24 Januari 2011
Perbaikan pesawat di Garuda Maintenance Facility (photo : Kompas/Raditya)
Asing Bisa Rebut Bisnis Perawatan Pesawat
Jakarta, Kompas - Bisnis perawatan pesawat di Indonesia berpotensi direbut pihak asing. Oleh karena itu, dibutuhkan keterlibatan pemerintah untuk memimpin langsung pengembangan masif bisnis perawatan pesawat.
Nilai bisnis tahun 2014 diperkirakan Rp 18 triliun per tahun untuk melayani lebih dari 1.000 unit pesawat.
”Pemerintah harus berdiri paling depan, baru kemudian mengundang investor. Dulu kita membanggakan Garuda Maintenance Facility, tetapi sekarang negara tetangga sudah melangkah lebih maju,” kata pengamat penerbangan Dudi Sudibyo, Minggu (23/1) di Jakarta.
Di hadapan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dan Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, akhir pekan lalu di Jakarta, Direktur Utama PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Richard Budihadianto menegaskan pentingnya dibangun pusat perawatan pesawat (aerospace park).
Dengan dibangunnya aerospace park, akan ada kluster khusus perawatan pesawat dan di tengahnya bisa dibangun gudang khusus material atau suku cadang pesawat. ”Gudang ini penting karena selama ini kita sering kehilangan waktu kerja karena masing-masing perusahaan memesan material sendiri dan sering telat datang,” ujar Richard.
Ia mencontohkan, sewa pesawat Boeing 737 senilai 5.000 dollar AS per hari. Apabila perawatannya terlambat diselesaikan karena suku cadangnya terlambat datang, akan merugikan maskapai yang menyewa Boeing itu.
Richard menjelaskan, pengembangan bisnis perawatan pesawat dapat dilakukan dengan menyinergikan badan usaha milik negara (BUMN) bidang pemeliharaan pesawat yang ada. Alasannya, 85 persen pasar perawatan pesawat di Indonesia dikuasai BUMN, di antaranya GMF AeroAsia, PT Nusantara Turbin dan Propulsi, Aircraft Service PT Dirgantara Indonesia, serta Merpati Maintenance Facility.
Saat ini persoalan yang dihadapi adalah belum ada strategi pengembangan dan finansial soal aerospace park. ”Kami baru susun masterplan Cengkareng, termasuk aerospace park sebagai bagian dari Cengkareng Aerotropolis. Paling cepat, dibangun tahun 2012,” kata Direktur Utama Angkasa Pura II Tri Sunoko.
Sementara Singapura telah mengembangkan Seletar Aerospace Park dengan investasi Rp 540 miliar di lahan seluas 140 hektar. Malaysia membangun Malaysia International Aerospace Center (MIAC) dengan investasi Rp 819 miliar di lahan 84 hektar. Thailand di Bangkok Internasional Airport juga membangun aerospace park.
Melihat langkah yang sudah diambil negara tetangga, itu berarti pembangunan aerospace park tak bisa ditunda lagi bila tidak ingin bisnis perawatan pesawat diambil oleh pihak asing.
Tahun 2009, hanya sekitar 30 persen dari nilai perawatan pesawat domestik sebesar 750 juta dollar AS, yang dapat dikerjakan perusahaan perawatan pesawat dalam negeri.
Padahal, tahun 2014 diperkirakan lebih dari 1.000 pesawat memerlukan jasa perawatan. Tahun 2010 hanya ada 816 pesawat.
”Kementerian Perhubungan terus mendorong bisnis perawatan ini maju, terutama karena keselamatan penerbangan sangat bergantung pada bagusnya perawatan pesawat,” kata Bambang Susantono.
Sementara itu, Alex Retraubun menegaskan, Kementerian Perindustrian akan mendorong BUMN agar serius dalam bisnis perawatan pesawat. ”Pasar terbuka di depan mata. Jangan ragu membangun bisnis perawatan pesawat,” katanya. (RYO)
(Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar