12 Februari 2025

South Korea's Hanwha Finalizes Agreement with DTI and Chaiseri to Develop K200 IFV for the oyal Thai Army

12 Februari 2025

Thai delegation visited Hanwha Aerospace from 5-7 February 2025 (photo: Royal Thai Armed Forces)

Hanwha Aerospace of the Republic of Korea briefed the Royal Thai Armed Forces (RTARF) on its various weapons systems during the official visit of General Songwit Noonpakdee, Commander-in-Chief of the Royal Thai Armed Forces, and the Thai military delegation from 5-7 February 2025.

In addition to the successful products exported to the Royal Thai Navy, the HTMS Bhumibol Dulyadej-class frigates of the Royal Thai Navy (RTN) built by Hanwha Ocean, Republic of Korea (formerly Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, DSME) are looking to procure a second ship to be built in Thailand.

The Royal Thai Armed Forces Public Relations Center, Royal Thai Armed Forces Headquarters, has announced on its official social media channels that Hanwha Aerospace has signed a Memorandum of Understanding (MOU) with Thai Defense Industry Co., Ltd. (TDI) of Thailand to develop an upgraded version of the K200 Infantry Fighting Vehicle (IFV) for the Royal Thai Army (RTA).

Thai Defense Industry Co., Ltd. (TDI) of Thailand to develop an upgraded version of the K200 Infantry Fighting Vehicle (IFV) for the Royal Thai Army (RTA) (photo: RoKArmy)

Previously, the Ministry of Foreign Affairs of Thailand announced the signing ceremony of the Memorandum of Understanding between Hanwha Ocean, Republic of Korea and TDI Thailand on the development of the modernized K200 IFV Infantry Fighting Vehicle for the Royal Thai Army and opportunities for export production to other countries, which took place on August 27, 2024, witnessed by Mr. Thani Sangrat, Thai Ambassador to the Republic of Korea.

TDI Thailand is a joint venture between the Defence Technology Institute (DTI), an agency of the Thai Ministry of Defence, and Chaiseri Metal & Rubber Co. Ltd., Thailand, with the objective of supporting private sector arms exports to foreign countries in the form of government-to-government agreements.

TDI has successfully obtained a contract to export Chaiseri Thailand's products, the First Win 4x4 wheeled armored vehicle, to many foreign countries in 2024 .

Signing ceremony of the MOU between Hanwha Ocean and TDI Thailand on the development of the modernized K200 IFV Infantry Fighting Vehicle for the Royal Thai Army and opportunities for export production to other countries, on August 27, 2024 (photo: Thai Ministry of Foreign Affairs)

The K200 KIFV infantry fighting vehicle is a family of armored personnel carriers (APCs) developed by the Agency for Defense Development (ADD) of the Republic of Korea and manufactured by Daewoo Heavy Industries of the Republic of Korea (later Doosan of the Republic of Korea and now Hanwha Aerospace) in production since 1985.

The primary user is the Republic of Korea Army (RoKA), with over 2,500 in various versions ranging from K200A1 APC armored personnel carriers, KM120 120mm and K281 81mm self-propelled mortar launchers, K236 20mm self-propelled anti-aircraft guns and K288 recovery vehicles, with 111 also exported to the Malaysian Army (Tentera Darat Malaysia) in the 2000s.

In August 2024, Hanwha Aerospace, together with Malaysian company Cendana Auto, was awarded a contract by the Malaysian Ministry of Defence to upgrade the Royal Malaysian Army's K200 IFV, which includes the installation of new day/night vision devices, a new Remote-Control Weapon Station (RCWS), new engines and technology transfer to establish a Maintenance, Repair and Overhaul (MRO) center in Malaysia.

(AAG)

11 Februari 2025

ASELSAN Menyediakan Radar "Mete Han" untuk Fregat Merah Putih

11 Februari 2025

Infographic peralatan Main Contract dan FFBNW pada Fregat Merah Putih (infographic: TurDef)

Fregat masa depan Indonesia kelas Merah Putih akan dilengkapi dengan radar AESA multifungsi "Mete Han" buatan ASELSAN, yang menandai ekspor baru radar angkatan laut.

Sebuah infographic yang memperlihatkan peralatan fregat kelas Merah Putih dibagikan di media sosial. Peralatan tersebut dipisahkan menjadi “Main Contract” dan “Fitted For but Not With (FFBNW)".

Peralatan Main Contract/Kontrak Utama dari Turki meliputi:
-Mete Han radar AESA multifungsi, 
-CENK 200-N (MAR-D)  searching radar for helicopter approach control/radar penjejak untuk helikopter yang mendekat, 
-FERSAH hull-mounted sonar,
-decoy launchers/peluncur umpan dari ASELSAN,
-HAVELSAN akan menyediakan sistem untuk CIC room, yang kemungkinan merupakan versi ekspor dari ADVENT CMS.

Peralatan FFBNW dari Turki pada Fregat Merah Putih (infographic: Kaan Azman)

Mete Han adalah nama baru, tetapi konfigurasi dan ukurannya yang sudah pasti menunjukkan bahwa radar ini mungkin merupakan radar AESA multifungsi AKREP 500-NI dari rangkaian radar multi-band ÇAFRAD yang akan digunakan pada kapal perusak TF-2000 yang sedang dibangun untuk Angkatan Laut Turki. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ASELSAN telah mengembangkan solusi “ÇAFRAD Lite” untuk kapal perang yang lebih kecil seperti fregat.

Peralatan FFBNW terdaftar meliputi;
-CENK 400-N (CENK-S) AESA searching radar, dan
-64 VLS MİDLAS dari ROKETSAN.

CENK 400-N (CENK-S) saat ini digunakan oleh fregat kelas-I Angkatan Laut Turki TCG İstanbul (F-515) dan akan digunakan pada tujuh kapal kelas lainnya untuk mulai beroperasi. Perjanjian ekspor radar ke Indonesia diumumkan pada tahun 2024; dengan demikian, keputusan integrasinya mungkin telah disahkan.

TurDef mengetahui bahwa infographic tersebut memiliki kesalahan ejaan di mana SAM ditulis sebagai "ASM". Jika Indonesia memutuskan untuk menempatkan VLS MİDLAS, fregat tersebut akan mampu menggunakan rudal HİSAR-D dan SİPER untuk pertahanan udara serta versi peluncur vertikal rudal antikapal ATMACA untuk ASuW. Yang lebih penting, ini akan menandai ekspor pertama VLS MİDLAS dan rudal yang terkait dengannya. 

Gagal Selesaikan Kapal OPV 2 dan OPV 3, Malaysia Putuskan Kontrak dengan Galangan

11 Februari 2025

OPV 1 KM Tun Fatimah (photo: APMM)

Gagal siap kapal peronda pesisir APMM, kontrak pembina ditamatkan
Farhana Farush – Kuala Lumpur

Tanda tanya mengenai status semasa pembinaan dua lagi kapal peronda luar pesisir (OPV) Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) terjawab selepas kerajaan menamatkan kontrak dengan THHE Destini Sdn Bhd (TDSB) setelah ia gagal menyiapkan projek berkenaan.

Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail berkata susulan penamatan yang ditandatangani pada 31 Disember lalu, syarikat itu dikenakan kadar denda dan ganti rugi ditetapkan (LAD) sebanyak RM12.49 juta [AS$2.82 juta] di atas kelewatan menyiapkan kapal OPV 2 dan OPV 3.

Beliau berkata keputusan itu dipersetujui oleh Kabinet pada 22 Mac 2024 sebelum ia dilaksanakan. 


“Kementerian Dalam Negeri dibenarkan menamatkan kontrak projek tersebut setelah mendapat pandangan daripada Jabatan Peguam Negara. Sehubungan itu, kerajaan menandatangani perjanjian penamatan bersama pihak syarikat pada 31 Disember 2024,” katanya dalam jawapan bertulis yang dimuat naik dalam laman web Parlimen pada Khamis malam.

Saifuddin berkata TDSB turut dikenakan LAD di atas kelewatan penyiapan kapal OPV 1 yang berjumlah RM5.58 juta [AS$1.26 juta] dan RM9,600 [AS$2,167] bagi kelewatan pembekalan baki 12 unit General Purpose Machine Gun (GPMG) serta pembekalan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) bermula 1 Oktober 2024 hingga tarikh penerimaan oleh kerajaan.

Kerajaan memeterai kontrak perolehan tiga OPV bernilai RM738.9 juta [AS$166.82 juta] dengan TDSB pada Januari 2017 dan projek tersebut sepatutnya siap sepenuhnya pada Julai 2020.

Selepas beberapa kali tertangguh, TDSB hanya berjaya menyerahkan OPV 1 yang dinamakan KM Tun Fatimah pada Januari tahun lalu.

Penyelesaian Loan Agreement untuk Belanja Sistem Persenjataan

11 Januari 2025

Indonesia akan menjadi negara ke-5 yang mengoperasikan Scorpene-class (dikembangkan bersama oleh Naval Group, Prancis dan Navantia, Spanyol) setelah Chili, Malaysia, India dan Brazil. Prancis dan Spanyol sendiri tidak menggunakan Scorpene-class, Prancis sepenuhnya menggunakan kapal selam dengan propulsi nuklir sedangkan Spanyol menggunakan S-80 yang lebih besar untuk menggantikan S-70 (photo: Naval Group)

Peningkatan alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) bagi Kementerian Pertahanan untuk periode 2020-2024 senilai US$ 25 miliar dari sebelumnya US$ 7,7 miliar pada kurun 2015-2019 melahirkan tantangan tersendiri untuk Kementerian Pertahanan untuk menyerapnya. Kemampuan daya serap PLN adalah menjadi salah satu indikator apakah Kementerian Pertahanan mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam Minimum Essential Force atau tidak.

Sejak dekade lalu fakta menunjukkan bahwa semakin besar jatah PLN bagi Kementerian Pertahanan, semakin besar pula tantangan bagi Kementerian Pertahanan guna menyerap anggaran yang sudah disediakan bagi belanja senjata. Sampai 31 Desember 2024, terdapat sekitar 50 kontrak yang empat status yang berbeda-beda di Kementerian Keuangan.

Pertama, kontrak menunggu izin penandatangan loan agreement dari Menteri Keuangan, Kedua, kontrak yang sudah menerima izin negosiasi loan agreement dari Menteri Keuangan. Ketiga, kontrak yang sudah mendapatkan calon lender dan menunggu izin negosiasi loan agreement dari Menteri Keuangan. Keempat, kontrak yang masih dalam proses seleksi calon lender oleh Kementerian Keuangan.

Terdapat sejumlah loan agreement pada akhir Desember 2024 yang belum mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan untuk ditandatangani, meskipun terdapat harapan besar dari Kementerian Pertahanan dan pabrikan agar loan agreement tersebut dapat diselesaikan pada 31 Desember 2024. Secara teknis, kontrak-kontrak tersebut telah siap untuk ditandatangani karena semua klausul dalam loan agreement sudah disepakati oleh Kementerian Keuangan dan lender.

Scorpene-class Chili dan Malaysia dibangun di Naval Group, Cherbourg, Prancis dan Navantia shipyard, di Cartagena, Spanyol (photo: AFP)

Nampaknya terdapat pertimbangan lain yang membuat Kementerian Keuangan belum menandatangani sejumlah loan agreement tersebut. Sebagaimana diketahui, langkah selanjutnya setelah penandatanganan loan agreement ialah aktivasi kontrak akuisisi lewat pembayaran uang muka kepada pabrikan.

