Disamber F-111 Aardvark
Setelah kejadian 16 September yang penuh ketegangan itu, suasana kembali normal. Selama tiga hari berikutnya tidak ada lagi laporan pelanggaran udara oleh pesawat asing.
Dalam kondisi landai dan tenang menghanyutkan itu, disikapi penerbang dengan tetap siaga mengingat situasi di Timor Timur belum stabil. Setiap hari mereka selalu siaga di dekat pesawat dari pagi sampai siang. Sore baru terbang dengan kondisi tubuh sudah lelah.
“Jam 6 pagi sudah pakai coverall, terus standby sampai malam, setiap hari,” kata Mayor (Pur) Hasbullah, penerbang Skadron Udara 12 yang saat ini terbang di Garuda Indonesia.
Mereka standby hingga pukul 9 malam, rebahan di veldbeld di bawah pesawat sambil melihat puluhan pesawat berseliweran mengirim bantuan ke Dili.
“Saya tertua sehingga terus on seat, padahal sesungguhnya kondisi tubuh mulai menurun,” ujar Henri.
Sore itu, 23 September, tiba-tiba sirene kembali meraung dan suara petugas di radio seketika ribut. Scrambleeeee……!!!
Sebagian anggota yang baru selesai dan akan shalat Magrib, langsung lari ke ruang persiapan. Henri hanya mengenakan coverall dilipat di pinggang. Mereka langsung naik mobil dan ngebut ke arah pesawat diparkir. Terpal penutup pesawat dibuka dan langsung start engine lalu lepas landas.
“Lagi shalat, belum selesai rakaat pertama, sirine bunyi dan kita langsung lari. Pakai coverall di pesawat, pakai sepatu di pesawat, pakai seat belt pun sambil start engine, kondisi gelap, start engine langsung taxi dan bahkan arming saat sudah di line up position,” kenang Hasbullah yang menjadi Wingman.
“Saya hitung scramble dari perintah sampai terbang 12 menit, sudah airborne,” aku Henri. Karena betul-betul dadakan, saat lepas petugas bandara belum sempat menyalakan lampu landasan.
Kedua pesawat terbang dalam status navigation off untuk menjaga kerahasiaan. “Mas, mau kemana,” tanya Wingman Lettu Pnb Hasbullah “Havoc” membuka pembicaraan. Sebelum terbang mereka belum sempat briefing.
“Menggok kiwo,” jawab Henri spontan dalam Bahasa Jawa.
“Apa itu mas,” balik ditanya dan dijawab Henri, kiri, kiri.
“Heading selikur,” ucap Henri lagi menyebut arah navigasinya. Kembali ditanya, “Mas, selikur itu apa.”
“Rongpuluh siji,” balas Henri rada kesal.
Pesawat pembom tempur bersayap ayun F-111 Aardvark RAAF (photo: ADF)
Sedetik kemudian Henri baru menyadari kalau wingman-nya Hasbullah berasal dari Makassar. “Jadi dia nggak ngerti Bahasa Jawa, padahal saya sudah bilang Australia itu bisa Bahasa Indonesia jadi kita pakai bahasa daerah saja,” cerita Henri penuh tawa.
Kedua Hawk 209 terbang sampai utara untuk mengejar pesawat yang tidak dikenal itu agar tidak sampai memasuki border.
Saat kedua Hawk 209 terbang patroli malam, tiba-tiba dari bawah yaitu anggota Satrad 251 memberitahu melalui radio sambil setengah berteriak. Apa yang membuat mereka berteriak seperti melihat hantu?
Rupanya dari arah Dili melesat kencang pesawat F-111 Aardvark dengan terbang rendah dan lalu nyamber di atas landasan El Tari, Kupang.
Henri dan Hasbullah yang alumni IDP 7 itu sudah tidak sempat untuk mengejar, karena memang F-111, sekali lagi, bukanlah tandingan Hawk 209.
Aardvark adalah pembom-tempur yang mampu terbang supersonik, yang membuatnya dengan cepat meninggalkan wilayah Kupang.
Dalam kenangan Henri, terbang malam saat itu cukup mengerikan. Karena mereka tidak pernah melaksanakan terbang malam di Kupang, sehingga penerbang hanya mengandalkan check point dalam kegelapan malam.
Insiden ini segera menjadi berita utama media saat itu. Mereka para pelaku pun disambut bak pahlawan, dan menerima Well Done Certificate dari Panglima Kohanudnas Marsda TNI Soni Rizani.
1 Oktober 1999 di Kupang, Henri menerima kenaikan pangkat menjadi mayor. Pangkatnya disematkan oleh Pangkosekau Marsma Hari Kamdani. Dua hari setelah itu, 3 Oktober, mereka disambut meriah di Jakarta.
Mengenang masa penugasan di Kupang tahun 1999 itu, Marsda Henri mengaku bangga. Meski fasilitas terbatas dan seadanya, mereka tetap melaksanakan tugas dengan semangat juang tinggi. Mereka tidur di mess, bahkan velbeld pun disusun berjejer di ruang makan.
“Apa yang kita miliki saat itu hanyalah militansi, itu yang ditakutkan orang asing,” ucap Henri yang merasa beruntung memiliki pengalaman tempur sehingga tahu seperti apa sensasi perang.
Sepuluh tahun kemudian Kolonel Pnb Henri Alfiandi mendapat penugasan luar negeri sebagai Atase Udara Indonesia di Kedubes RI di Washington DC, Amerika Serikat.
Suatu hari Henri menghadiri gathering para atase yang, di antaranya dimeriahkan dengan golf bersama.
Tengah ancang-ancang untuk melakukan pukulan swing, tiba-tiba seorang atase menegurnya.
“Henri, where were you in September 1999,” ceplosnya. Kaget dan langsung paham maksud pertanyaan ini, Henri spontan membalas, “Is that you.”
Kedua penerbang tempur inipun larut dalam nostalgia 10 tahun silam, saat keduanya beradu muka di wilayah udara Kupang.
Henri kemudian menanyakan kepada Atase Udara Australia itu, kenapa melakukannya saat itu.
“I just want to see your combat readiness,” ujarnya. Keduanya hanyut dalam diskusi yang terkadang diselingi canda tawa. Kisah-kisah seperti ini lazim terjadi di antara penerbang tempur.
“So, what do you think,” pancing Henri lagi.
“Excellent,” ujar penerbang F-111 Aardvark itu.
“Dia mancing kita keluar lalu dia masuk dari utara dan nyamber, gila itu. Ini yang tidak pernah diceritakan,” aku Marsda TNI Henri Alfiandi yang saat ini menjabat sebagai Asisten Operasi KSAU.