C-130 Hercules TNI-AU (photo : Airliners)
Pemerintah berencana membeli dua unit pesawat angkut jenis Hercules C-130 bekas dengan menggunakan alokasi dana kredit ekspor tahun anggaran 2004 sebesar 45 juta dollar Amerika Serikat, yang akan cair tahun ini.
Demikian disampaikan Dirjen Perencanaan Sistem Pertahanan Departemen Pertahanan Dr Mas Widjaja, Selasa (11/1).
Menurut Widjaja, total kredit ekspor tahun 2004 yang dialokasikan untuk Departemen Pertahanan dan TNI, baik yang terkait dengan rencana pembelian serta perawatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah ada, mencapai 448,8 juta dollar Amerika Serikat (AS).
Selain untuk membeli Hercules, anggaran itu salah satunya juga dipakai untuk proses overhaul kapal selam KRI Cakra milik TNI Angkatan Laut. "Saat ini pesawat Hercules yang dimiliki TNI ada 30-an unit. Akan tetapi, yang bisa dipakai hanya delapan unit. Pemerintah berencana menambah dari delapan unit yang kita punya itu mumpung sudah tidak ada embargo," ujar Widjaja.
Pemerintah berencana membeli pesawat bekas karena harganya bisa jauh lebih murah, bahkan separuh dari harga. Widjaja memperkirakan harga pesawat Hercules C-130 yang baru mencapai 40 juta hingga 50 juta dollar AS.
Menurut Widjaja, pemerintah saat ini harus menetapkan prioritas pembelian serta pengadaan alutsista menyusul minimnya alokasi anggaran yang ada.
"Saat ini ada sekitar 11 titik rawan konflik internal di seluruh wilayah Indonesia macam Poso atau Maluku Utara. Paling tidak, untuk memobilisasi pasukan, kita butuh alat angkut, baik udara, darat, maupun laut," ujar Widjaja.
Tanggapi AS
Sehari sebelumnya, pengamat militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, meminta pemerintah segera merespons tawaran Pemerintah AS yang membuka kembali penjualan suku cadang jenis pesawat-pesawat angkut.
Hal itu, menurut Andi, sebelum isu penghapusan embargo oleh Pemerintah AS bergulir di Kongres AS karena reaksinya boleh jadi justru akan bertentangan. "Pemerintah juga agar mempertimbangkan pembelian pesawat-pesawat angkut menyusul bencana tsunami di Aceh," katanya seusai bertemu dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Senin lalu. Bersama Andi turut beberapa pengamat militer seperti Direktur Eksekutif Propatria Hari Prihatono, pengamat LIPI Ikrar Nusa Bhakti, dan pengamat militer dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Kusnanto Anggoro
Selain itu, terkait dengan rencana pembelian pesawat tempur, seperti rencana pembelian pesawat jenis Sukhoi yang oleh pemerintah dianggarkan Rp 8 triliun, Andi mengatakan hal itu tidak perlu dilakukan jika pesawat yang dibeli jumlahnya hanya bersifat "peretelan" atau sebagian kecil saja.
"Kalau yang dibeli hanya peretelan dari skuadron lengkap, atau tidak membeli Sukhoi dalam jumlah cukup besar untuk membangun satu skuadron, hal itu berarti tidak akan ada kontribusi yang terlalu signifikan terhadap kekuatan pertahanan udara kita," ujar Andi. (DWA)
(Kompas)
Demikian disampaikan Dirjen Perencanaan Sistem Pertahanan Departemen Pertahanan Dr Mas Widjaja, Selasa (11/1).
Menurut Widjaja, total kredit ekspor tahun 2004 yang dialokasikan untuk Departemen Pertahanan dan TNI, baik yang terkait dengan rencana pembelian serta perawatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah ada, mencapai 448,8 juta dollar Amerika Serikat (AS).
Selain untuk membeli Hercules, anggaran itu salah satunya juga dipakai untuk proses overhaul kapal selam KRI Cakra milik TNI Angkatan Laut. "Saat ini pesawat Hercules yang dimiliki TNI ada 30-an unit. Akan tetapi, yang bisa dipakai hanya delapan unit. Pemerintah berencana menambah dari delapan unit yang kita punya itu mumpung sudah tidak ada embargo," ujar Widjaja.
Pemerintah berencana membeli pesawat bekas karena harganya bisa jauh lebih murah, bahkan separuh dari harga. Widjaja memperkirakan harga pesawat Hercules C-130 yang baru mencapai 40 juta hingga 50 juta dollar AS.
Menurut Widjaja, pemerintah saat ini harus menetapkan prioritas pembelian serta pengadaan alutsista menyusul minimnya alokasi anggaran yang ada.
"Saat ini ada sekitar 11 titik rawan konflik internal di seluruh wilayah Indonesia macam Poso atau Maluku Utara. Paling tidak, untuk memobilisasi pasukan, kita butuh alat angkut, baik udara, darat, maupun laut," ujar Widjaja.
Tanggapi AS
Sehari sebelumnya, pengamat militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, meminta pemerintah segera merespons tawaran Pemerintah AS yang membuka kembali penjualan suku cadang jenis pesawat-pesawat angkut.
Hal itu, menurut Andi, sebelum isu penghapusan embargo oleh Pemerintah AS bergulir di Kongres AS karena reaksinya boleh jadi justru akan bertentangan. "Pemerintah juga agar mempertimbangkan pembelian pesawat-pesawat angkut menyusul bencana tsunami di Aceh," katanya seusai bertemu dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Senin lalu. Bersama Andi turut beberapa pengamat militer seperti Direktur Eksekutif Propatria Hari Prihatono, pengamat LIPI Ikrar Nusa Bhakti, dan pengamat militer dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Kusnanto Anggoro
Selain itu, terkait dengan rencana pembelian pesawat tempur, seperti rencana pembelian pesawat jenis Sukhoi yang oleh pemerintah dianggarkan Rp 8 triliun, Andi mengatakan hal itu tidak perlu dilakukan jika pesawat yang dibeli jumlahnya hanya bersifat "peretelan" atau sebagian kecil saja.
"Kalau yang dibeli hanya peretelan dari skuadron lengkap, atau tidak membeli Sukhoi dalam jumlah cukup besar untuk membangun satu skuadron, hal itu berarti tidak akan ada kontribusi yang terlalu signifikan terhadap kekuatan pertahanan udara kita," ujar Andi. (DWA)
(Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar