22 November 2016

Korea Pursuing KFX Technology Through Future Offset Deals

22 November 2016

KFX fighter (image : Chosun)

After the US denied South Korea export licenses for active electronically scanned array (AESA) radar for its future KFX fighter, Seoul is in talks with Washington over acquiring lower technologies for the jet.

In 2015, the US denied Korea’s request for AESA radar, infrared search and track, electro-optical target tracking devices, and jammer technology transfers. During a panel at the Center for Strategic and International Studies in Washington this week, Seoul’s minister of Defense Acquisition and Procurement Administration says Korea will pursue other US technologies while continuing domestic development of its own AESA. Korea’s Agency for Defense Development (ADD) is developing its own radar and the first prototype is slated for late 2020, FlightGlobal previously reported. The country’s defense technology is not yet on par with the US, though the country is making progress, DAPA Minister Myoung-jin Chang says.

When asked what specific US systems are needed for KFX, Chang responded that Korea will continue requests with other offset programmes.

“When it comes to KFX, there are additional technologies that we are awaiting approval from the US government and we are pushing for these to be approved and we look forward to your continued support,” Chang says.

Korea’s indigenous fighter programme is linked to the country’s order of 40 Lockheed Martin F-35As. As part of that deal, Lockheed agreed to assist with development of KFX. But among all the new jet’s capabilities, Korea most wanted the US to transfer the underlying AESA radar technology, which is considered essential to the success of KFX, according to Chang. Northrop Grumman supplies the APG-81 radar for the F-35.

“These are the technologies we cannot get from other sources and puts us in a very tough spot because the research centers in Korea are not able to proceed further without these needed technologies,” he says. “Given that we are focusing all our efforts to acquire these technologies, we have made satisfactory progress and as such the government is pushing for these continuously at this moment.”

(FlightGlobal)

13 komentar:

  1. Gripen E/F udah pake AESA
    Sudah seharusnya dipikir matang2 untuk kepentingan kelancaran proyek ini di masa yang akan datang. Kalau SU-35 dibeli and tidak bisa TRansfer of technology, Gripen bisa dijadikan pilihan untuk mendukung KFX kedepannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yakin bisa dapat teknologi radar AESA dari Gripen? Radar yang ada pada Gripen E/F bukan punya Saab atau Swedia. Leonardo Company itu perusahaan Inggris dan Itali. Mumpung mau ada Brexit, saya rasa dapat teknolginya malah semakin susah.

      Jika ingin dapet teknologi AESA Saab lebih baik beli Erieye, bukan Gripen.

      Hapus
  2. After the US denied South Korea export licenses for active electronically scanned array (AESA) radar for its future KFX fighter, Seoul is in talks with Washington over acquiring lower technologies for the jet.
    hahahahahahahahahahaaaaaaaa....nasib indonesia..dikadalin terus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah berita lama dan Korea lagi research buat bikin AESA sendiri. Yang diban cuma 4 dari puluhan teknologi. Apanya yang dikadalin? Dikira S Korea seneng mereka harus riset sendiri buat 4 itu? Mulut kok asal ngomong kaya pantat kentut.

      Hapus
    2. heh goblok!! mulut lu asal jeplak bisa bahasa inggris ga? "Seoul is in talks with Washington over acquiring lower technologies for the jet"....These are the technologies we cannot get from other sources and puts us in a very tough spot because the research centers in Korea are not able to proceed further without these needed technologies, otak selangkangan!!! riset riset apanya..goblok

      Hapus
    3. Low end tech mah ga usah khawatir. Pasti dikasih karena S Korea udah beli F-35. Orang yang di ban 4 item doang. Kecuali low end tech yg dimaksud salah satu dari 4 item itu.

      "Seoul’s minister of Defense Acquisition and Procurement Administration says Korea will pursue other US technologies while continuing domestic development of its own AESA" Tuh riset yang gua maksud goblok.

      "When it comes to KFX, there are ADDITIONAL technologies that we are awaiting approval from the US government and we are pushing for these to be approved and we look forward to your continued support"

      Artinya apa? Yang dikejar bukan AESA, IRST, dan 2 lainnya (diban) dan mungkin ga termasuk di deal dengan Lockheed Martin. Karena itu extra lagi makanya mereka harus minta izin lagi.

      Jadi apanya Indonesia dikadalin? Dalam bikin pesawat biasa aja kalau ternyata perlu teknologi tambahan dan harus minta izin lagi. Kalau ga siap ada tantangan ini itu ya mandek aja terus cuma beli pesawat tiap kali. Dikira bikin fighter jet gampang? Korea aja perlu waktu lama untuk buat T-50 lah ini pesawat jauh lebih canggih dari T-50 dan Indonesia istilahnya ga ada pengalaman dan pengetahuan yang bisa disumbangin ke Korea. Bilangnya kerja sama, nyatanya kita nebeng sambil belajar dari Korea. Makanya Korea minta bantuan ke US dan EADS termasuk teknologi tambahan yang sekarang ini dan harus minta izin ke mereka.

