Kementerian Negara Riset dan Teknologi segera mewujudkan kemandirian industri pertahanan. Program tersebut akan menjadi fokus pengembangan bagi tenaga riset dan teknologi ke depan.
“Kita yakin ke depan akan mampu memiliki industri pertahanan yang mandiri,” kata Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman seusai semiloka ”Revitalisasi Iptek Hankam untuk Kemandirian Industri Pertahanan 2025” di Jakarta kemarin. Kusmayanto mengatakan, kemandirian dalam industri pertahanan bukanlah hal yang mustahil dan tak mungkin bagi Indonesia.
Terlebih SDM di Indonesia sangat melimpah untuk mewujudkan pembangunan industri pertahanan. Meski demikian, untuk bisa menuju kemandirian perlu ada kebijakan strategis penguasaan teknologi pertahanan, dan keamanan yang selama ini diarahkan pada pemenuhan kebutuhan terutama alat utama sistem senjata (alutsista).
“Peningkatan kapabilitas kemampuan iptek pertahanan dan keamanan di kalangan industri nasional juga sangat penting untuk mencapai kemandirian industri,” ujarnya. Kusmayanto juga menekankan agar ada sinergi antara pemerintah dan seluruh instansi terkait.
Dengan sinergi yang kuat itu, maka akan dihasilkan produk industri pertahanan nasional yang membanggakan guna makin mendorong kemandirian industri pertahanan nasional. Sebelumnya Lapan berhasil melesatkan sejumlah roket. Rencananya, roket tersebut akan dikembangkan ke industri pertahanan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Roket Dislitbangad : aplikasi teknologi roket untuk militer (photo : Bonaparte-kaskus Militer)
Sementara itu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, untuk peralatan tempur berteknologi, Indonesia tergolong masih belum mampu membuatnya. Alat pertahanan hit-tech seperti pesawat tempur dan kapal selam masih tergantung pada industri asing.
“Kemandirian industri pertahanan Indonesia masih terbatas pada teknologi madya seperti kapal patroli cepat, kendaraan tempur panser, senapan serbu, dan lainnya,” tambah Juwono. Meski demikian, tetap diperlukan adanya kerja sama pengadaan alusista dengan luar negeri dengan metode transfer teknologi.Tapi terpenting, untuk menghidupkan kemandirian industri pertahanan perlu ada pasar karena tidak ada teknologi yang berlanjut tanpa ketersediaan pasar. Juwono mengatakan, untuk periode 2010–2014 Indonesia sudah memiliki target dalam mengadopsi produk iptek pertahanan dan keamanan antara lain sistem peluru kendali, sistem turret kendaraan tempur, pesawat udara tanpa awak, kapal patroli cepat, wahana bawah air, komponen pesawat udara dan radar, alat komunikasi dan satelit, serta iptek pendukung keamanan.
Sementara itu, terkait dengan kenaikan anggaran TNI sebesar 20%,Juwono mengaku akan memfokuskan perawatan dan pemeliharaan alutsista. Perawatan pesawat angkut seperti C-130 Hercules, misalnya, memiliki peran strategis untuk digunakan sebagai operasi militer dan nonmiliter.
“Selain perawatan pesawat angkut kenaikan anggaran akan digunakan pula bagi perawatan kapal perang TNI Angkatan Laut dan sejumlah kendaraan tempur TNI Angkatan Darat (AD),” katanya. Untuk mengadakan alutsista hi-tech, seperti kapal selam dan pesawat tempur, akan ditunda mengingat tujuan pemerintah pada 2010 akan memprioritaskan pemulihan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Menhan mengakui, meski pemerintah sudah menaikkan anggaran hingga sebesar 20% atau kurang lebih Rp40 triliun, anggaran tersebut dianggap masih belum memadai. Pasalnya untuk negara sebesar Indonesia, dibutuhkan minimum essential force (MEF) sekurang-kurangnya Rp120 triliun.
(Ristek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar