UAV Searcher II buatan Israel (photo : Global Security)
Bank Leumi dari Inggris dan Bank Union dari Filipina akan menjadi penyandang dana untuk kredit ekspor (KE) pesawat tanpa awak (unmanned aero vehicle/UAV) Searcher Mk II produk Israel bagi kebutuhan TNI. Saat ini, Departemen Pertahanan (Dephan) masih melakukan negosiasi spesifikasi teknis dan harga dengan Kital Philipines Corp selaku pemenang tender.
''Pembiayaan paling besar dari bank Inggris itu. Tapi kita masih melihat dulu untung ruginya, mana yang lebih murah,'' kata Dirjen Sarana Pertahanan Dephan, Marsekal Muda Slamet Prihatino, Jumat (20/10).
Slamet menjamin pengadaan UAV -- yang mengundang protes kelompok anti zionis Israel -- kali ini sesuai prosedur. Bahkan tim pengadaan Dephan sudah meninjau langsung ke Filipina, Belanda, dan Rusia. Namun hanya UAV dari agen Filipina itu saja yang bisa ditampilkan, diuji terbang, dan memenuhi syarat. UAV Hermes yang diageni perusahaan Belanda sebenarnya bagus namun barangnya tidak bisa ditampilkan.
Pembelian ini menggunakan KE 2005 senilai 6 juta dolar AS. Harga satu unit pesawat UAV juga sekitar 6 juta dolar. Maka, Slamet memperkirakan, pembelian sistem UAV lengkap dengan empat pesawat masih memerlukan KE untuk 2-3 tahun lagi.
Kebutuhan akan UAV diajukan oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI sekitar Februari 2006. UAV ini akan digunakan BAIS untuk kegiatan pengawasan seperti di Selat Malaka. Dalam babak terakhir tender yang diikuti 432 peserta, UAV Seracher Mk II buatan Divisi Malat Israeli Aircraft Industries (IAI), mengalahkan pesaingnya dari Irkut Rusia dan UAV Hermes buatan Elbit Israel yang diageni ELS Ventures, Belanda.
Menurut Slamet, Searcher Mk II digunakan oleh banyak negara. Bahkan sejak peristiwa WTC 9/11, Amerika Serikat mengunakannya untuk memantau keamanan dalam negeri. Sementara negara tetangga juga lebih dulu mengoperasikan Searcher sejak lama. ''Malaysia mempunyai sekitar 15 dan Singapura 35,'' ujarnya.
Saat peristiwa penculikan peneliti asing oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Mapenduma, Papua (1996), Singapura meminjami TNI satu Searcher untuk mencari lokasi penyanderaan.
Dephan berharap pabrikan Searcher bisa melakukan transfrer teknologi kepada industri pertahanan di Indonesia. Namun, lanjut Slamet, itu tergantung seberapa banyak kita membeli dan seberapa besar mereka mau memberi. Setidaknya, Indonesia tak hanya bisa merakit namun bisa membuat komponennya.
Yang paling canggih adalah alat indera yang dibawa UAV. Slamet belum yakin apakah industri dalam negeri siap menerima transfer teknologinya. UAV ini akan dilengkapi kamera, penjejak panas, dan sensor infra merah. Negosiasi untuk pemasangan laser masih berlangsung.
Fox AT-1 yang pernah dibeli pada tahun 1997 (photo : UAV)
Pada 1997 BAIS pernah membeli UAV dari Prancis. Namun ketika dilakukan pengujian di Lapangan Udara Kalijati, Subang, Jawa Barat, kemampuannya mengecewakan. ''Baru diterbangkan sebentar sudah jatuh. Ini jadi pelajaran kita dalam membeli UAV,'' kata Slamet. Saat ini UAV Prancis itu teronggok tak terpakai di Kalijati.
Beberapa tahun lalu juga ada rencana pengadaan UAV dari Afrika Selatan namun dibatalkan karena teknologinya sudah ketinggalan 10 tahun. Sedangkan UAV Searcher Mk II mempunyai kemampuan terbang hingga 20 ribu kaki dengan lama terbang (endurance) 18 jam. Daya angkutnya mencapai 100 kilogram.
India tercatat telah membeli 100 unit Searcher Mk II senilai 750 juta dolar AS. Sekitar 25 unitnya telah dioperasikan di wilayah Himalaya. Pesawat dengan panjang 6,5 meter itu beberapa waktu lalu digunakan Israel secara ekstensif juga menggunakannya selama agresi ke Lebanon untuk memata-matai dan mencari sasaran pejuang Hizbullah. Kini Indonesia akan membelinya dengan KE dari bank negara yang menjadi salah satu sekutu dekat Israel, yaitu Inggris.
Latar Belakang
* Israel secara ekstensif menggunakan UAV selama agresinya ke Lebanon untuk memata-matai dan mencari sasaran pejuang Hizbullah.
* Saat peristiwa penculikan peneliti asing oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Mapenduma, Papua (1996), Singapura meminjami TNI satu UAV Searcher untuk mencari lokasi penyanderaan.
(rto, republika)
(Republika)
Baca juga :
EADS in Dispute with Indonesia Over Unmanned Air Vehicles
Indonesia's Armed Forces Strategic Intelligence Agency (BAIS) is embroiled in a dispute with EADS Defence and Communication Systems over a contract involving unmanned air vehicles (UAVs), according to Jakarta-based sources.
BAIS originally ordered a UAV package worth $10.3 million from CAC Systémes, including four platforms and a ground station. The requirement was for two fixed-wing Fox AT1 drones and two rotary-wing UAVs of an undisclosed type.
(Jane’s)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar