25 Oktober 2011
F16A/B TNI Angkatan Udara (photo : tuanmuda)
NUSA DUA – Pemerintah Republik Indonesia dan Amerika Serikat (AS) membahas mekanisme kerja sama dan rencana hibah pesawat tempur F-16 dari AS. Namun, perincian kerja sama tersebut belum sepenuhnya selesai dibahas.
"Ada dibicarakan soal rencana hibah F-16 dari AS dengan berbagai variasi," kata Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri, Teuku Faizasyah, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/10), seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima kunjungan kehormatan Menteri Pertahanan AS, Leon Panette.
Menurut dia, dalam pertemuan itu disampaikan komitmen pemerintah dan Kongres AS untuk memastikan kerja sama tersebut dapat diberlakukan.
Sementara itu, Menko Polhukam Djoko Suyanto menjelaskan bahwa pertemuan itu membahas peningkatan kerja sama kedua negara. Panetta selaku Menhan AS yang baru menyatakan keinginannya untuk tetap menjalin kerja sama dengan negara-negara ASEAN.
"Tetap dengan Indonesia dan ASEAN," ujarnya seraya mengatakan bahwa Indonesia dan AS memiliki sejarah panjang kerja sama bilateral, antara lain di bidang maritim dan kontraterorisme. Pertemuan selama 45 menit itu, kata Dino, secara umum lebih membahas komitmen AS untuk mendorong arsitektur regional yang disambut baik oleh Presiden. Presiden Yudhoyono dan Panetta juga membahas mengenai situasi di Timur Tengah dan Asia Pasifik.
Belum Sepakat
Secara terpisah, anggota Komisi 1 DPR Susaningtyas Kertapati mengatakan Komisi I DPR akan menentukan sikap terkait hibah 24 pesawat F-16 Fighting Falcon, hari ini. Pemerintah dan Komisi I DPR belum menemui kata sepakat terkait rencana hibah 24 pesawat F-16 ini.
"Kita masih belum mengambil sikap. Untuk itu, besok (hari ini) kita akan panggil Menteri Pertahanan (Purnomo Yusgiantoro) dan Panglima TNI (Laksamana Agus Suhartono) untuk bertanya perkembangan terakhir. Pada rapat kali ini pula kami akan menentukan sikap," katanya.
Suara mayoritas Komisi I DPR menginginkan pemerintah membeli enam buah pesawat F-16 jenis baru. "Alasannya, pesawat yang akan dihibahkan merupakan barang bekas. Kami inginnya membeli baru dengan teknologi yang baru agar efek getarnya lebih bagus," kata Susaningtyas.
Opsi lain, Komisi 1 DPR menyetujui hibah dengan syarat pesawat F-16 hasil hibah itu diretrofit di dalam negeri agar Indonesia berkesempatan untuk melakukan alih teknologi.Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Imam Sufaat menyatakan opsi terakhir sangat berat untuk diwujudkan. Selain sulit membawa pesawat dari Amerika ke Indonesia, biaya pengirimannya pun amat besar. "Dan belum tentu industri pertahanan dalam negeri mampu melakukannya karena keterbatasan peralatan," katanya.
Opsi membeli baru pun membutuhkan biaya yang lebih besar, mulai dari suku cadang hingga pelatihan penggunaan pesawatnya. Mengutip Lockheed Martin, perusahaan Amerika yang bergerak di industri teknologi pertahanan, pembelian F-16 jenis baru membutuhkan sedikitnya 1.600 juta dollar AS untuk satu skuadron. Itu sudah termasuk suku cadang dan pelatihannya.
Adapun kalau menerima hibah, Indonesia hanya mengeluarkan 430 juta dollar AS untuk meretrofit 30 pesawat, meliputi 24 pesawat F-16 hasil hibah dan 6 pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia. Setara dengan harga yang harus dikeluarkan untuk membeli "Kita pun akan memiliki pesawat lebih banyak, mencapai tiga skuadron," katanya. Namun, penjelasan itu tak membuat yakin Komisi I DPR. Beberapa bahkan menginginkan agar hibah itu dibatalkan.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan proses hibah F-16 bisa dikatakan tinggal selangkah lagi. Jika Komisi I sudah menyetujui, maka prosesnya akan langsung berjalan karena pemerintah dan Kongres Amerika sudah menyetujui hibah ini. "Kalau hibah disetujui, kita akan langsung melakukan retrofit," kata Purnomo.
Jika tahun ini retrofit dilakukan, maka diperkirakan pada 2014 mendatang Indonesia akan memiliki tambahan satu skuadron F-16 dari hasil hibah. Retrofit sendiri harus dilakukan di Amerika bila ingin biayanya lebih murah. 0 way/Ant/P-3