12 Februari 2025
South Korea's Hanwha Finalizes Agreement with DTI and Chaiseri to Develop K200 IFV for the oyal Thai Army
11 Februari 2025
ASELSAN Menyediakan Radar "Mete Han" untuk Fregat Merah Putih
Gagal Selesaikan Kapal OPV 2 dan OPV 3, Malaysia Putuskan Kontrak dengan Galangan
Penyelesaian Loan Agreement untuk Belanja Sistem Persenjataan
11 Januari 2025
Indonesia akan menjadi negara ke-5 yang mengoperasikan Scorpene-class (dikembangkan bersama oleh Naval Group, Prancis dan Navantia, Spanyol) setelah Chili, Malaysia, India dan Brazil. Prancis dan Spanyol sendiri tidak menggunakan Scorpene-class, Prancis sepenuhnya menggunakan kapal selam dengan propulsi nuklir sedangkan Spanyol menggunakan S-80 yang lebih besar untuk menggantikan S-70 (photo: Naval Group)
Peningkatan alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) bagi Kementerian Pertahanan untuk periode 2020-2024 senilai US$ 25 miliar dari sebelumnya US$ 7,7 miliar pada kurun 2015-2019 melahirkan tantangan tersendiri untuk Kementerian Pertahanan untuk menyerapnya. Kemampuan daya serap PLN adalah menjadi salah satu indikator apakah Kementerian Pertahanan mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam Minimum Essential Force atau tidak.
Sejak dekade lalu fakta menunjukkan bahwa semakin besar jatah PLN bagi Kementerian Pertahanan, semakin besar pula tantangan bagi Kementerian Pertahanan guna menyerap anggaran yang sudah disediakan bagi belanja senjata. Sampai 31 Desember 2024, terdapat sekitar 50 kontrak yang empat status yang berbeda-beda di Kementerian Keuangan.
Pertama, kontrak menunggu izin penandatangan loan agreement dari Menteri Keuangan, Kedua, kontrak yang sudah menerima izin negosiasi loan agreement dari Menteri Keuangan. Ketiga, kontrak yang sudah mendapatkan calon lender dan menunggu izin negosiasi loan agreement dari Menteri Keuangan. Keempat, kontrak yang masih dalam proses seleksi calon lender oleh Kementerian Keuangan.
Terdapat sejumlah loan agreement pada akhir Desember 2024 yang belum mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan untuk ditandatangani, meskipun terdapat harapan besar dari Kementerian Pertahanan dan pabrikan agar loan agreement tersebut dapat diselesaikan pada 31 Desember 2024. Secara teknis, kontrak-kontrak tersebut telah siap untuk ditandatangani karena semua klausul dalam loan agreement sudah disepakati oleh Kementerian Keuangan dan lender.
Scorpene-class Chili dan Malaysia dibangun di Naval Group, Cherbourg, Prancis dan Navantia shipyard, di Cartagena, Spanyol (photo: AFP)
Nampaknya terdapat pertimbangan lain yang membuat Kementerian Keuangan belum menandatangani sejumlah loan agreement tersebut. Sebagaimana diketahui, langkah selanjutnya setelah penandatanganan loan agreement ialah aktivasi kontrak akuisisi lewat pembayaran uang muka kepada pabrikan.
Selain isu loan agreement, isu lain yang mendapatkan perhatian sejumlah kalangan terkait adalah perpanjangan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) bagi lebih dari 20 kontrak yang telah diteken oleh Kementerian Pertahanan. Tanpa persetujuan perpanjangan PSP dari Menteri Keuangan, mustahil bagi Kementerian Keuangan dapat melaksanakan perundingan loan agreement dengan lender.
Mengacu pada aturan yang berlaku, penandatanganan kontrak oleh Kementerian Pertahanan dan loan agreement oleh Kementerian Keuangan harus dalam masa aktif PSP. Walaupun Menteri Keuangan sebelum akhir 2024 sudah menerbitkan perpanjangan PSP bagi sejumlah kontrak, hal itu belum sepenuhnya memenuhi harapan Kementerian Pertahanan maupun pabrikan tertentu.
Terkait dengan PSP, salah satu kendala yang muncul dalam eksekusi program ialah gagasan perubahan skema program dari Lembaga Pembiayaan Kredit Ekspor (LPKE) menjadi Kreditor Swasta Asing (KSA). Setidaknya terdapat dua alasan yang mendasari ide tersebut yakni pertama, program sulit untuk didanai oleh LPKE karena terkait dengan pengerjaan kegiatan yang akan dilaksanakan di Indonesia.
India membangun Scorpene-class di Mazagon Dock, Mumbai, India (photo: L'usineNouvelle)Hal ini tercemin dalam kasus program axial armament component helikopter H225M milik TNI Angkatan Udara. Kedua, aspirasi Kementerian Pertahanan yang hendak mengalihkan rencana impor sistem senjata dari negara lain ke Turki. Sebagai contoh adalah rencana akuisisi helm pintar Scorpion JHMCS buatan Thales Inc, Amerika Serikat langsung dari Amerika Serikat menjadi pengadaan helm Scorpion JHMCS lewat perusahaan Turki.
Apabila ditelusuri lebih jauh, tantangan yang terkait dengan loan agreement bukan semata karena proses yang lama di Kementerian Keuangan. Hal demikian dipengaruhi pula oleh seberapa cepat Kementerian Pertahanan menyelesaikan perundingan kontrak dengan calon pemasok sehingga kontrak tersebut dapat dijadikan basis bagi negosiasi loan agreement.
Tidak jarang perundingan kontrak dengan kandidat pemasok baru dapat diselesaikan menjelang masa berlaku PSP berakhir. Sebab negosiasi tersebut tidak segera dimulai tak lama setelah Menteri Keuangan menerbitkan PSP.
Selain itu, sikap bebal Kementerian Pertahanan untuk terus melanjutkan belanja sistem senjata ke Turki berkontribusi pula pada keterlambatan loan agreement sebab calon lender melihat risiko besar terkait pinjaman untuk mendukung kegiatan tersebut sehingga commercially unviable.
Brazil membangun Scorpene-class di Itaguaí Construções Navais (ICN) shipyard, Rio de Janerio, Brazil (photo: Opex360)Salah satu dinamika yang dihadapi oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan terkait dengan loan agreement adalah tuntutan kenaikan harga kontrak yang diminta oleh calon pemasok sebab harga lama yang sudah tercantum dalam kontrak sudah tidak relevan lagi. Tuntutan kenaikan harga terjadi sebab calon pemasok memiliki sejumlah asumsi saat kontrak ditandatangani, di mana asumsi tersebut mempunyai batas waktu.
Sebagaimana diketahui, pasokan material pada industri dirgantara dan pertahanan global saat ini selalu mengalami kenaikan harga dalam jangka waktu tertentu. Semakin lama suatu kontrak tidak memiliki loan agreement, maka semakin besar pula kemungkinan tuntutan kenaikan harga akan diajukan oleh calon pemasok.
Penting pula untuk dicatat bahwa penyelesaian loan agreement kini juga merupakan batu ujian bagi kredibilitas Indonesia di mata industri dirgantara dan pertahanan global. Dengan tertundanya penandatanganan beberapa loan agreement pada akhir tahun lalu, sejumlah pihak mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap kontrak yang telah disepakati.
Sangat penting untuk menjaga kredibilitas Indonesia dalam kontrak sebab Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari bantuan industri pertahanan internasional guna melaksanakan modernisasi kekuatan pertahanan. Begitu pula dengan ambisi Indonesia untuk menguasai teknologi pertahanan yang memerlukan dukungan industri pertahanan asing.
Indonesia akan membangun Scorpene-class di galangan PT PAL, Surabaya (photo: PAL)Kontrak kapal selam
Di antara kontrak akuisisi sistem senjata yang belum mempunyai loan agreement sampai akhir Desember 2024 ialah program kapal selam Scorpene Evolved yang sudah ditandatangani pada akhir Maret 2024. PSP kegiatan tersebut telah jatuh tempo pada 31 Maret 2024 dan hingga kini belum mendapatkan perpanjangan dari Menteri Keuangan walaupun Kementerian Pertahanan telah mengajukan permohonan pada tahun lalu.
Mengingat bahwa program ini merupakan high profile project, perpanjangan PSP oleh Menteri Keuangan nampaknya terkait pula dengan kesiapan fiskal untuk mendukung program tersebut, seperti dana Rupiah Murni Pendamping (RMP). Mengingat bahwa nilai kontrak Scorpene Evolved cukup besar, maka nilai RMP yang dibutuhkan akan cukup besar juga.
Mengutip sejumlah sumber yang kredibel, pada akhir Januari 2025 Kementerian Keuangan telah menandatangani loan agreement untuk program kapal selam Scorpene Evolved. Tantangan setelah loan agreement diteken adalah memastikan ketersediaan RMP agar kontrak tersebut memasuki tahap efektif. Sampai saat ini berapa angka RMP untuk APBN 2025 Kementerian Pertahanan belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar satu per enam dari total anggaran belanja modal.
Tidak boleh dilupakan pula kesiapan mitra lokal Naval Group terkait dengan bank guarantee dalam program kapal selam kelas Scorpene Evolved sebagaimana diatur dalam Joint Operation Agreement. (Alman Helvas Ali)
(CNBC)
10 Februari 2025
PTU Terbangkan Pesawat Su-30MKM, Pamer Keupayaan dan Kesiagaan TUDM Melaksanakan Operasi Pemintasan Pesawat Asing dan Force Down
Australian Third MQ-4C Triton Program on Track and Preparing Next Aircraft for Delivery
Thai TAI and Sweden's SAAB Sign Cooperation Agreement to Support the RTAF's Gripen E/F Fighter Aircraft
10 Februari 2025
TAI and SAAB AB signed MoU to industrial support maintenance and logistics for RTAF Gripen E/F, Saab 340, Components, Tactical Data Link, and Command and Control capabilities at TAI headquarters in Bangkok, Thailand (photos: TAI)
Thai Aviation Industries (TAI) and SAAB AB, Sweden, on 7 February 2025 signed a Memorandum of Understanding (MOU) at TAI's headquarters near Don Mueang International Airport in Bangkok, Thailand, which TAI Thailand has published on its official social media channels. It is an important sign of progress in the project to procure 12 Swedish Saab JAS 39 Gripen E/F fighter aircraft of the Royal Thai Air Force (RTAF) through a cooperation agreement to support logistics and maintenance.
This also includes support for the delivery and maintenance of the Saab 340 ERIEYE AEW Airborne Warning and Control Aircraft and the Saab 340B Transport Aircraft, Squadron 702, Wing 7, Surat Thani, as well as increasing the capability to maintain the main parts of domestic aircraft of the Royal Thai Air Force and Royal Thai Navy (RTN), enhance the capabilities of Tactical Data Link (TDL) and Command and Control (C2) networks to Thai TAI in accordance with the offset and technology transfer policy to develop the Thai aviation and defense industries.
The Royal Thai Air Force is looking to receive approval from the Thai government and the Thai parliament in fiscal year 2025 around April-May 2025 for the replacement of its F-16A/B ADF fighters of Squadron 102, Wing 1, Korat with 12 Gripen E/F fighters.
Phase 1 procurement, with a budget of approximately 19,000,000,000 baht ($539 million), consists of the first 4 aircraft, consisting of 3 single-seat fighter aircraft Gripen E and 1 two-seat fighter aircraft Gripen F, with the contract expected to be signed around June 2025 and will be delivered to Squadron 102, Wing 1 in 2029.
The Royal Thai Air Force has selected the Swedish Gripen E/F fighter over the US Lockheed Martin F-16C/D Block 70/72 Viper fighter from two final options out of 22 fighter jets considered.
The Commander-in-Chief of the Royal Thai Air Force, Air Chief Marshal Panpakdee Pattanakul, previously revealed to Thai media in January 2025 that Sweden’s proposed compensation agreement, including trade, imports, and exports, would be worth more than 60 billion baht ($1,778,515,530). The recent signing of the MOU between TAI Thailand and SAAB Sweden paves the way for the procurement agreement to be finalized soon.
(AAG)