30 September 2024

Melihat PT DI Lakukan Produksi dan Perawatan Pesawat NC 212i di Bandung

30 September 2024

Produksi pesawat NC212i untuk TNI AU (photos: Antara)

Produksi Pesawat NC 212i untuk TNI AU di PT DI Bandung

Esposin, BANDUNG -- Pekerja mengecek pesawat NC 212i milik TNI AU yang telah selesai di produksi di Hanggar PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung, Jawa Barat, Jumat (27/9/2024).


PT DI memproduksi sebanyak sembilan unit pesawat NC 212i dengan kapasitas 21 orang untuk TNI AU. Pesawat ini memiliki kegunaan sebagai alat transportasi dan modifikasi cuaca serta memiliki teknologi terbaru seperti digital cockpit dan auto pilot.

Dikutip dari situs resmi PT Dirgantara Indonesia, pesawat NC212i merupakan pesawat angkut ringan dengan sistem avionik modern full glass cockpit dan autopilot, yang dilengkapi dengan winglet, ramp door dan memiliki ukuran kabin yang luas dibandingkan pesawat sekelasnya.


Sejak tahun 2014, PTDI merupakan satu-satunya industri manufaktur pesawat terbang di dunia yang memproduksi pesawat NC 212i. (Solopos)

Intip Perawatan Pesawat Militer di Bandung

Bandung - Pesawat militer milik Filipina melakukan perawatan di Bandung. Perawatan meliputi struktur, sistem dan pemasangan air conditioner (AC).


Pekerja memperbaiki bagian sayap pesawat NC 212i milik Militer Filipina di Hanggar PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung, Jawa Barat (photos: Antara)


PT DI melakukan perawatan dua pesawat NC 212i milik militer Filipina yang meliputi perawatan struktur, sistem dan pemasangan air conditioner (AC) pada pesawat.


Perbaikan ini ditargetkan akan selesai pada akhir Oktober 2024 mendatang. (Detik)

Pengembangan Drone Tempur Elang Hitam Masih Berlanjut

30 September 2024

Drone tempur/UCAV Elang Hitam menunggu diterbangkan (photo: istimewa)

PTDI Bicara Kabar Drone Tempur Elang Hitam, Sebut Pengembangan Masih Berlanjut

TEMPO.CO, Bandung - PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menyatakan masih terus mengembangkan Pesawat Udara Nirawak Medium Altitude Long Endurance (PUNA MALE) Elang Hitam yang pernah masuk daftar prioritas riset nasional. PUNA MALE Elang Hitam adalah pesawat nirawak jenis drone tempur atau kombatan yang hingga akhir 2021 lalu masih dikerjakan konsorsium besar Kementerian Pertahanan, TNI AU, PTDI, Institut Teknologi Bandung, PT Len Industri, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

"Saat ini fase pengembangan dalam tahapan untuk percobaan penerbangan pertama,” kata Direktur Produksi PTDI, Batara Silaban, di sela-sela media gathering PTDI dan Kementerian Pertahanan di hanggar PTDI di Bandung, Jumat 27 September  2024. Batara tidak merinci kapan pengujian penerbangan itu dijadwalkan. Dia hanya menyebutkan sedang berusaha menyelesaikan perhitungannya. "Tentu kalau secara plan kami harapkan bisa diterbangkan dalam waktu tidak terlalu lama,” kata dia.

Batara menegaskan kalau proyek PUNA MALE Elang Hitam ini tetap berjalan meski saat ini tengah berjalan pula kerja sama transfer teknologi dari UAV Atak milik Turkish Aerospace Industry. Pemerintah lewat Kementerian Pertahanan pada tahun lalu telah meneken kontrak pembelian sebanyak 12 unit drone tempur yang berada di kelas yang sama dengan yang dituju Elang Hitam tersebut.

Perakitan drone tempur Anka di TAI, Turkiye (photo: Cemal)

Menurut Batara, Elang Hitam dirancang menjadi pesawat nirawak yang mengusung misi surveilance. Pesawat mampu beroperasi 12-24 jam dalam sekali penerbangan dengan ketinggian maksimum terbang hingga 20 ribu kaki dan jangkauan terbang hingga 250 kilometer. “Salah satu kemampuannya bisa melakukan surveilance hampir 24 jam. Roadmap pengembangannya memang itu, kemampuan surveilance, apa lagi negara kita kepulauan maritim,” tutur Batara.  

Batara mengatakan, PUNA MALE Elang Hitam akan menggunakan mesin penggerak propeller. Saat ini, dia menambahkan, tengah dikejar dalam waktu dekat adalah membuktikan konsep pesawat tersebut memang bisa terbang.

Sebelumnya, dalam keterangannya pada tahun lalu, Kepala Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN, Fadilah Hasyim, mengungkap kalau PUNA MALE Elang Hitam tak lagi menjadi prioritas riset. BRIN, kata Fadilah, beralih menerapkan skema riset berbeda yang lebih mengarah pada teknologi pesawat udara nirawak. Konsekuensinya, Elang Hitam dipinjamkan secara utuh dan lengkap kepada PTDI. 

Anduril Signs Three Year Contract with RAAF to Deliver Autonomous Security Capabilities to Enhance Protection of Australia's Northern Bases

30 September 2024

Anduril's autonomous security capabilities provide 24x7 coverage against an extensive range of threats (photo: Anduril)

Defence technology company Anduril Australia today has announced it has closed a contract for a three-year trial with the Royal Australian Air Force (RAAF) to demonstrate Anduril's air and ground defence capabilities at RAAF Base Darwin which will support the defence of Australia's northern Defence bases against drones and other threats.

Anduril's base protection capability takes a Family of Systems approach, deploying a range of active and passive sensors, and kinetic and non-kinetic effectors. The system is tailored to RAAF Base Darwin's specific security requirements and Darwin's unique environment.

The system is powered by Lattice, an open architecture software platform that allows for effective integration and command and control of Anduril and third party sensors and effectors. Lattice enables 24/7 persistent awareness and autonomous detection, classification, and tracking of objects of interest. It alerts users to potential ground or airborne threats and prompts users with options for mitigation or engagement.

The contract with the Royal Australian Air Force will allow Anduril Australia to deliver counter drone and counter intrusion as a capability-as-a-service. Anduril Australia will maintain continuous hardware and software system updates, and develop and deploy new capability to ensure the system remains relevant and effective against the rapidly changing threat landscape. This future-proofs the system at no additional cost to the customer.

Anduril Australia Executive Chairman and CEO, David Goodrich OAM, said: "Current conflicts have shown us how rapidly warfare has developed. It is critical that advanced technology is in place to protect Australian Defence Force (ADF) personnel and equipment against air and ground attacks - now and into the future. Our capability-as-a-service approach is designed to anticipate and respond to rapid technological developments."

"Capability-as-a-service is new to defence industry, but frequently used in the tech industry where fast-moving developments need to be rapidly deployed. Hardware and software are regularly updated and upgraded as new developments are available. This is different to the traditional block upgrade process used in Defence where upgrades may only happen annually or even less frequently."

"Anduril's autonomous security capabilities provide 24x7 coverage against an extensive range of threats."

"Anduril is well known in Australia for its Ghost Shark maritime capability, but we are a multi-domain, multi-product company and I'm delighted to announce this contract with RAAF Base Darwin to share our proven counter UAS solution to provide the best technology to enhance protection of Australia's northern bases."

A spokesperson for the Royal Australian Air Force said: "The National Defence Strategy prioritises strengthening of our northern bases. This system will bring advanced technology to counter and deter intrusion of RAAF Base Darwin while building Defence's understanding of emerging capabilities that can help the ADF to meet future threats."

PT DI Tekankan RI Perlu Kuasai Teknologi Kunci dalam Pengadaan Rafale

30 September 2024

Rafale dengan skema warna TNI AU pada Bali International Air Show 2024 (photo: istimewa)

Kota Bandung (ANTARA) - PT Dirgantara Indonesia menekankan Indonesia perlu menguasai teknologi kunci dalam kerja sama pengadaan 42 unit pesawat tempur Rafale buatan Dassault Aviation Perancis.

Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Gita Amperiawan saat sesi tanya jawab dengan wartawan di fasilitas produksi PT DI, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat, menjelaskan penguasaan terhadap teknologi kunci membuka jalan bagi Indonesia untuk membangun pesawat tempur di dalam negeri.

“Ada beberapa teknologi kunci yang justru kami harapkan ini menjadi komplementer pada saat kita membangun kemampuan (produksi) fighter (pesawat tempur) di tanah air,” kata Gita Amperiawan.

Perundingan mengenai alih teknologi/ofset pengadaan 42 unit Rafale antara Pemerintah RI dan Dassault Aviation dan Pemerintah Perancis saat ini masih berjalan.

Ingin jadi bagian dari rantai produksi global Rafale
PT DI juga telah mengusulkan adanya paket pekerjaan produksi (production work package) untuk beberapa komponen Rafale. Dia menyebut bentuk ofset itu memungkinkan PT DI untuk memproduksi beberapa komponen Rafale.

“Ini bagus, karena kami disertifikasi, dan ke depannya kami bisa menjadi bagian dari rantai produksi globalnya mereka. Di luar itu, pemeliharaannya tentu di kami juga, karena kita harus bisa mengambil kemampuan MRO (pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan),” kata Gita.

Di lokasi yang sama pada kesempatan berbeda, PT DI saat ini mencanangkan dirinya untuk memiliki kemampuan memproduksi pesawat tempur (fighter jet).

Lini produksi pesawat tempur Rafale (photo: shutterstock)

Oleh karena itu, dalam proyek kerja sama membangun pesawat tempur KF-21 Boramae buatan Korea Aerospace Industries (KAI) antara Pemerintah RI dan Pemerintah Korea Selatan, PT DI juga menegaskan berbagai macam ofset yang diajukan Pemerintah RI dalam proyek itu harus diarahkan untuk membangun kemampuan memproduksi pesawat tempur di dalam negeri.

“Apapun programnya di berbagai macam ofset, tujuannya cuma satu, bagaimana PT DI mampu ke depannya membangun fighter,” kata Gita Amperiawan.

Terkait pengadaan Rafale, PT Dirgantara Indonesia dan Dassault Aviation pada 2022 menyepakati nota kesepahaman kerja sama (MoU) offset dan ToT pengadaan jet tempur Rafale pesanan Indonesia. Dokumen kerja sama itu diteken oleh Direktur Utama PT DI Gita Amperiawan dan CEO Dassault Aviation di Jakarta. Acara penandatanganan dokumen itu pun disaksikan oleh Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly.

Kementerian Pertahanan RI resmi memborong 42 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation Perancis, setelah kontrak pembelian tahap ketiga untuk 18 unit terakhir efektif, pada Januari 2024.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha saat dihubungi di Jakarta, pada 9 Januari 2024, menyebut pesawat Rafale pertama pesanan Indonesia dijadwalkan tiba di Tanah Air pada awal 2026.

“Kedatangan pesawat tempur Rafale beserta persenjataan dan perangkat pendukungnya dalam beberapa tahun mendatang diharapkan akan meningkatkan kekuatan dan kesiapan TNI Angkatan Udara secara signifikan dalam menjaga kedaulatan negara di udara,” kata Brigjen Edwin.

29 September 2024

Kapal BHO Buatan Dalam Negeri Bakal Perkuat TNI AL Pada Akhir 2025

29 September 2024

Kapal BHO 105 TNI AL (image: Abeking & Rasmussen)

Jakarta (ANTARA) - Kapal Bantu Hidro-Oseanografi (BHO) Ocean Going buatan galangan kapal dalam negeri PT Palindo Marine Batam bekerja sama dengan galangan kapal Jerman Abeking & Rasmussen bakal memperkuat armada TNI AL pada akhir 2025.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Karo Humas) Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan RI Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha saat dihubungi di Jakarta, Selasa, menjelaskan bahwa prosesnya saat ini platform kapal telah rampung dibuat oleh Palindo dan kapal itu selanjutnya bakal berlayar ke Jerman untuk pemasangan alat-alat survei dan pemetaan, sensor, dan perlengkapan lainnya.

Gambar kapal BHO 105 muncul saat acara peletakan lunas kapal pada Desember 2023 (photo: Robe87)

"Delivery kapal dijadwalkan pada bulan Desember 2025," kata Brigjen TNI Edwin.

Pada hari ini di galangan kapal Palindo, Batam, Kepulauan Riau, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ekonomi Mayjen TNI Steverly C. Parengkuan memimpin upacara peluncuran platform kapal BHO Ocean Going.

Di lokasi acara, Parengkuan membacakan sambutan dari Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kemenhan RI Marsekal Madya TNI Yusuf Jauhari, salah satunya menyebutkan proyek pengadaan kapal BHO Ocean Going itu merupakan kontribusi Kementerian Pertahanan RI mendukung kemandirian industri pertahanan dalam negeri.

Kapal BHO 105 dari arah buritan (photo: istimewa)

"Setelah upacara peluncuran kapal BHO (Ocean Going) akan menuju Jerman untuk menyelesaikan pemasangan seluruh peralatan oseanografi di galangan Abeking & Rasmussen," kata Kabaranahan Kemenhan dalam sambutannya itu.

Kapal BHO Ocean Going yang platformnya dibangun di Batam itu punya spesifikasi panjang 105 meter, lebar 17,4 meter, dan draf kapal 4,5 meter. Kapal itu dirancang untuk dapat berlayar dengan kecepatan 16 knot.

Kapal itu juga didesain untuk mampu memetakan wilayah pesisir, perairan dangkal, dan laut dalam. Rencananya kapal itu juga dilengkapi dengan sensor penginderaan bawah air mulai dari kedalaman 600 meter sampai dengan 11.000 meter.

Peluncuran kapal BHO 105 (photo: Antara)

Kemenhan RI dalam siaran resminya juga menyebutkan kapal BHO Ocean Going itu juga dilengkapi dengan geladak heli dengan kapasitas maksimum 12 ton MTOW, meriam 20 mm dan 12,7 mm, serta teknologi surveillance, manuver, dan station keeping yang andal.

Kapal yang didesain dengan struktur high tensile steel itu berbobot total 3.419 ton, serta mampu mengangkut tambahan beban seberat 200 ton. Kapal itu juga didesain untuk punya daya jelajah selama 60 hari dengan mengangkut maksimal 90 personel.

Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali di sela-sela kegiatannya di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2024 menyebut TNI AL memproyeksikan ada tambahan kapal bantu hidro-oseanografi setiap tahun dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran atau jika tidak memungkinkan TNI AL berencana menambah sensor untuk dipasang pada kapal-kapal lama.

Wahana penyelamat SRV-F Mk.3 bakal melengkapi kapal BHO 105 (image: SMP)

TNI AL pada tahun ini, kata dia, menunggu dua tambahan kapal bantu hidro-oseanografi buatan Inggris dan Jerman yang bekerja sama dengan galangan kapal dalam negeri.

Kapal buatan Jerman itu merujuk pada kapal BHO Ocean Going yang dibangun oleh Palindo bekerja sama dengan Abeking & Rasmussen. Sementara itu, kapal buatan Inggris itu merujuk pada SRVS (submarine rescue vehicle system) buatan buatan perusahaan Inggris, Submarine Manufacturing & Products (SMP), yang pengadaannya bekerja sama dengan PT BTI Indo Tekno.

Pengadaan SRVS itu mencakup pembelian SRVS mencakup satu unit kapal selam penyelamat (SRV-F Mk.3), satu unit mothership dan kelengkapan lainnya (decompression chamber, launch and recovery system, air transportability equipment, dan remotely operated vehicle).

(Antara)

TNI AL Mengincar Fregat Buatan Turki

29 September 2024

Kapal dari Turki yang diminati adalah Istanbul class fregat (photo: istimewa)

TNI AL Datangkan Kapal PPA dari Italia dan Fregat Buatan Turki

Jakarta (ANTARA) - Jajaran TNI AL akan memperkuat kekuatan militer dengan mendatangkan kapal perang untuk berpatroli atau yang biasa disebut Pattugliatore Polivalente d’Altura (PPA) dari Italia dan kapal perang jenis Fregat dari Turki.

"PPA nanti mungkin akhir tahun, mudah mudahan bisa hadir dari Italia, kemudian ada beberapa kapal Fregat juga dari Turki itu mungkin tahun depan atau dua tahun yang akan datang sudah bisa hadir," kata Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali saat ditemui di Kolinlamil Jakarta Utara, Selasa.

Tampak depan Istanbul class (photo: Istanbul Maritime & Aviation)

Muhammad Ali menjelaskan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) itu dilakukan guna memperkuat kekuatan militer TNI AU.

Tidak hanya itu, TNI AL juga tengah menunggu kapal selam Scorpene buatan Prancis. Menurut Ali, pengadaan kapal selam sangat dibutuhkan lantaran saat ini TNI AL baru mempunyai empat unit.

Jumlah itu dinilai Ali terlalu sedikit untuk menjaga teritorial laut Indonesia yang terbilang cukup luas. Di satu sisi, pengadaan kapal selam Scorpene membutuhkan waktu lama lantaran proses perakitan di Prancis yang memakan waktu lima sampai tujuh tahun.

Tampak belakang Istanbul class (image: ArtStation)

Karenanya, Ali dan jajarannya berencana akan membeli kapal selam sementara atau interim yang bertugas memperkuat kekuatan militer selama menunggu Scorpene selesai dirakit.

"Dari Italia sudah menawarkan (kapal selam interim) dari Jerman ada, kemudian dari Turki juga ada kemudian dari negara asia juga ada," kata Ali.

Dengan pengadaan alutsista ini, Ali berharap kekuatan militer TNI AU semakin kuat sehingga mampu menjaga batas wilayah laut NKRI.

Program Kapal Selam Type 212CD Jerman-Norwegia Berhasil Lulus Critical Design Review

29 September 2024

Desain Type 212CD merupakan evolusi substansial dari Type 212A yang saat ini sudah beroperasi, perhatikan bahwa ukuran kapal selam dengan panjang 73m dan bobot penuh 2.800 ton ini jauh lebih besar dari Type 212A (image: NavalNews)

Program kapal selam Type 212CD gabungan Jerman-Norwegia telah berhasil menyelesaikan tonggak tinjauan desain kritis/critical design review (CDR).

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 22 Agustus, Kementerian Pertahanan Norwegia (MoD) mengatakan tonggak CDR dicapai pada pertengahan tahun dan telah diselesaikan sesuai dengan rencana yang ditetapkan oleh organisasi pengadaan bersama (JPO) Jerman-Norwegia dan pembuat kapal Jerman ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS).

Persenjataan Type 212 CD adalah 4x heavyweight torpedo 533mm DM2A4 Hake, IDAS anti-air missile dan kemungkinan sub-launched NSM anti-ship missile buatan Kongsberg-Norwegia (image: NSM) 

Fase desain melibatkan peninjauan lebih dari 100.000 halaman dokumentasi untuk memastikan desain memenuhi sekitar 6.000 persyaratan kontrak, kata MoD.

Enam kapal selam diesel-listrik (SSK) bertenaga konvensional Tipe 212CD generasi berikutnya sejauh ini telah dipesan dari TKMS untuk memenuhi persyaratan bersama Jerman dan Norwegia berdasarkan kontrak yang diberikan oleh Badan Materiel Pertahanan Norwegia/ Norwegian Defence Materiel Agency (NDMA) dan Kantor Federal Peralatan, Teknologi Informasi, dan Dukungan Dalam Layanan Bundeswehr Jerman/Bundeswehr Equipment, Information Technology and In-Service Support (BAAINBw) pada bulan Juli 2021.


Type 212 CD menggunakan penggerak hybrid lithium-ion battery +  AIP PEM fuel cells (PEM=proton exchange membrane) untuk menggerakkan 2 mesin diesel MTU 4000 (photo: Sener)

Akuisisi tersebut, yang bernilai sekitar EUR5,5 miliar (USD6,1 miliar), mencakup empat kapal untuk Angkatan Laut Kerajaan Norwegia (RNoN) dan dua kapal 'desain umum/common design' yang identik untuk Angkatan Laut Jerman. Menurut Kementerian Pertahanan, pekerjaan desain telah menghabiskan hampir seperempat dari total biaya untuk enam kapal selam dan akan dibagi bersama antara Norwegia dan Jerman.

Kapal pertama dari kelas tersebut, yang ditujukan untuk RNoN, mulai dibangun di galangan kapal TKMS di Kiel pada 12 September 2023. Berdasarkan perencanaan saat ini, kapal utama akan mulai diuji pada tahun 2027 dan diharapkan akan dikirim ke Norwegia pada tahun 2029. Dua kapal untuk Jerman akan dikirim pada tahun 2032 dan 2034.

(Jane's)

TNI AU Siapkan Satuan Antariksa, KSAU: Belajar dari AS, Australia, dan Perancis

29 September 2024

Patch Angkatan Udara dan Antariksa Prancis (photo: snake patch)

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI M. Tonny Harjono menegaskan bahwa TNI AU perlu belajar dari negara-negara yang telah lebih dulu membentuk Satuan Antariksa. 

Pernyataan ini disampaikan Tonny saat menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional Sains Teknologi dan Inovasi Indonesia Ke-6 di Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta, pada Kamis (26/9/2024). 

Acara yang mengusung tema "Space Capability Development dalam Memperkuat Pertahanan NKRI Melalui Pembentukan Satuan Ruang Angkasa" ini juga disiarkan secara langsung melalui Youtube Airmen TV Dispenau.

Menurut Tonny, pengalaman dari Amerika Serikat, Australia, dan Prancis sangat penting bagi TNI AU dalam mempersiapkan pembentukan Satuan Antariksa untuk menjaga dan melindungi wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

"Kita juga harus belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih dulu membentuk satuan antariksa seperti Amerika Serikat, Australia, dan Perancis untuk mendapatkan insight dan memahami best practice untuk implementasi lebih lanjut di Indonesia," jelasnya, yang diwakili oleh Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Muda TNI Purwoko Aji Prabowo.

Patch US Space Force (photo: US DoD)

"Negara-negara tersebut telah menunjukkan bagaimana ruang angkasa menjadi bagian integral dari strategi pertahanan modern," ucapnya.

KSAU mengakui bahwa pembentukan Satuan Antariksa TNI AU akan memerlukan waktu yang cukup lama. 

Dia menjelaskan bahwa beberapa negara maju pun belum sepenuhnya mandiri dalam mengembangkan teknologi ruang angkasa, dan masih perlu berkolaborasi dengan lembaga lain, terutama terkait anggaran, mengingat biaya yang dibutuhkan sangat besar. 

"TNI Angkatan Udara saat ini masih dalam tahap menguasai persiapan, baik dari segi regulasi maupun organisasi, serta penyiapan sumber daya nasional yang andal dan profesional melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan pengembangan satuan antariksa," ungkap Tonny.

Penyediaan infrastruktur ruang angkasa, seperti fasilitas peluncuran satelit dan pusat kendali, juga dinilai penting dalam pembentukan satuan tersebut. 

"Tanpa adanya infrastruktur yang memadai, maka upaya untuk mengoptimalkan kapabilitas antariksa akan terhambat," ucapnya. 

Patch Space Force Australia (photo: ebay)

Tonny menjelaskan bahwa dunia pertahanan saat ini bergerak sangat cepat, terutama dalam penguasaan antariksa.

Ruang angkasa tidak hanya digunakan untuk eksplorasi ilmiah, tetapi juga menjadi domain strategis yang menentukan posisi dan kekuatan suatu negara dalam menjaga kedaulatan. 

"TNI Angkatan Udara sangat menyadari bahwa untuk melindungi wilayah udara nasional, kita juga harus menguasai ruang angkasa yang tepat berada di atasnya," tambah Tonny. 

Dia juga mencatat bahwa negara-negara maju seperti Amerika Serikat, India, dan Tiongkok telah berinvestasi besar-besaran dalam teknologi antariksa, menggunakan ruang angkasa untuk keperluan intelijen, pengamatan, dan pengintaian.

Menurutnya, negara-negara tersebut juga mempersiapkan kemungkinan menghadapi konflik yang dapat mengubah antariksa menjadi medan pertempuran di masa depan. 

"Situasi ini jelas memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia, khususnya bagi TNI Angkatan Udara sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan udara," tutup Tonny. 

"Situasi ini jelas memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia, khususnya bagi TNI Angkatan Udara sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan udara," imbuhnya.

28 September 2024

Pesawat N219 Sudah Masuki Tahap Produksi, Target Perdana untuk Versi Amphibi

28 September 2024

Versi amfibi N219 (image: PT DI)

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Gita Amperiawan mengatakan, pesawat N219 sudah memasuki tahap serial produksi. “Sudah, karena kontrak sudah berjalan,” kata dia di sela Media Gathering dengan Kementerian Pertahanan di Hanggar PTDI di Bandung, Jumat, 27 September  2024.

Gita mengatakan, kontrak perdana yang sudah masuk dalam tahap pengerjaan adalah 6 unit pesawat N219 pesanan Kementerian Pertahanan untuk TNI Angkatan Darat. Dari 6 unit itu, salah satunya adalah varian N219 Amphibi. “Mudah-mudahan yang pertama di delivery itu Amphibi,” kata dia.

PTDI menargetkan pada akhir 2026 sudah memasuki proses sertifikasi. Targetnya pada 2027 proses sertifikasi rampung dan produksi perdana N219 Amphibi diserahkan pada Kementerian Pertahanan.

Gita mengatakan, pesawat N219 akan menjalani serangkaian proses sertifikasi agar bisa memenuhi persyaratan pesawat militer, termasuk untuk versi Amphibi. Pesawat N219 basic yang ada saat ini baru mengantongi sertifikasi TC (Type Certificate) yang diterbitkan Direktorat Kelaikudaraan & Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan pada Desember 2020 lalu.

“Kalau kemudian kita menjual ke Angkatan Dareat, maka kita melakukan verifikasi namanya. Verifikasi dari semua dokumen yang sudah kita submit yang kita selesaikan dengan DKKPU, kemudian diverifikasi oleh Indonesia Defence Airworthiness Authority (IDAA), itu dikerjakan untuk bisa dijual ke militer,” kata Gita.

Gita mengatakan, selanjutnya untuk proses sertifikasi N219 Amphibi di DKPPU tidak perlu mengulang dari awal. “Akhir 2025 atau awal 2027 Insyaallah kita akan menyelesaikan (sertifikasi) Amphibi, tapi hanya amandemen TC (Type Certificate),” kata dia.  

Sebelum memasuki fase tersebut, PTDI akan melakukan serangkaian peningkatan kemampuan pesawat N219 Basic menjadi pesawat N219 Basic Amphibious. “Itu belum dipasang Float (pengapung) di bawah, tapi performance dia sudah Basic Aircraft Amphibious, itu sekaligus akan meningkatkan performance N219 Basic karena akan membawa Float,” kata Gita.

Gita mengatakan, yang terpenting dari fase pengembangan N219 adalah masuk ke pasar. “Kita harus masuk ke market, karena dari market-lah sebenarnya feedback customer itu terjalin. Jadi improvement itu harus berdasarkan requirement customer di pengoperasian, jadi kita akan lihat,” kata dia.

N219 untuk TNI AD (photo: Airspace Review)

Direktur Produksi PTDI Batara Silaban mengatakan, pengembangan N219 Amphibi tersebut mendapat bantuan pembiayaan dari Bappenas sebesar Rp 300 miliar. “Rp 300 miliar dari Bappenas untuk Amphibi,” kata dia di sela Media Gathering tersebut, Jumat, 27 September 2024.

Batara mengatakan, proses pengembangan N219 Amphibi tersebut akan dikerjakan sekaligus masuk ke serial produksi. “Dalam development kali ini betul-betul ujungnya serial produksi,” kata dia.

Pengembangan yang sedang dilakukan saat ini, kata Batara, tujuannya untuk menaikkan kemampuan pesawat N219 Basic. Dia mencontohkan desain sayap yang rancangan awalnya memiliki daya angkut 6.300 kilogram akan ditingkatkan menjadi 7 ribu kilogram. “Itu sendiri sudah jalan sekarang dengan kemampuan PTDI. Kita punya kemampuan dan fasilitas,” kata dia.

Batara menambahkan, dari 6 unit pesawat N219 pesanan Kementerian Pertahanan untuk TNI Angkatan Darat tersebut satu di antaranya N219 Amphibi. “Jadi dari 6 itu, satu konfigurasinya Amphibi. Sisanya itu militarry transport. Kalau Amphibi itu ada floating-nya,” kata dia.  

Saat ini pengembangan N219 Amphibi sudah mencapai 34 persen. “Target kita first flight itu (Semester 2) 2026, sertifikasi 2027,” tambah Batara.

Batara mengatakan, sejumlah daerah perairan sudah dibidik untuk menjadi waterbase pengujian perdana N219 Amphibi. Di antaranya Kepulauan Riau serta Karimun Jawa. “Yang sudah siap di Kepulauan Riau,” kata dia.

PTDI menargetkan akhir tanun 2027 pesawat N219 Amphibi sudah diserahkan pada Kementerian Pertahanan. “Akhir 2027 delivery ke customer,” kata dia.

Kebutuhan pesawat N219 Amphibi di Indonesia juga sudah dihitung oleh PTDI. “Ada kebutuhan dan sudah dilakukan kalkulasi untuk jenis N219 Amphibi ini kurang lebih sebanyak 54 unit. Tim PTDI sudah melakukan survei di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya di provinsi yang ada tourism,” kata dia.

Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha mengatakan, Kementerian Pertahanan berkomitmen untuk mendukung kemajuan industri pertahanan dalam negeri, termasuk PTDI.

“Kita bisa lihat dari apa yang sudah dicapai oleh PTDI ini bukan hanya mandatory tapi memang kita harus mengembangkan industri pertahanan dalam negeri kalau kita mau lebih maju lagi ke depannya,” kata dia di sela Media Gathering tersebut, Jumat, 27 September 2024.

PT DI Bidik Perakitan Akhir, MRO, Uji Terbang dan Sertifikasi KF-21

28 September 2024

KF-21 Boramae versi 2 kursi (photo: KAI)

Kota Bandung (ANTARA) - PT Dirgantara Indonesia (DI) membidik untuk terlibat dalam perakitan akhir, uji terbang, sertifikasi, kemudian pemeliharaan dan perbaikan (MRO) jet tempur KF-21 Boramae hasil kerja sama RI-Korea Selatan (KFX/IFX) manakala prototipe pesawat itu masuk tahap produksi massal.

Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Gita Amperiawan saat bertemu wartawan di fasilitas produksi PT DI, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat, menjelaskan PT DI setidaknya harus berjuang untuk masuk dalam rantai produksi pesawat hasil kerja sama RI-Korsel tersebut.

Oleh karena itu, Gita menyampaikan PT DI saat ini fokus mempersiapkan kemampuannya untuk ikut terlibat dalam produksi massal pesawat tempur generasi 4.5 KFX/IFX KF-21 Boramae.

“Harus ada keseriusan ke depan kita punya kemampuan di bidang produksi fighter (pesawat tempur). Jadi, apapun programnya di berbagai macam ofset, tujuannya cuma satu, bagaimana PT DI mampu ke depannya membangun fighter,” kata Gita Amperiawan.

Kementerian Pertahanan RI sebagai wakil Pemerintah RI menyesuaikan kontribusi dananya terhadap proyek kerja sama membangun pesawat tempur KF-21 buatan Korea Aerospace Industries (KAI) dengan Pemerintah Korea Selatan. Kontribusi yang diberikan Indonesia pun terhadap proyek KFX/IFX itu saat ini sebesar 600 miliar won atau sekitar Rp6,95 triliun dari komitmen awal sebesar 1,6 triliun won atau sekitar Rp18,5 triliun.

Lini produksi pesawat tempur KF-21 Boramae (photo: KAI)

Dari penyesuaian itu, Gita menyebut PT DI pun saat ini dalam tahap menyusun capaian-capaian apa saja yang dapat dilakukan oleh perusahaan plat merah tersebut.

“PT DI itu sedang menyiapkan untuk mampu. Itu yang pertama. Kedua, PT DI perlu menyusun semua capaian-capaian dengan biaya itu sehingga biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk program KFX ini memang bermanfaat (worthy). Pertanggungjawaban kami kepada bangsa dari belanja anggaran untuk KFX ini sedang kami siapkan,” kata Direktur Utama PT DI.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan RI Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha saat ditanya mengenai ofset KFX/IFX yang diterima Indonesia setelah penyesuaian kontribusi itu menyebut Pemerintah RI saat ini berunding soal kerja sama alih teknologi proyek kerja sama pembuatan pesawat tempur itu setelah adanya penyesuaian.

“Ada beberapa alih teknologi (ToT) akan didapatkan dari kerja sama pengembangan bersama pesawat tempur KFX/IFX, yaitu kemampuan produksi bagaimana mendesain, membangun pesawat tempur, membuat beberapa komponen meliputi sayap, ekor, beberapa bagian body belakang pesawat, dan beberapa pylon/adapter untuk persenjataan dan sensor, melakukan final assembly (perakitan akhir), uji terbang, dan re-sertifikasi untuk pesawat IFX,” kata Karo Humas Setjen Kemhan RI saat dihubungi di Jakarta pada 20 Agustus 2024.

Dia melanjutkan ToT yang diincar Pemerintah Indonesia dalam proyek gabungan itu juga terkait kemampuan operasi dan pemeliharaan, yang mencakup integrated logistics support, perawatan pesawat tempur KFX/IFX, pengembangan sistem latihan untuk pilot dan teknisi, serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah (troubleshooting) saat operasional.

“Kemudian, kemampuan modifikasi dan upgrading, yaitu melakukan desain integrasi dan re-sertifikasi unique requirement berupa drag chute, eksternal fuel tank, dan air-refueling, serta melakukan integrasi sistem persenjataan baru, avionik, sensor, dan elektronik,” sambung Edwin melanjutkan alih teknologi yang diharapkan diterima Indonesia dalam proyek kerja sama itu.

Wakasau Pimpin Rapat Persetujuan Paint Scheme Pesawat Sukhoi 27/30

28 September 2024

Skema warna Su-27/30 TNI AU (photo: Skadron Udara 11)

Wakil Kepala Staf Angkatan Udara (Wakasau), Marsekal Madya TNI Andyawan M.P., S.I.P., M.Tr.Han., memimpin rapat persetujuan Paint Scheme (Skema Warna yang merupakan susunan atau kombinasi warna yang digunakan dalam suatu desain) Pesawat Sukhoi 27/30 di Ruang Rapat Wakasau, Mabesau, Jakarta, Kamis (26/09/2024).

Skema warna Su-30MK2 Angkatan Udara Vietnam (photo: Manhai)

Wakasau dalam sambutannya mengatakan bahwa paint scheme ini bukan hanya tentang estetika, tetapi juga cerminan dari identitas, kekuatan, dan kebanggaan kita sebagai TNI Angkatan Udara. Paint Scheme pesawat tempur juga dapat memainkan peran penting dalam membangun citra Angkatan Udara di suatu negara.

Pesawat tempur TNI AU, lanjut Wakasau, harus menjadi simbol keunggulan, keberanian, dan kesiapan kita dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Skema warna Su-30SME Angkatan Udara Myanmar (photo: Myanmar Defence)

Wakasau juga menekankan beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian untuk dipertimbangkan, pertama Aspek Keamanan dan Operasional, Kedua Kepatuhan terhadap standar dan regulasi yang berlaku, Ketiga Aspek Estetika dan Keempat Aspek Maintenance.

"Keputusan yang kita ambil hari ini bukan hanya terkait memilih warna, tetapi juga menjadi langkah strategis yang akan berdampak pada efektivitas operasional TNI AU, kebanggaan para Penerbang kita, sekaligus membangun citra TNI AU di mata dunia", Ungkap Wakasau.

Skema warna Su-30MKM Angkatan Udara Malaysia (photo: TK)

Sementara itu diakhir kegiatan Wakasau meminta kepada seluruh peserta rapat yang hadir untuk segera menindaklanjuti hasil keputusan ini dengan langkah-langkah konkret, memastikan bahwa implementasinya berjalan sesuai rencana dan standar yang telah kita tetapkan.

Kita tidak hanya bertanggung jawab pada kondisi saat ini, tetapi juga meletakkan fondasi kuat bagi generasi berikutnya, ujar Wakasau.

Skema warna Su-30MKK Angkatan Udara China/PLAAF (photo: Dmitriy Pichugin)

Turut hadir dalam rapat Asops Kasau, Aslog Kasau, Kapuslaiklambangjaau, Kadisaeroau, Aslog Kaskoopsudnas, Danlanud Hasanuddin, Makassar beserta pejabat TNI AU lainnya.

The Royal Thai Navy's New MARCUS-C VTOL Maritime Patrol UAV is being Tested on HTMS Chakri Naruebet

28 September 2024

MARCU-C VTOL Maritime Patrol UAV is being tested on HTMS Chakri Naruebet aircraft carrier (photos: Combat Zones, Panupong Khoomcin)

The airframe of the new MARCUS-B (2024) maritime reconnaissance unmanned aerial vehicle, now known as MARCUS-C, was first unveiled at the 'Navy Research 2024' event at the Chao Phraya Room, Royal Thai Navy Auditorium on July 31, 2024.

The Naval Research and Development Office (NRDO), Royal Thai Navy (RTN), in collaboration with Thai private companies Oceanus Research and Development (Thailand), X-Treme Composites (Thailand), and BJSupply 2017 (Thailand), is the developer of this new MARCUS-C maritime patrol unmanned aerial vehicle.

MARCUS-C is considered a Vertical Take-Off and Landing Unmanned Aerial Vehicle (VTOL UAV) in the MARCUS (Maritime Aerial Reconnaissance Craft Unmanned System) family of maritime reconnaissance UAVs, the third generation following the first MARCUS model that was tested on the floating landing craft, HTMS Angthong (III) 

And the second model, the MARCUS-B maritime reconnaissance unmanned aerial vehicle, which has been tested on the helicopter carrier HTMS Chakri Naruebet in 2021 the project has been approved for a budget in fiscal year 2024 to build 1 system consisting of 4 UAVs and 1 ground control station.

The latest MARCUS-C maritime patrol UAV operationally tested aboard HTMS Chakri Naruebet in a parachute formation with several Royal Thai Navy ships in the Gulf of Thailand on 19 September 2024, marking the first time that a MARCUS-C UAV has been operated from the flight deck of a ship while the ship is at sea, unlike previous tests conducted while the ship is at port.

While the MARCUS-B has a blended wings fuselage with a twin-tail boom, the MARCUS-C uses a conventional high wings fuselage, but still maintains a propulsion system that combines a push-button propeller with four sets of rotary wing propellers that provide vertical lift. Admiral Adung Phan-iam, the commander of the Royal Thai Navy, was informed by the project officer that this prototype system has a production budget of only 36,000,000 baht ($ 1,093,080), while the same foreign VTOL UAV system will cost no less than 300,000,000 baht ($ 9,120,255). 

(AAG)

27 September 2024

Rincian Proposal Offset F-16 Lockheed Martin ke Thailand Terkuak

27 September 2024

RTAF saat ini mengoperasikan tiga skuadron F-16A Fighting Falcons. Setidaknya 12 dari 49 F-16 yang aktif akan pensiun dalam beberapa tahun ke depan (photo: RTAF)

Lockheed Martin telah mengusulkan upgrade teknologi dan investasi industri langsung sebagai bagian dari offset dalam penjualan pesawat tempur F-16V Block 70/72 yang diusulkannya kepada Angkatan Udara Kerajaan Thailand (RTAF), menurut sumber yang mengetahui situasi tersebut.

RTAF berupaya untuk mendapatkan empat pesawat tempur awal untuk menggantikan sebagian F-16A/B Block 15 Fighting Falcons yang sudah tua yang beroperasi dengan Skuadron 102 di pangkalan udara Korat. Pesawat baru tersebut akan diakuisisi dari tahun 2025 hingga 2034.

Untuk mendukung tawaran F-16V kepada RTAF, Lockheed Martin telah mengusulkan untuk memasang sistem data link aman Link 16 dan sistem identifikasi kawan-atau-lawan (IFF) Mode 5, sistem identifikasi berbasis radar, pada pesawat F-16A/B yang akan tetap beroperasi.

Menurut sumber tersebut, ini akan membuat F-16A/B kompatibel dengan pesawat F-16V Block 70/72 yang baru. Menggabungkan sistem IFF Link 16 dan Mode 5 bersama-sama "menciptakan solusi interoperabilitas yang akan memungkinkan kedua armada [F-16] untuk saling berkomunikasi," tambah sumber tersebut.

Lockheed Martin mengajukan proposal offset terbarunya kepada Thailand pada akhir Agustus. Perusahaan tersebut telah menilai proposal offsetnya sebesar USD1,7 miliar, menurut sumber tersebut.

Upgrade ini juga diharapkan dapat meningkatkan interoperabilitas F-16A/B warisan RTAF dalam penempatan dengan pesawat dari angkatan udara regional lain yang juga dilengkapi dengan sistem Link 16, kata sumber tersebut.

Elemen lain dari paket offset yang diusulkan termasuk tawaran untuk meningkatkan keterampilan melalui kemitraan universitas dan untuk berinvestasi dalam industri penerbangan Thailand, kata sumber tersebut. 

(Janes)

Pembiayaan Program Overhaul Kapal Selam DSME 209/1400

27 September 2024

DSME 209/1400 (image: DSME)

Pengadaan beragam sistem senjata pada MEF 2020-2024 diperkirakan baru akan selesai pada akhir 2025 dengan mempertimbangkan fakta bahwa sejumlah kontrak nampaknya baru akan memasuki tahap efektif pada tahun depan. Proposal indikasi pinjaman dari lender harus terlebih dahulu disetujui oleh Kementerian Keuangan sebelum loan agreement antara lender dan Kementerian Keuangan diteken.

Selain itu, ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping pada APBN Kementerian Pertahanan menentukan pula nasib kontrak yang sudah ditandatangani sebelumnya. Hingga saat ini, terdapat banyak Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang menantikan persetujuan perpanjangan masa berlaku oleh Menteri Keuangan.

Sedikitnya terdapat dua skenario perpanjangan PSP untuk Kementerian Pertahanan, yaitu dilakukan oleh Menteri Keuangan saat ini atau dilaksanakan oleh Menteri Keuangan yang baru. Perpanjangan PSP oleh Menteri Keuangan yang baru pasca 20 Oktober 2024 merupakan sebuah keniscayaan karena pembangunan kekuatan pertahanan periode 2020-2024 baru akan berakhir pada 31 Desember 2024.

Seperti penulis pernah jelaskan sebelumnya, ada sejumlah PSP yang masa berlakunya berakhir sebelum negosiasi kontrak di Kementerian Pertahanan tuntas dan atau proses perundingan loan agreement di Kementerian Keuangan selesai.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) pada periode 2020-2024 untuk Kementerian Pertahanan meningkat lebih dari tiga kali lipat dari US$7,74 miliar pada jangka waktu 2015-2019 menjadi US$25 miliar.

Angka US$25 miliar pun berasal dari pemotongan alokasi PLN yang hingga Mei 2023 bernilai US$34,4 miliar. Demikian pula dengan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) yang bertambah tiga kali lipat dari Rp 15 triliun pada periode 2015-2019 menjadi Rp 45,1 triliun dalam masa 2020-2024.

KRI 403 Nagapasa (photo: TNI AL)

Hal yang dinantikan pada tahun depan adalah data penyerapan PLN dan PDN oleh Kementerian Pertahanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Sebab selama ini salah satu perhatian Kementerian Keuangan terhadap peningkatan PLN dan PDN ialah kemampuan penyerapan oleh Kementerian Pertahanan.

Peningkatan alokasi PDN dapat diterjemahkan sebagai upaya pemerintah untuk membelanjakan lebih banyak utang di dalam negeri yang keluarannya adalah meningkatkan kemampuan industri pertahanan nasional.

Namun terdapat kritik dari para pelaku industri pertahanan bahwa sebagian besar kontrak yang dibiayai oleh PDN dinikmati oleh firma-firma BUMN dan hanya sedikit yang diberikan kepada perusahaan pertahanan partikelir. PDN sendiri berasal dari sejumlah bank-bank nasional, khususnya bank-bank milik negara.

Selama ini, PDN yang dialokasikan untuk TNI Angkatan Darat sebagian besar digunakan untuk pengadaan munisi beragam kaliber, senapan serbu, mortir, peralatan optik, kendaraan lapis baja dan perbaikan pesawat terbang dan helikopter.

Adapun PDN bagi TNI Angkatan Laut di antaranya dipakai untuk membeli munisi kaliber kecil, senapan serbu, mortir dan kapal patroli. Sementara TNI Angkatan Udara membelanjakan alokasi PDN bagi pemeliharaan berbagai jenis pesawat terbang dan helikopter berikut subsistemnya, munisi kaliber kecil dan berbagai kendaraan taktis untuk Kopasgat.

Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI pun mendapatkan kuota PDN seperti pembelian roket R-Han 122 mm oleh Kementerian Pertahanan dan senapan serbu, munisi kaliber kecil dan kendaraan taktis bagi Mabes TNI.

KRI 404 Ardadedali (photo: TNI AL)

Seperti penulis pernah sebut sebelumnya, terdapat spekulasi bahwa besaran PLN pada pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029 antara US$25 miliar hingga US$35 miliar. Lalu bagaimana dengan porsi PDN untuk periode yang sama bagi Kementerian Pertahanan?

Apakah nilai PDN akan mencapai Rp 55 triliun pada kerangka waktu tersebut? Semua spekulasi tersebut diharapkan akan terjawab pada semester pertama 2025 saat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menerbitkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 dan Daftar Kegiatan Pinjaman Dalam Negeri (DKPDN) 2025-2029.

Terkait dengan DKPDN 2025-2029, Kementerian Pertahanan nampaknya akan menggunakan skema PDN untuk program overhaul kapal selam DSME 209/1400. Sebelumnya, terdapat usulan agar program upgrade kapal selam buatan Korea Selatan itu pada MEF 2020-2025 dibiayai oleh PLN namun tidak disetujui oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Boleh jadi rencana menggunakan PDN untuk overhaul kapal selam karena prosesnya memang lebih cepat dan mudah daripada skema PLN. Namun di sisi lain belum diketahui berapa besar dana PDN yang nantinya akan berputar di dalam negeri mengingat sebagian anggaran itu harus dibelanjakan di luar negeri untuk pembelian beragam subsistem kapal selam.

Menurut perkiraan, program overhaul kapal selam DSME 209/1400 akan membutuhkan biaya sekitar US$200 juta - US$250 juta (Rp 3,1 triliun - Rp3,9 triliun) dengan asumsi bahwa kegiatan tersebut termasuk peningkatan kemampuan kapal selam dan bukan sekedar mengganti peralatan yang sudah habis masa pakai.

Peningkatan kemampuan yang dimaksud terkait dengan desain, beragam subsistem seperti combat management system maupun perubahan pemeliharaan kapal selam. Memperhatikan perkiraan anggaran yang dibutuhkan, masuk akal apabila pembiayaan kegiatan itu diusulkan menggunakan skema PDN daripada PLN.

KRI 405 Alugoro (photo: TNI AL)

Tantangan dalam melaksanakan program overhaul kapal selam DSME 209/1400 di antaranya adalah kemampuan melakukan root cause analysis, di mana analisis yang obyektif diperlukan untuk dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi sekaligus menentukan solusi yang akan diterapkan.

Root cause analysis hendaknya dilakukan sendiri oleh galangan kapal selam yang ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan sebagai kontraktor program tersebut dan tidak mengandalkan pada data yang diberikan oleh pihak ketiga.

Lewat root cause analysis yang obyektif, kontraktor dapat mengindentifikasi masalah-masalah apa saja yang selama bertahun-tahun menghambat kesiapan operasional tiga kapal selam buatan Korea Selatan itu. Sebagai fakta, selama ini masih ada penyangkalan terhadap kondisi ketiga kapal selam itu oleh sejumlah pihak di Indonesia, sehingga root cause analysis yang obyektif perlu dilakukan oleh galangan kapal selam yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan sebagai kontraktor.

Setidaknya terdapat dua galangan kapal selam yang menunjukkan ketertarikan terhadap program overhaul kapal selam DSME 209/1400. Satu di antaranya ialah Naval Group yang beberapa bulan silam sudah melaksanakan survei terhadap kondisi kapal selam itu.

Galangan kapal asal Prancis ini nampaknya memiliki keyakinan untuk dapat melakukan pekerjaan overhaul sekaligus meningkatkan kemampuan kapal selam yang sudah memiliki banyak isu kesiapan operasional sejak diserahkan kepada TNI Angkatan Laut.

Aspirasi Naval Group untuk mendapatkan kontrak program dari Kementerian Pertahanan nampaknya memiliki keterkaitan erat dengan kontrak dua kapal selam Scorpene Evolved yang akan dibangun di Indonesia, di mana Naval Group berupaya memperkuat kehadirannya di pasar Indonesia. (Alman Helvas Ali)

(CNBC)