Selain isu loan agreement, isu lain yang mendapatkan perhatian sejumlah kalangan terkait adalah perpanjangan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) bagi lebih dari 20 kontrak yang telah diteken oleh Kementerian Pertahanan. Tanpa persetujuan perpanjangan PSP dari Menteri Keuangan, mustahil bagi Kementerian Keuangan dapat melaksanakan perundingan loan agreement dengan lender.

Mengacu pada aturan yang berlaku, penandatanganan kontrak oleh Kementerian Pertahanan dan loan agreement oleh Kementerian Keuangan harus dalam masa aktif PSP. Walaupun Menteri Keuangan sebelum akhir 2024 sudah menerbitkan perpanjangan PSP bagi sejumlah kontrak, hal itu belum sepenuhnya memenuhi harapan Kementerian Pertahanan maupun pabrikan tertentu.

Terkait dengan PSP, salah satu kendala yang muncul dalam eksekusi program ialah gagasan perubahan skema program dari Lembaga Pembiayaan Kredit Ekspor (LPKE) menjadi Kreditor Swasta Asing (KSA). Setidaknya terdapat dua alasan yang mendasari ide tersebut yakni pertama, program sulit untuk didanai oleh LPKE karena terkait dengan pengerjaan kegiatan yang akan dilaksanakan di Indonesia.

India membangun Scorpene-class di Mazagon Dock, Mumbai, India (photo: L'usineNouvelle)

Hal ini tercemin dalam kasus program axial armament component helikopter H225M milik TNI Angkatan Udara. Kedua, aspirasi Kementerian Pertahanan yang hendak mengalihkan rencana impor sistem senjata dari negara lain ke Turki. Sebagai contoh adalah rencana akuisisi helm pintar Scorpion JHMCS buatan Thales Inc, Amerika Serikat langsung dari Amerika Serikat menjadi pengadaan helm Scorpion JHMCS lewat perusahaan Turki.

Apabila ditelusuri lebih jauh, tantangan yang terkait dengan loan agreement bukan semata karena proses yang lama di Kementerian Keuangan. Hal demikian dipengaruhi pula oleh seberapa cepat Kementerian Pertahanan menyelesaikan perundingan kontrak dengan calon pemasok sehingga kontrak tersebut dapat dijadikan basis bagi negosiasi loan agreement.

Tidak jarang perundingan kontrak dengan kandidat pemasok baru dapat diselesaikan menjelang masa berlaku PSP berakhir. Sebab negosiasi tersebut tidak segera dimulai tak lama setelah Menteri Keuangan menerbitkan PSP.

Selain itu, sikap bebal Kementerian Pertahanan untuk terus melanjutkan belanja sistem senjata ke Turki berkontribusi pula pada keterlambatan loan agreement sebab calon lender melihat risiko besar terkait pinjaman untuk mendukung kegiatan tersebut sehingga commercially unviable.

Brazil membangun Scorpene-class di Itaguaí Construções Navais (ICN) shipyard, Rio de Janerio, Brazil (photo: Opex360)

Salah satu dinamika yang dihadapi oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan terkait dengan loan agreement adalah tuntutan kenaikan harga kontrak yang diminta oleh calon pemasok sebab harga lama yang sudah tercantum dalam kontrak sudah tidak relevan lagi. Tuntutan kenaikan harga terjadi sebab calon pemasok memiliki sejumlah asumsi saat kontrak ditandatangani, di mana asumsi tersebut mempunyai batas waktu.

Sebagaimana diketahui, pasokan material pada industri dirgantara dan pertahanan global saat ini selalu mengalami kenaikan harga dalam jangka waktu tertentu. Semakin lama suatu kontrak tidak memiliki loan agreement, maka semakin besar pula kemungkinan tuntutan kenaikan harga akan diajukan oleh calon pemasok.

Penting pula untuk dicatat bahwa penyelesaian loan agreement kini juga merupakan batu ujian bagi kredibilitas Indonesia di mata industri dirgantara dan pertahanan global. Dengan tertundanya penandatanganan beberapa loan agreement pada akhir tahun lalu, sejumlah pihak mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap kontrak yang telah disepakati.

Sangat penting untuk menjaga kredibilitas Indonesia dalam kontrak sebab Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari bantuan industri pertahanan internasional guna melaksanakan modernisasi kekuatan pertahanan. Begitu pula dengan ambisi Indonesia untuk menguasai teknologi pertahanan yang memerlukan dukungan industri pertahanan asing.

Indonesia akan membangun Scorpene-class di galangan PT PAL, Surabaya (photo: PAL)

Kontrak kapal selam

Di antara kontrak akuisisi sistem senjata yang belum mempunyai loan agreement sampai akhir Desember 2024 ialah program kapal selam Scorpene Evolved yang sudah ditandatangani pada akhir Maret 2024. PSP kegiatan tersebut telah jatuh tempo pada 31 Maret 2024 dan hingga kini belum mendapatkan perpanjangan dari Menteri Keuangan walaupun Kementerian Pertahanan telah mengajukan permohonan pada tahun lalu.

Mengingat bahwa program ini merupakan high profile project, perpanjangan PSP oleh Menteri Keuangan nampaknya terkait pula dengan kesiapan fiskal untuk mendukung program tersebut, seperti dana Rupiah Murni Pendamping (RMP). Mengingat bahwa nilai kontrak Scorpene Evolved cukup besar, maka nilai RMP yang dibutuhkan akan cukup besar juga.

Mengutip sejumlah sumber yang kredibel, pada akhir Januari 2025 Kementerian Keuangan telah menandatangani loan agreement untuk program kapal selam Scorpene Evolved. Tantangan setelah loan agreement diteken adalah memastikan ketersediaan RMP agar kontrak tersebut memasuki tahap efektif. Sampai saat ini berapa angka RMP untuk APBN 2025 Kementerian Pertahanan belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar satu per enam dari total anggaran belanja modal.

Tidak boleh dilupakan pula kesiapan mitra lokal Naval Group terkait dengan bank guarantee dalam program kapal selam kelas Scorpene Evolved sebagaimana diatur dalam Joint Operation Agreement. (Alman Helvas Ali)

(CNBC)

10 Februari 2025

PTU Terbangkan Pesawat Su-30MKM, Pamer Keupayaan dan Kesiagaan TUDM Melaksanakan Operasi Pemintasan Pesawat Asing dan Force Down

10 Februari 2025

Panglima Tentera Udara menerbangkan pesawat Su-30MKM dan melaksanakan misi pemintasan pesawat asing dan force down (all photos: TUDM)

Panglima Tentera Udara, Jen Tan Sri Dato' Sri Mohd Asghar Khan bin Goriman Khan TUDM telah menerbangkan pesawat Su-30MKM dan melaksanakan Misi Pemintasan Pesawat Asing dan Force Down sempena Lawatan Kerja Jawatankuasa Kerja Sistem Saraan Perkhidmatan Awam (JKK SSPA) ke Pangkalan Udara Kuantan pada 4 Februari 2025.


Misi Pemintasan Pesawat dan Force Down merupakan salah satu tindakan pantas skuadron pesawat pejuang melaksanakan tugasan memintas pesawat asing  yang menceroboh ruang udara negara.


Demonstrasi ini dilaksanakan bertujuan untuk memberi pendedahan kepada delegasi yang hadir tentang pengoperasian ATM amnya dan TUDM khasnya, seiring dengan setiap cadangan penambaikan SSPA bagi perkhidmatan ATM yang telah dikemukakan kepada JKK SPPA Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA).


Penglibatan Panglima Tentera Udara, pegawai dan anggota TUDM telah membuktikan kesiagaan aset dan warga TUDM di peringkat Strategik, Operasional dan Taktikal mampu diatur gerak sebilang masa dalam menjaga kedaulatan negara.


