20 Februari 2016

Pesawat N245 dan R80 Segera Menyusul Setelah N219

20 Februari 2016

Pesawat penumpang R-80 (images : A Haslim Kompasiana)

Industri dirgantara Indonesia terus menggeliat untuk merespons pertumbuhan industri penerbangan di Tanah Air. Setelah pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia akan terbang perdana dalam beberapa bulan lagi, dua pesawat buatan anak bangsa segera menyusul kemudian, yakni N245 dan R80.

Wartawan Kompas, Dahono Fitrianto dan Hermas Efendi Prabowo, melaporkan, N245 merupakan pengembangan pesawat CN-235 yang juga diproduksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI), yakni dengan memperpanjang badan pesawat sehingga kapasitas angkutnya bisa bertambah dari 44 penumpang menjadi 50 penumpang. Selain itu, pihak PT DI juga akan mengganti mesinnya, dari mesin general electric (GE) pada CN-235 menjadi mesin turboprop buatan Pratt & Whitney pada N245.

“Kami akan menambah sedikit panjang CN-235 dan menghilangkan pintu besar di bagian belakang (ramp door) sehingga bobotnya lebih ringan. Bobot yang lebih ringan ini memungkinkan kami menambah enam tempat duduk lagi,” ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI Andi Alisjahbana di stan PT DI di ajang pameran dirgantara Singapore Air Show 2016, di Changi, Singapura, Rabu (17/2).


Menurut Andi, N245 nantinya akan menjadi kompetitor langsung dari pesawat ATR 42 buatan Perancis-Italia. Saat ini, ATR 42 menjadi satu-satunya pesawat bermesin turboprop dengan kapasitas 50 penumpang yang diproduksi di dunia.

Ia menambahkan, proyek pengembangan N245 ini sudah dimulai dengan tahapan desain awal yang melibatkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). “Prosesnya kemungkinan akan butuh waktu tiga tahun,” ujarnya.

Wakil Presiden Bidang Pengembangan Bisnis dan Pemasaran PT DI Ade Yuyu Wahyuna menambahkan, investasi yang dibutuhkan untuk membuat N245 tidak terlalu besar karena hanya pengembangan dari pesawat yang sudah ada. Diperkirakan, biaya pengembangan pesawat ini hanya sekitar 20 persen dari biaya pengembangan pesawat yang baru sama sekali.


“Biaya pengembangan pesawat yang baru sama sekali membutuhkan investasi sekitar 800-1.000 juta dollar AS. Sementara ini kami perkirakan hanya membutuhkan biaya 150 juta dollar AS,” ujar Ade Yuyu.

Selain N245, pesawat lain buatan Indonesia yang akan segera menyusul adalah R80 yang tengah dikembangkan PT Regio Aviasi Industri (RAI).

Menurut Komisaris PT RAI Ilham Habibie, saat ini tahapan desain konseptual sudah 80 persen rampung. Begitu desain konseptual selesai, tahapan desain detail akan dimulai tahun depan.

“Saat ini tinggal satu-dua pengujian di windtunnel (terowongan angin) di Puspiptek, Serpong,” tutur putra mantan Presiden BJ Habibie ini saat ditemui di Singapore Air Show 2016, kemarin.


Renegosiasi Airbus

Maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia melakukan renegosiasi pembelian pesawat Airbus. Renegosiasi dilakukan untuk mendapatkan harga beli terbaik agar pesawat Garuda Indonesia bisa lebih berdaya saing.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Arif Wibowo menyatakan hal itu setelah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan produsen pesawat Airbus.

MOU meliputi peningkatan dukungan pelatihan pemeliharaan pesawat untuk GMF AeroAsia dan rencana kajian bersama revitalisasi armada Airbus.

Menurut Arif, dari total 11 armada Airbus yang dibeli Garuda Indonesia, empat sudah berhasil direnegosiasi. “Penurunan harga sampai 20 persen,” katanya.

Tujuh pesawat Airbus lainnya masih dalam proses renegosiasi. Arif mengatakan, Airbus sudah mulai menjual pesawat-pesawat terbaru A320neo dan A330neo.

Dengan renegosiasi itu, diharapkan Garuda Indonesia bisa mendapatkan harga pembelian pesawat Airbus baru yang lebih murah.

(Kompas)

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. PT.DI harusnya sudah bisa bantu TNI AU dalam penyediaan pesawat Coin Propeler jadi tidak harus beli dari brazil (S.Tucano) atau Korea (wong bee), saya yakin PT.DI sdh mampu dan negara lain pasti akan berminat

    BalasHapus
  3. Pada proyek Bimasena I di masa Soeharto, pengadaan F-16A/B, IPTN mendapat imbal offset komponen F-16, kalau tidak salah.

    Bahkan di zaman Soekarno, Nurtanio dkk sudah secara otodidak membuat prototipe pesawat kecil dan helikopter.

    Jadi, masalah mendasar itu bukan pada bisa atau tidaknya PTDI membuat pesawat seperti KT-1B atau EMB-314, tetapi soal arah dan kemapanan kebijakan dari bangsa dan negara ini.

    Contoh, PTDI sudah disapih oleh pemerintah, menjadi BUMN untuk bisnis berkeuntungan / profit oriented. Sehingga prioritas utama utk membayar gaji karyawan ya harus dgn membuat pesawat yg banyak dibeli dan menguntungkan.

    N219 dan N245 merupakan langkah2 yg tepat demi menjaga berlanjutnya PTDI. Termasuk NC-212 (PTDI adalah satu2nya produsen di dunia, Airbus sudah tidak produksi di Eropa) dan CN235.

    BalasHapus