)

The first RNZAF Beechcraft T-6C advanced trainer has made its first flight from Beechcraft’s Wichita facility in Kansas on June 10.

The aircraft – NZ1401 – made the flight with a Beechcraft company crew at the controls and lasted two hours, and functionality checks such as flight performance and handling characteristics were conducted. It will carry the US civil registration of N2824B while the initial flight test program is completed.



New Zealand ordered 11 T-6Cs in January to replace CT-4E trainers in the basic course, and elements of the advanced course currently conducted by the King Air. The first six RNZAF Qualified Flying Instructors (QFIs) are due to commence their conversion to the T-6C in August, and the first four aircraft will be delivered by the end of this year.

The aircraft will be based at Ohakea, and will commence pilot training in mid-2015 by which time all 11 aircraft will have been delivered.

(Australian Aviation)

First 2 F/A-50s to be Delivered in September 2015

27 Juni 2014


F/A-50 model (photo : pdff)

MANILA (PNA) -- Defense Secretary Voltaire Gazmin on Thursday said that the first two South Korean made F/A-50 "Fighting Eagle" jet aircraft will be delivered by September 2015.

But prior this, Air Force pilots with high jet time and maintenance crews, will be first sent to South Korea for briefing and training.

Gazmin expects delivery of the remaining F/A-50s to be completed within two years after the delivery of the first two.

"And after the F/A-50s, we are hoping that we will soon acquire our first modern fighter aircraft," the defense chief said in Filipino.

The Philippines and South Korea signed the P18.9-billion contract for the 12 F/A-50 units last March 28.

The South Korean jet aircraft can be used to redevelop the supersonic capabilities of the PAF whose last supersonic planes, the Northrop F-5 "Tiger", was retired last 2005.

The F/A-50, as per technical specifications obtained from the Department of National Defense (DND), can carry a total of 10,500lbs of weapons including an internal 20-mm automatic cannon, two short-ranged air-to-air AIM-9 "Sidewinder" missiles and air-to-surface AGM-65 missiles for close-air support.

A guidance kit called the JDAM (joint direct attack munition) is also installed into the F/A-50, allowing it to convert unguided or "dumb bombs" into all-weather smart munitions.

These bombs are outfitted with an inertial guidance system that is tied to a global positioning system receiver to guide the deployed munition intended to precisely hit a specific target, and to minimize collateral damage.

This is the first-ever Philippine Air Force (PAF) aircraft to employ such weapons as the Northrop F-5 "Tiger" and Vought F-8 "Crusader" which are the country's first class supersonic fighters do not have the above-mentioned capabilities.

Both planes are only armed with 20mm cannons, air-to-air missiles and unguided bombs and rockets.

The Philippines retired its F-8 fleet sometime in 1990 due to maintenance costs.

Korean Aerospace Industries (KAI)'s F/A-50 has a top speed of Mach 1.5 or one and half times the speed of sound.

The F/A-50 will act as the country's interim fighter until the Philippines get enough experience of operating fast jet assets and money to fund the acquisition of more capable fighter aircraft.

The F/A-50 design is largely derived from the F-16 "Fighting Falcon", and they have many similarities: use of a single engine, speed, size, cost, and the range of weapons.

The aircraft has a maximum speed of Mach 1.4-1.5. 

(PNA)

Indonesian SAMs Break Cover, Promising Enhanced Anti-UAV Capability

27 Juni 2014

Indonesia's new Starstreak-armed light SAM system will also carry LMM, affording the system a surface-to-surface and anti-UAV capability (photo : Jane's)

The new Land Rover-based surface-to-air missile (SAM) systems destined for Indonesia went on public display for the first time at the Defence Vehicle Dynamics (DVD 2014) exhibition at Millbrook Proving Ground on 25 June.

Indonesia ordered the Thales Starstreak SAMs as part of a wider ForceShield air defence package in January 2014 and is understood to have subsequently signed up to acquire Thales' Lightweight Multirole Missile (LMM) in mid-June. Both missiles share a similar physical footprint and are virtually identical from the warhead back, with exactly the same physical connector on their canisters to link into the pedestal mount, enabling the weapons to be carried in mixed loads.


Indonesia's new Starstreak SAM vehicles have been outfitted by Hobson Industries and offer space for six canisterised reloads beneath the firing platform. (photo : Jane's)

LMM is primarily an anti-surface weapon - it has been selected for the UK's new Future Anti-Surface Guided Weapon (Light) requirement, for example - but it also offers a limited air-defence capability. Warrant Officer Graham Chastell, a member of the UK Defence And Security Organisation's Export Support Group, told IHS Jane's that the weapon's shaped charge/blast fragmentation warhead offers a better capability against small unmanned aerial vehicles and slow helicopters than the triple-hittile Starstreak.

Three ready-to-fire weapons are carried on a pedestal mounted on Land Rover 110 twin-cab vehicles, outfitted for the role by Hobson Industries. Modifications include building a flat loadbed with fold-out sides to increase the operator area, mechanical stabilisers to steady the platform and limited shielding on the rear of the cab. The Land Rover's traditional cargo area is retained beneath the firing platform, offering storage for six missile reloads and other spares.


The launcher platform was designed by Hobson Industries to be manufactured and fitted in country by Indonesian sub-contractor PT Len under the Offset Requirements required under the Thales contract. Test firings of the system have been carried out by Thales Missile Systems in Northern Ireland and marked yet another programme first. (photo : Combat & Survival)

Thales refused to specify any delivery dates or discuss build numbers, citing customer confidentiality. However, an Indonesian defence source told IHS Jane's earlier in the year that "the British system consists of five batteries costing USD170 million. Funds have been allocated for both, but the systems have yet to be delivered."

(Jane's)

26 Juni 2014

Amunisi Meriam Caesar 155 Akan Diproduksi PT Pindad

26 Juni 2014

Amunisi meriam Caesar 155 mm (all photos : Detik)

Roanne - Sambil menyelam minum air. Itulah yang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam pengadaan modernisasi alutsista Indonesia. Membeli senjata, tidak hanya sekadar membeli, tapi juga menyerap teknologi. Sebagai contoh, dalam pembelian meriam Caesar 155 yang memiliki daya tembak 39 KM, Indonesia juga memiliki kerjasama dengan Nexter untuk memproduksi amunisinya bersama PT Pindad. 

Bagaimana rupa amunisi berkaliber 155 mm itu? detikcom berkesempatan melihat dan mencoba mengangkat amunisi berwarna hijau di bagian batangnya dan hitam di pucuknya itu. Wow! Sangat berat, berbobot 47 kg. Untuk membopongnya harus menggunakan dua tangan.

Amunisi berbentuk runcing ini terbagi menjadi dua. Bagian pertama adalah bagian tabung yang berisi mesiu. Bagian kedua adalah sumbu (fuse) yang terletak di bagian ujung yang runcing. Di bagian sumbu ini terdapat timer - berisi angka-angka -, untuk menetapkan kapan amunisi itu meledak setelah didorong oleh meriam. 

Beberapa contoh amunisi meriam Caesar 155 ini dihadirkan saat penyerahan 4 Caesar 155 di ruang workshop pabrik Nexter di Roanne, Prancis, Rabu (25/6/2014). Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin juga sempat berdiri lama melihat amunisi dan berbincang serius dengan pihak Nexter. 



Sjafrie telah mengingatkan Nexter agar segera dibahas mengenai koordinasi dalam pembuatan amunisi itu bersama PT Pindad, sebagai bagian dari kesepakatan yang telah ditandatangani. Saat diingatkan hal ini, M Mike Duckworth, Executive Vice President International Affairs Nexter, menyatakan sangat memahami hal ini dan siap melaksanakannya. 

