19 Mei 2009

Sekilas CN.235-220M

5 Februari 2007

CN-235 100 milik TNI-AU (photo : Indoflyer)

November lalu TNI AU menerima pesawat baru. Sebuah CN.235-220M resmi menghuni pelataran parkir Skadron Udara 2, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dibanding CN.235-100, sejumlah perbedaan terlihat pada varian ini.

Tepat pada 29 November lalu, sebuah pesawat angkut CN.235-220M registrasi A-2307 resmi jadi bagian kekuatan Skadron Udara 2. Dari pandangan mata awam sekilas sosok fisiknya memang tak beda jauh dengan armada CN.235-100M yang sebelumnya telah dioperasikan satuan angkut udara sedang TNI AU ini. Apalagi sekujur tubuh pesawat dilaburi kamuflase khas yang selama ini telah dipakai. Sekadar tambahan, pesawat yang baru diterima tersebut sebenarnya platform uji coba (test-bed) PTDI. Kode registrasi yang diusung N 19.

Beruntung Angkasa. Saat berkunjung ke Skadron Udara 2 di Lanud Halim, seorang perwira skadron mau menyempatkan diri memberi penjelasan tentang perbedaan diantara kedua varian CN.235 tadi. Jujur, untuk kasus yang satu ini butuh ketelitian ekstra buat mengetahuinya.

Beda Tipis
CN-235 220 Korea Air Force (photo : Scramble)
Perbedaan pertama yang paling gampang dipergoki terletak di bagian hidung. Bagian depan CN.235-100M terasa lebih besar dan lebar ketimbang CN.235-220M. Maklum untuk pesawat lawas, bagian tersebut sudah terisi radar konfigurasi militer buatan Bendix. Walau kapasitasnya terbatas, perangkat ini sudah mampu mengendus target asing di udara dan darat. Sementara untuk varian paling gress masih dibekali radar sipil buatan Collins yang notabene baru bisa mencium kondisi cuaca di depan pesawat.

Bergeser ke ciri fisik lain, giliran sirip vertikal ekor yang jadi perhatian. Soal dimensi sama sekali tak berubah. Namun bila disimak lebih teliti untuk versi CN.235-100M, permukaan sirip (vertical fin) terlihat polos-polos saja. Sebaliknya pada CN.235-220M, di bagian yang sama dilengkapi semacam sayap kecil tambahan. Komponen itu tertanam di sisi kanan-kiri sirip ekor dengan posisi mendekati bodi.

Ciri terakhir yang juga gamblang dikenali secara kasat mata adalah dimensi panjang sponson. Pada versi CN.235-220M penyimpan roda pendarat belakang berukuran lebih panjang. Bisa dikenali lantaran ujung sponson sedikit "melanggar" garis batas perputaran propeller mesin. Sementara untuk generasi sebelumnya ujung sponson benar-benar pas berhenti pada batas garis putar baling-baling.

Melongok ke bagian dalam kabin CN.235-220M, terdapat deretan kursi harness pengangkut pasukan yang terbagi dalam tiga alur (row). Secara teknis fasilitas ini membuat pesawat tak kesulitan menampung sekitar 49 pasukan. Bandingkan dengan seri 100. Urusan mengusung pasukan, varian ini hanya bisa dijejali 35 personel saja.

Dongkrak Kemampuan

Bila kita tengok ke belakang kehadiran CN.235-200 tak lain merupakan upaya duet IPTN-CASA buat meraih perhatian calon operator penerbangan sipil. Muncul di tahun 1990 konsepnya kala itu menciptakan varian CN.235 dengan jarak jangkau lebih jauh ketimbang varian terdahulu. Tak hanya itu. Bobot total pesawat untuk mengudara (MTOW) juga diharapkan terdongkrak.
CN-235 220 Pakistan Air Force (photo : Defence.Pk)


Agar semua rencana bisa berwujud maka sejumlah pembenahan diterapkan. Sebut saja desain struktur maupun aerodinamis. Untuk yang disebutkan terakhir diwujudkan dalam bentuk perubahan desain leading edge sayap serta tambahan sayap kecil pada sirip ekor. Di atas kertas perombakan tadi punya efek. Sebagai gambaran untuk urusan jarak jangkau yang semula hanya bertengger pada angka 834 km, melonjak hingga 1.773 km. Semuanya diukur dalam kondisi pesawat bermuatan penuh (maximum payload).

Selanjutnya soal kapasitas angkut, varian CN.235-220 punya kemampuan sedikit di atas generasi sebelumnya. Hitungan MTOW seri 220 mencapai 16.000 kg, sedang seri 100 terpatri pada angka 15.600 kg. Untuk menyokong bobot yang lebih berat saat mendarat, maka wajar jika sponson jadi lebih panjang. Logikanya ruangan lebih tadi dipakai sebagai tempat atau dudukan suspensi yang lebih kokoh.

Sejumlah pembenahan tadi tak lantas membuat sosok pesawat jadi berbeda jauh. Dimensi pesawat baik panjang fuselage, rentang sayap maupun tinggi tetap sama. Hal serupa juga berlaku pada sumber tenaga. Keduanya tetap mengandalkan mesin turboprop CT7-9C buatan General Electric dengan empat bilah baling-baling.
CN-235 220 United Arab Emirates (photo : Scramble)

Tercatat pada Maret 1992, varian CN.235-200 resmi mendapat sertifikasi kelayakan terbang dari FAA. Dalam perjanjian kerjasama antara CASA dan IPTN (sebelum jadi PTDI) pada waktu itu disebutkan kalau versi yang diproduksi di Spanyol akan menyandang kode CN.235-200. Sedang pesawat yang dibuat IPTN dilabeli CN.235-220.

Dicomot AS

Bagi AS kemampuan CN.235 dianggap layak untuk memenuhi kebutuhan satuan penjaga pantainya (USCG). Terbukti pada bulan Februari 2004, Washington meneken kontrak deangan EADS-CASA untuk pengadaan 36 CN.235-300M versi patroli maritim. Dengan menggandeng Lockheed Martin sebagai rekanan lokal, pesawat yang lantas bersalin kode menjadi HC-235A ini dipatok sebagai platform intai jarak sedang.

Seperti biasa, soal standarisasi tentu saja sedikit dinaikkan. Misalnya mesin, dicomot varian CT7-9C3 dengan harapan pesawat bisa mengudara selama lebih dari delapan jam. Mengarah ke perangkat yang dipasang, AS memilih avionik racikan Rockwell-Collins. Sesuai peruntukannya HC-235A juga dibekali piranti pengintai, platform komunikasi hingga beragam peralatan SAR. Terakhir pesawat dilengkapi sistem perang nubika. Pihak USCG mematok HC-235A sudah bisa beroperasi penuh pada 2017. (Dody Aviantara)

(Angkasa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar