23 April 2015

Kisah Pesawat Bekas Pakai di TNI AU

23 April 2015


Pesawat MiG-21 AURI (photo : Davidelit)

Pesawat tempur F-16 Fighting Falcon milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara yang batal tinggal landas dan kemudian terbakar di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (16/4), merupakan bagian dari rangkaian panjang keberadaan pesawat bekas pakai yang dioperasikan TNI AU.

Era Orde Lama, kekuatan TNI AU dengan beragam pesawat tempur, seperti MiG-15 hingga MiG-21, pesawat pengebom Il-28 hingga Tu-16 KS, berhasil menjadi daya tangkal yang ikut membuat Amerika Serikat mendesak Belanda ke meja perundingan terkait Irian Barat yang akhirnya berhasil dimenangi Indonesia.

Namun, setelah peristiwa 1965 hingga 1970-an, kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AU cukup memprihatinkan. Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, menuturkan, saat itu, sejumlah pesawat tempur eks Perang Dunia II, seperti P-51 Mustang dan pesawat pengebom B-25 Mitchell, terpaksa digunakan TNI AU dalam Operasi Seroja di Timor Timur pada 1976.


Pesawat T-33 Thunderbird TNI AU (photo : Alex Sidharta)

Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim, dalam kumpulan tulisannya, mencatat, pesawat angkut era Perang Dunia II, DC III Dakota, juga digunakan sebagai gunship (pesawat dukungan tembakan dengan senapan mesin berat di bagian belakang pesawat) dalam operasi di Timor Timur.

Dengan didukung oleh Blok Barat yang dimotori Amerika Serikat, rezim Orde Baru memang melakukan modernisasi terhadap pesawat TNI AU. Langkah itu, antara lain, dilakukan dengan menerima hibah pesawat bekas pakai, yakni F-86 Sabre eks RAAF Australia dan jet latih T-33 Bird dari pangkalan militer AS di Subic Bay, Filipina, pada 1973. Pesawat yang didatangkan dengan memakai sandi Peace Modern itu lalu berpangkalan di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur.


Pesawat F-86 Sabre TNI AU (photo : macan8)

Kedua jenis pesawat tersebut juga dilibatkan dalam Operasi Seroja bersama dengan pesawat-pesawat era Perang Dunia II. Salah satu kecelakaan yang terjadi adalah saat sebuah T-33 jatuh di Kota Blitar, Jawa Timur, 20 Juni 1980, di tengah latihan bersama Indonesia-Malaysia.

Modernisasi pesawat TNI AU berlanjut pada 1979-1980 dengan mendatangkan pesawat tempur bekas pakai Israel, A-4 Skyhawk. Dalam buku sejarah TNI AU dan kesaksian pelaku sejarah, almarhum Marsekal Muda (Purn) F Djoko Poerwoko, pengadaan pesawat itu dilakukan dalam Operasi Alpha yang berlangsung tertutup. Para pilot dan teknisi TNI AU berlatih di Israel dalam beberapa gelombang. Berita tentang kehadiran A-4 Skyhawk ini "ditenggelamkan" oleh adanya skuadron F-5E Tiger baru dari Amerika Serikat.


Pesawat A-4E Skyhawk II TNI AU (photo : TNI AU)

Pada tahun 2000, salah satu pesawat A-4 Skyhawk jatuh saat patroli rutin di Sulawesi Selatan. Pilot pesawat tersebut, yaitu Letnan Satu (Pnb) Albert Ludwig Inocentus Mare, adalah lulusan terbaik kedua Akabri Udara 1996.

Setelah kejadian itu, A-4 Skyhawk di-grounded. Skuadron Udara 11 kemudian mendapat darah segar dengan hadirnya jet tempur baru Sukhoi 27 dan Sukhoi 30 buatan Rusia.
Modernisasi dengan hibah pesawat bekas berlanjut pada periode terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dengan mendatangkan jet tempur F-16 dari Amerika Serikat dan pesawat angkut C-130 Hercules eks RAAF Australia.

Pesawat baru

Terkait hibah F-16 tersebut, anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menuturkan, rencana awalnya adalah membeli enam F-16 baru lengkap dengan persenjataan. Anggaran yang disediakan adalah 650 juta dollar AS dan berasal dari anggaran 2010. "Entah mengapa pemerintah lalu berubah dan memilih menerima hibah 24 unit F-16 bekas dengan biaya perbaikan 650 juta dollar AS yang lalu membengkak menjadi 800 juta dollar AS pada anggaran tambahan tahun 2013," ujarnya.


Pesawat F-16C/D TNI AU (photo : Andang Tri Prabowo)

Pengamat militer Susaningtyas Kertopati, yang juga anggota DPR 2009-2014, menuturkan, F-16 hibah yang dibuat pada 1980-an tersebut memiliki jam terbang yang masih rendah. Namun, barang bekas pakai tetap memiliki faktor risiko.

Aktivis anti korupsi militer, Al Araf, mengingatkan, keberadaan alutsista bekas akan selalu menimbulkan banyak risiko dan masalah. "Entah pesawat, tank, atau kapal perang bekas tentu tidak akan memberikan kontribusi optimal dalam membangun modernisasi persenjataan. Meski sepintas terlihat murah, biaya retrofit dan pemeliharaan alutsista bekas tetap besar," katanya.

Terkait dengan insiden terbakarnya F-16, pekan lalu, kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna berharap disediakan pesawat baru untuk TNI AU. "Tentu sebagai operator kami berharap bisa mendapat pesawat-pesawat baru," kata Agus yang juga penerbang F-16.

(Kompas)

5 komentar:

  1. untuk kita kedepan tdk perlu membeli ataw memakai pesawat bekas negara lain , baik itu berupa HIBAH,krn resiko nya sangat tinngi, dan tehnologi nya wlwpun sdh di retropit tp tdk 100 persen sempurna, ini resiko bagi pilot tempur kt di udara...

    BalasHapus
  2. mereka tidak pernah belajar...sesuai kata pepatah "barang siapa yang tidak belajar dari sejarah maka dia akan dikutuk untuk mengulang petaka itu sekali lagi"

    BalasHapus
  3. Pesawat Indonesia memang sangat sedikit dibanding kebutuhan, namun kita selama ini mengandalkan Angkatan Darat dan Angkatan Laut

    BalasHapus
  4. Indonesia minimal memiliki Su-27 atau MiG-29 karna 2 pesawat ini sebanding dengan yg dimiliki Tetangga Indonesia seperti Australia, Malaysia, Filipina, Singapura karena mereka menggunakan F-15 dan F-18

    Sukhoi Su-27 dan Mikoyan Gurevich MiG-29 kayanya hampir sama

    BalasHapus
  5. Seharusnya indonesia mampu beli alutsista yg baru. Secara hasil tambang kita bnyak klo dikelola dgn benar. Malu dong sm singapore yg negaranya kecil tp mampu bersaing di dunia internasional....

    BalasHapus