"Tentunya ke depan kita akan kerjasama, Pindad akan berperan dalam membuat amunisi. Inilah target kemandirian industri pertahanan kita. Kita beli senjata, beli amunisi, kita pelajari juga bagaimana membuat amunisi. Mudah-mudahan 5 tahun ke depan Pindad sudah bisa membuat amunisi kaliber besar untuk meriam 155 mm dan bagaimana membuat amunisi besar untuk artileri lain," kata Sjafrie.

Sebelum meninggalkan pabrik Nexter, Sjafrie juga sempat berbincang serius dengan Duckworth dan mengundang Dirut PT Pindad Sudirman Said dan Danpusenarmed Brigjen TNI Sonhadji. Dalam perbincangan itu, lagi-lagi Sjafrie mengingatkan Nexter agar segera berkoordinasi dengan Pindad dalam kerjasama membuat amunisi. Sudirman Said sebagai dirut Pindad dan Duckworth menegaskan siap untuk berkoordinasi. 

Seperti diketahui, Indonesia membeli 37 unit Caesar 155 dengan biaya US$ 141 juta. Harga ini sudah termasuk dengan 2.000 amunisinya. Caesar 155 merupakan meriam berdaya tembak 39 KM yang terangkut truk, sehingga bisa lebih cepat bergerak.

(Detik)

4 of 21 Refurbished Huey Helicopters Now in Clark Field, Pampanga

26 Juni 2014


PAF UH-1H Huey combat utility helicopter (photo : timawa)

MANILA (PNA) -- Four of the 21 refurbished UH-1H “Huey” combat utility helicopters, acquired to beef up the Philippine Air Force, are now in Clark Field, Pampanga and being assembled, Defense Secretary Voltaire Gazmin said on Thursday.

He also stated that they are hoping that the assembly of the four helicopters will be completed in time for the PAF’s 67th founding anniversary this July 1.

Another three is en-route and expected to arrive before the end of July.

Gazmin expects the remaining 14 to arrive before the end of 2014.

Sources said these planes were acquired as the PAF’s “Huey” fleet was whittled down to just 18 helicopters, from an estimated 100, due to airframe aging and accidents.

The contract for the 21 refurbished UH-1Hs is estimated to be worth over Php1 billion. 

(PNA)

Nexter Serahkan 4 Meriam Caesar 155mm

26 Juni 2014
 
Meriam 155mm Caesar TNI AD (all photos : Pindad)

Melihat Meriam Caesar 155 Berdaya Tembak 39 KM yang Dipesan Indonesia

Roanne - Modernisasi alutsista yang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Republik Indonesia tidak hanya dengan memesan tank Leopard, namun juga memesan produk-produk persenjataan canggih lainnya. Salah satunya adalah meriam Caesar 155, sebuah meriam berkaliber 155 mm yang memiliki daya tembak sejauh 39 KM. Meriam ini dibuat PT Nexter, sebuah perusahaan persenjataan di Roanne, Prancis. 

Rabu (25/6/2014) pukul 13.00 waktu Prancis, tiga buah truk bermesin 2.500 cc yang dilengkapi dengan meriam berukuran panjang dan besar itu sudah diparkir rapi di sebuah ruangan besar di pabrik Nexter untuk menyambut Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin dan delegasi. Ini merupakan tiga dari total 37 meriam Caesar 155 yang telah dipesan Indonesia pada 2013 lalu. 


Pabrik Nexter yang memiliki areal sangat luas ini berada di kota kecil Roanne, sekitar 500 KM dari Kota Paris. Untuk menuju Roanne, dibutuhkan sekitar 4 jam perjalanan menggunakan kereta api cepat dari Paris. Bila menggunakan pesawat, Paris-Roanne bisa ditempuh 1 jam 10 menit dan mendarat di bandara kecil Lyon. Dari bandara Lyon, untuk menuju Nexter, hanya dibutuhkan sekitar 15 menit melalui jalan darat. Pabrik ini berada di pedesaan yang sangat tenang dan indah, jauh dari pemukiman. 

Hari itu memang akan digelar ada roll-out, penyerahan secara simbolis, empat unit Caesar 155 kepada Indonesia. Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin mengharapkan empat unit Caesar ini bisa tiba di Indonesia sebelum 5 Oktober 2014. Selain dipamerkan 3 unit Caesar 155 yang sudah diselesaikan, di ruangan bengkel itu juga telah disusun sekitar 100 kursi untuk tempat duduk para undangan yang akan menyaksikan peristiwa bersejarah ini. 

Caesar 155 akan menjadi andalan baru artileri Angkatan Darat (AD) dalam pertempuran. Baru kali ini, TNI AD memiliki meriam yang memiliki sistem bergerak dan memiliki daya jangka tembakan sejauh 39 KM. Meriam ini juga mampu melepaskan 6 amunisi berbobot 47 kg dalam 1 menit. 


"Ini bagian dari modernisasi alat persenjataan AD. Selama ini kita hanya memiliki meriam berkaliber 155 mm yang ditarik dengan truk, sehingga mobilitas kurang cepat," kata Komandan Pusat Persenjataan Artileri Medan (Danpusenarmed) Brigjen TNI Sonhadji sebelum roll-out dilangsungkan. 

Caesar 155 merupakan meriam 155 mm yang selalu digendong oleh truk bermesin Renault ke mana pun bergerak. Truk berbobot 19 ton ini memiliki laju maksimum 82 KM/jam, sehingga sangat ampuh untuk mobilitas tinggi. Konsepnya, dalam pertempuran nanti, setelah Caesar 155 digunakan melepaskan amunisi untuk menghancurkan target, maka alat persenjataan ini bisa langsung berpindah tempat, sehingga sulit dideteksi musuh.


Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin mengakui bahwa Caesar 155 ini menjawab doktrin yang dikembangkan artileri TNI AD, yaitu senjata berdaya tembak dahsyat dengan mobilitas tinggi. Persenjataan canggih ini menjadi kekuatan pokok yang dibutuhkan untuk menambah kemampuan organisasi TNI. 

"Caesar 155 ini adalah alutsista strategis untuk menambah kemampuan dari satuan Artileri TNI AD yang mempunyai daya tembak yang dahsyat 39 KM, ditambah dengan mobilitas tinggi, karena sistem di kendaraan ini, pada saat dia menembakkan 6 proyektil, dia bisa segera bergeser, sehingga antara mobilitas dan deception itu mencakup," kata Sjafrie yang tampak berseri-seri melihat Caesar 155 ini. 


Meriam ini nantinya dioperasikan oleh 5 prajurit. Pada saat truk bergerak menuju sasaran, lima prajurit duduk di dalam kabin, dengan salah satu bertindak sebagai sopir. Begitu tiba di lokasi penembakan, kelima personel ini akan turun dari truk, bahu membahu untuk mengoperasikan penembakan. Satu personel mengambil amunisi, satu personel menyiapkan fuse (sumbu)-nya, satu personel memantau screen komputer untuk menentukan koordinat target serangan, satu personel bertugas memasukkan amunisi, dan 1 personel sebagai komandan. 

Sistem penembakan di Caesar 155 ini juga telah dibuat otomatis, termasuk proses penyiapan dan pemasukan amunisi ke meriam. Truk ini membawa 18 amunisi yang ditempatkan dengan sangat aman di bagian kanan, sementara 18 fuse-nya ditempatkan di sebelah kiri.

(Detik)

Two Molniya Missile Vessels Successfully Launched

26 Juni 2014


Two Molniya (named M3 and M4) missile guided corvettes for Vietnamese Navy was launched on June 24th (all photos qdnd)

PANO – The Ba Son Shipyard under the General Department of Defence Industry on June 24th successfully launched two high-speed missile ships, designated M3 and M4, for the Vietnam People’s Navy.



The ships with modern weapons and equipment will help the Vietnam People’s Navy increase combat strength and firmly protect the national sovereignty over sea, islands and exclusive economic zone.



Previously, the shipyard launched the two ships of the same kind for the Navy.

(QDND)