Demonstrasi lain yang turut dilaksanakan adalah Low Level Tactical Navigation, Free-Fall Tactical Infiltration, Combat Search and Rescue Mission, Ground Attack Tactic and Close Air Support Mission, Night Flight Tactical Operation dan Night Air Combat Tactic and Close Air Support Mission. Demonstrasi yang dilaksanakan ini sebahagiaannya turut disertai oleh wakil JPA yang hadir bagi memberi peluang kepada mereka merasai sendiri cabaran dan risiko yang dihadapi oleh setiap pegawai dan anggota ATM dalam melaksanakan setiap misi.

Australian Third MQ-4C Triton Program on Track and Preparing Next Aircraft for Delivery

10 Februari 2025

Australia's third multi-intelligence MQ-4C Triton, also known as “AUS3,” takes to the skies for its first flight at Northrop Grumman’s Palmdale, California, facility on October 29, 2024 (photo: Northrop Grumman)

PALMDALE, Calif.  -- Northrop Grumman Corporation (NYSE: NOC) successfully completed testing of Australia’s third MQ-4C Triton at the company’s Palmdale, California, facility. 

The company is preparing to ferry the aircraft to Naval Air Station in Patuxent River, Maryland, where it will join Australia’s second Triton for calibration testing before delivery of both aircraft to the Royal Australian Air Force. 

Robust flight testing and validation of these uncrewed high-altitude, long endurance aircraft are key milestones ahead of delivery to Australia this year. 

Australia’s air force is collaborating with Northrop Grumman and the U.S. Navy to field the most advanced maritime intelligence, surveillance, reconnaissance and targeting capability available today.

Thai TAI and Sweden's SAAB Sign Cooperation Agreement to Support the RTAF's Gripen E/F Fighter Aircraft

10 Februari 2025

TAI and SAAB AB signed MoU to industrial support maintenance and logistics for RTAF Gripen E/F, Saab 340, Components, Tactical Data Link, and Command and Control capabilities at TAI headquarters in Bangkok, Thailand (photos: TAI)

Thai Aviation Industries (TAI) and SAAB AB, Sweden, on 7 February 2025 signed a Memorandum of Understanding (MOU) at TAI's headquarters near Don Mueang International Airport in Bangkok, Thailand, which TAI Thailand has published on its official social media channels. It is an important sign of progress in the project to procure 12 Swedish Saab JAS 39 Gripen E/F fighter aircraft of the Royal Thai Air Force (RTAF) through a cooperation agreement to support logistics and maintenance.

This also includes support for the delivery and maintenance of the Saab 340 ERIEYE AEW Airborne Warning and Control Aircraft and the Saab 340B Transport Aircraft, Squadron 702, Wing 7, Surat Thani, as well as increasing the capability to maintain the main parts of domestic aircraft of the Royal Thai Air Force and Royal Thai Navy (RTN), enhance the capabilities of Tactical Data Link (TDL) and Command and Control (C2) networks to Thai TAI in accordance with the offset and technology transfer policy to develop the Thai aviation and defense industries.

The Royal Thai Air Force is looking to receive approval from the Thai government and the Thai parliament in fiscal year 2025 around April-May 2025 for the replacement of its F-16A/B ADF fighters of Squadron 102, Wing 1, Korat with 12 Gripen E/F fighters.

Phase 1 procurement, with a budget of approximately 19,000,000,000 baht ($539 million), consists of the first 4 aircraft, consisting of 3 single-seat fighter aircraft Gripen E and 1 two-seat fighter aircraft Gripen F, with the contract expected to be signed around June 2025 and will be delivered to Squadron 102, Wing 1 in 2029.

The Royal Thai Air Force has selected the Swedish Gripen E/F fighter over the US Lockheed Martin F-16C/D Block 70/72 Viper fighter from two final options out of 22 fighter jets considered.

The Commander-in-Chief of the Royal Thai Air Force, Air Chief Marshal Panpakdee Pattanakul, previously revealed to Thai media in January 2025 that Sweden’s proposed compensation agreement, including trade, imports, and exports, would be worth more than 60 billion baht ($1,778,515,530). The recent signing of the MOU between TAI Thailand and SAAB Sweden paves the way for the procurement agreement to be finalized soon.

(AAG)