      Jadi apanya kita dikadalin? Yang goblok siapa? Yang ga bisa baca bahasa inggris dan reading under the lines siapa? Kalo bahasa inggris belum lulus ujian TOEFL dengan skor 100 ke atas jangan belagu sama gua.

      Hapus
    4. And? Walaupun itu "downgrade" tetap masih lompatan yang cukup jauh dari teknologi Indonesia sekarang. Saya juga mau Indonesia beli Gripen untuk pengganti F-5 terutama karena ToT-nya bisa dipakai untuk menyempurnakan IF-X.

      Tapi tetap saja Indonesia harus mencari teknologi versi apapun dari sumber manapun untuk bisa belajar mendesain dan membuat fighter jet sendiri. Target nomor satu tetap kemandirian dalam bentuk apapun. Jika setelah itu mau disempurnakan dengan ToT yang diperoleh dari Gripen atau F-16V terserah.

      Anda tidak perlu terlalu memuja Gripen sampai menghina proyek KFX/IFX. Daripada terlalu fanatik terhadap produk manapun (ala anda dan Muarif) lebih baik realistis dan berusaha mencari segala kemungkinan untuk mencapai kemandirian. Ingat banyak jalan menuju ke Roma.

      Hapus
    5. Terus sampai kapan kita cuma bisa beli dan kecipratan teknologi sedikit-sedikit?

      Lebih baik dua program jalan paralel.

      KFX jalan, dapat ilmu dari Korea + teknologi versi export dari Lockmart. Says tau tech versi itu dikunci. Bukan berarti kita ga bisa modifikasi sendiri dengan tech dari Gripen setelah programnya jadi bukan? Saya bukan bilang teknologi itu yang kita improve, tapi teknologi yang bisa diganti dengan hasil ToT Gripen kita ganti.

      Gripen jalan sebagai pengganti F-5, dapat ilmu dan teknologi dari ToT SAAB yang bisa dipakai untuk menyempurnakan IFX dan eventually bikin pespur sendiri.

      Alhasil kita bisa memperoleh banyak hal dalam waktu yang lebih cepat dibanding kalau kita terpaku pada satu sisi. Lagipula ada jaminan apa bahwa SAAB tidak akan berjanji A lalu memberi kita A-? Indonesia harus selalu punya back up plan.

      Selanjutnya kita bisa kembangkan dan produksi pesawat tempur sendiri dengan hasil darin2 program itu. Lagipula karena IFX dan Gripen platform barat, pasti integrasinya lebih mudah dari pada Sukhoi dengan 2 pesawat itu.

      Dunia ini tidak hitam putih. Selalu ada jalan tengah/alternatif. Membangun kemandirian bisa disupport dengan "versi export"pads tahap awal.

      Hapus
    6. Memang Indonesia hanya partner finansial. Indonesia bisa kontribusi apa di bidang fighter jet development? Istilahnya kita bayar kursus development fighter jet ke Korea yang lebih berpengalaman. Kalau sama SAAB juga ujung2nya sama. Kita bayar dengan beli Gripen, dikasih kursus (ToT).

      Makanya lebih baik dua-duanya jalan. Bisa saling melengkapi. Sekali dayung dua pulau terlampaui.

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Inilah anak bangsa bknna saling mendukung demi kemajuan bangsa..malah berantam...gmn mw maju...??????beda pendapat biasa...

    BalasHapus
  5. masalah teknologi pasti mampu di siasati orang Indonesia.. gak usah di buat heboh.. yg penting buat dulu.. trus utk area penanaman alat teknologi nya di buat agak longgar dikit.. siapa tau kita bisa ciptakan alat yg kualitas sama tapi agak gede dikit syukur syukur bisa lebih kecil. kan ada ruang sisa buat pipis pilotnya.. hahaha... udah bagus juga sukro dikasi beli dgn fasilitas pinjaman.. klo gripen N the other masih harus utang sana sini dan juga blum tentu tot nya iklas iklas an biasa lah blok barat.. ntar minta kompensasi perpanjangan freeport merekanya.. menang sekali kalahnya seribu kali...wkwkw

    BalasHapus
  6. klo masih ada kontrak freeport. newmont.exxon dll di Indonesia berarti gk ada gunanya beli pesawat tempur blok barat..mandul klo kena tekanan perang kepentingan dan ekonomi ..Misal freeport main mata dgn sparatis papua mendadak dech pesawat buatan blok barat ngadat (dalam arti luas) hehhehe apapun yg mampu di buat sendiri jauh lebih baik daripada buatan blok barat dan yakin bisa di pake utk menjaga kesatuan NKRI.. jaya Indonesia

    BalasHapus