6 September 2009
Kapal selam Changbogo class (photo : RoK Navy)
Departemen Pertahanan (Dephan) belum akan membeli senjata yang menyedot biaya besar. "Semua pengadaan strategis baru teken kontrak mulai 2011," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di Jakarta, Minggu (6/9).
Dia mengatakan, hal itu sesuai pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan fokus kabinet hingga dua tahun ke depan mengatasi kemiskinan dan pembangunan infrastruktur. Kalau pun ada pengembangan kemampuan pertahanan, masih diprioritaskan pada pengadaan armada senjata angkut, seperti kapal angkut dan pesawat angkut.
"Belum pada senjata yang bersifat strategis tempur," katanya.
Artinya, pengadaan dua kapal selam senilai US$700 juta (sekitar Rp7 triliun) terpaksa ditunda. Begitu pula dengan pembelian satu skadron pesawat tempur Super Tucano dari Brazil senilai US$200 juta atau Rp2 triliun. Tucano direncanakan menggantikan OV-10 Bronco yang sudah dikandangkan medio 2007.
Untuk mengimbangi kekuatan tempur negara lain, kata dia, Indonesia fokus melakukan kesetaraan teknologi senjata strategis yang dimilikinya meski dalam jumlah masih belum memadai. Menurutnya, keunggulan keterampilan dan mutu prajurit, pelaut, dan penerbang TNI jadi faktor penggetar yang bisa diperhitungkan.
Pengadaan Kapal Selam Mendesak Dilakukan
Pengamat Militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani menilai, dengan kondisi geografis dan kekuatan pertahanan kawasan saat ini, pengadaan kapal selam mendesak dilakukan.
Dia merujuk kedatangan kapal selam kelas Scorpene pertama milik Malaysia, pekan lalu. Belum lagi Vietnam dan Thailand yang akan segera membeli kapal bawah air tersebut.
"Jadi jangan ditunda-tunda pembeliannya," katanya.
Saat ini, TNI AL telah memiliki dua kapal selam buatan tahun 1980, yaitu KRI Cakra dan Nanggala. Pemerintah merencanakan pengadaan dua kapal selam baru lewat alokasi Kredit Ekspor 2004-2009. Dephan telah mengantongi dua negara produsen, yakni Korea Selatan dan Rusia. Namun, keterbatasan anggaran mengakibatkan pengadaannya tersendat hingga kini.
Jaleswari menyarankan, Dephan dan TNI berani mereduksi alat utama sistem persenjataan yang sudah tidak layak pakai. Anggaran perbaikan senjata lawas tersebut bisa dialokasikan untuk membayar cicilan armada baru.
"Dengan anggaran terbatas tidak perlu bicara kuantitas. Kesetaraan kualitas lebih penting diperhatikan," katanya.
Dia mengatakan, hal itu sesuai pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan fokus kabinet hingga dua tahun ke depan mengatasi kemiskinan dan pembangunan infrastruktur. Kalau pun ada pengembangan kemampuan pertahanan, masih diprioritaskan pada pengadaan armada senjata angkut, seperti kapal angkut dan pesawat angkut.
"Belum pada senjata yang bersifat strategis tempur," katanya.
Artinya, pengadaan dua kapal selam senilai US$700 juta (sekitar Rp7 triliun) terpaksa ditunda. Begitu pula dengan pembelian satu skadron pesawat tempur Super Tucano dari Brazil senilai US$200 juta atau Rp2 triliun. Tucano direncanakan menggantikan OV-10 Bronco yang sudah dikandangkan medio 2007.
Untuk mengimbangi kekuatan tempur negara lain, kata dia, Indonesia fokus melakukan kesetaraan teknologi senjata strategis yang dimilikinya meski dalam jumlah masih belum memadai. Menurutnya, keunggulan keterampilan dan mutu prajurit, pelaut, dan penerbang TNI jadi faktor penggetar yang bisa diperhitungkan.
Pengadaan Kapal Selam Mendesak Dilakukan
Pengamat Militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani menilai, dengan kondisi geografis dan kekuatan pertahanan kawasan saat ini, pengadaan kapal selam mendesak dilakukan.
Dia merujuk kedatangan kapal selam kelas Scorpene pertama milik Malaysia, pekan lalu. Belum lagi Vietnam dan Thailand yang akan segera membeli kapal bawah air tersebut.
"Jadi jangan ditunda-tunda pembeliannya," katanya.
Saat ini, TNI AL telah memiliki dua kapal selam buatan tahun 1980, yaitu KRI Cakra dan Nanggala. Pemerintah merencanakan pengadaan dua kapal selam baru lewat alokasi Kredit Ekspor 2004-2009. Dephan telah mengantongi dua negara produsen, yakni Korea Selatan dan Rusia. Namun, keterbatasan anggaran mengakibatkan pengadaannya tersendat hingga kini.
Jaleswari menyarankan, Dephan dan TNI berani mereduksi alat utama sistem persenjataan yang sudah tidak layak pakai. Anggaran perbaikan senjata lawas tersebut bisa dialokasikan untuk membayar cicilan armada baru.
"Dengan anggaran terbatas tidak perlu bicara kuantitas. Kesetaraan kualitas lebih penting diperhatikan," katanya.
Keren pernyataan menhan.lama2 kopasus ntar bedilnya diganti bambu runcing.biar bawanya bambu runcing yang penting sdm-nya ok,badannya kekar2 n sangar biar tentara neg.lain ciut nyalinya.yg gembrot biar jendral2nya aja.gitu maksud menhan kali ya
BalasHapusYah bginilah .nasib Angkatan Bersenjata Negara ini . selalu dinomorduakan . pda hal sdh banyak prajurit. TNI yg tewas karena pralatan yg sdh ujur. Mungtkin negara mewarisi sifat2 pemerintah Hindia Belanda . semasa perang dunia II. wilayah udara Nusantara hanya dipertahankan 200 unit F4. Bufalo. begitu jg Al KNIL .banyak dihuni. Fregat tua, sehingga dgn mudah Jepang menyapu bersih kekuatan ABCD .yg dikomandai HINDIA BELANDA . menurut ceritatA yg saya baca . AU HIINDIA BELANDA. bagai nyamuk dsemprot baygon .kalah jumlah kalah modern dgn AU JEPANG seharusnya pemipin negri ini berkaca dari pengalaman sejarah.
BalasHapus