12 Februari 2025
South Korea's Hanwha Finalizes Agreement with DTI and Chaiseri to Develop K200 IFV for the oyal Thai Army
11 Februari 2025
ASELSAN Menyediakan Radar "Mete Han" untuk Fregat Merah Putih
Gagal Selesaikan Kapal OPV 2 dan OPV 3, Malaysia Putuskan Kontrak dengan Galangan
Penyelesaian Loan Agreement untuk Belanja Sistem Persenjataan
11 Januari 2025
Indonesia akan menjadi negara ke-5 yang mengoperasikan Scorpene-class (dikembangkan bersama oleh Naval Group, Prancis dan Navantia, Spanyol) setelah Chili, Malaysia, India dan Brazil. Prancis dan Spanyol sendiri tidak menggunakan Scorpene-class, Prancis sepenuhnya menggunakan kapal selam dengan propulsi nuklir sedangkan Spanyol menggunakan S-80 yang lebih besar untuk menggantikan S-70 (photo: Naval Group)
Peningkatan alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) bagi Kementerian Pertahanan untuk periode 2020-2024 senilai US$ 25 miliar dari sebelumnya US$ 7,7 miliar pada kurun 2015-2019 melahirkan tantangan tersendiri untuk Kementerian Pertahanan untuk menyerapnya. Kemampuan daya serap PLN adalah menjadi salah satu indikator apakah Kementerian Pertahanan mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam Minimum Essential Force atau tidak.
Sejak dekade lalu fakta menunjukkan bahwa semakin besar jatah PLN bagi Kementerian Pertahanan, semakin besar pula tantangan bagi Kementerian Pertahanan guna menyerap anggaran yang sudah disediakan bagi belanja senjata. Sampai 31 Desember 2024, terdapat sekitar 50 kontrak yang empat status yang berbeda-beda di Kementerian Keuangan.
Pertama, kontrak menunggu izin penandatangan loan agreement dari Menteri Keuangan, Kedua, kontrak yang sudah menerima izin negosiasi loan agreement dari Menteri Keuangan. Ketiga, kontrak yang sudah mendapatkan calon lender dan menunggu izin negosiasi loan agreement dari Menteri Keuangan. Keempat, kontrak yang masih dalam proses seleksi calon lender oleh Kementerian Keuangan.
Terdapat sejumlah loan agreement pada akhir Desember 2024 yang belum mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan untuk ditandatangani, meskipun terdapat harapan besar dari Kementerian Pertahanan dan pabrikan agar loan agreement tersebut dapat diselesaikan pada 31 Desember 2024. Secara teknis, kontrak-kontrak tersebut telah siap untuk ditandatangani karena semua klausul dalam loan agreement sudah disepakati oleh Kementerian Keuangan dan lender.
Scorpene-class Chili dan Malaysia dibangun di Naval Group, Cherbourg, Prancis dan Navantia shipyard, di Cartagena, Spanyol (photo: AFP)
Nampaknya terdapat pertimbangan lain yang membuat Kementerian Keuangan belum menandatangani sejumlah loan agreement tersebut. Sebagaimana diketahui, langkah selanjutnya setelah penandatanganan loan agreement ialah aktivasi kontrak akuisisi lewat pembayaran uang muka kepada pabrikan.
Selain isu loan agreement, isu lain yang mendapatkan perhatian sejumlah kalangan terkait adalah perpanjangan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) bagi lebih dari 20 kontrak yang telah diteken oleh Kementerian Pertahanan. Tanpa persetujuan perpanjangan PSP dari Menteri Keuangan, mustahil bagi Kementerian Keuangan dapat melaksanakan perundingan loan agreement dengan lender.
Mengacu pada aturan yang berlaku, penandatanganan kontrak oleh Kementerian Pertahanan dan loan agreement oleh Kementerian Keuangan harus dalam masa aktif PSP. Walaupun Menteri Keuangan sebelum akhir 2024 sudah menerbitkan perpanjangan PSP bagi sejumlah kontrak, hal itu belum sepenuhnya memenuhi harapan Kementerian Pertahanan maupun pabrikan tertentu.
Terkait dengan PSP, salah satu kendala yang muncul dalam eksekusi program ialah gagasan perubahan skema program dari Lembaga Pembiayaan Kredit Ekspor (LPKE) menjadi Kreditor Swasta Asing (KSA). Setidaknya terdapat dua alasan yang mendasari ide tersebut yakni pertama, program sulit untuk didanai oleh LPKE karena terkait dengan pengerjaan kegiatan yang akan dilaksanakan di Indonesia.
India membangun Scorpene-class di Mazagon Dock, Mumbai, India (photo: L'usineNouvelle)Hal ini tercemin dalam kasus program axial armament component helikopter H225M milik TNI Angkatan Udara. Kedua, aspirasi Kementerian Pertahanan yang hendak mengalihkan rencana impor sistem senjata dari negara lain ke Turki. Sebagai contoh adalah rencana akuisisi helm pintar Scorpion JHMCS buatan Thales Inc, Amerika Serikat langsung dari Amerika Serikat menjadi pengadaan helm Scorpion JHMCS lewat perusahaan Turki.
Apabila ditelusuri lebih jauh, tantangan yang terkait dengan loan agreement bukan semata karena proses yang lama di Kementerian Keuangan. Hal demikian dipengaruhi pula oleh seberapa cepat Kementerian Pertahanan menyelesaikan perundingan kontrak dengan calon pemasok sehingga kontrak tersebut dapat dijadikan basis bagi negosiasi loan agreement.
Tidak jarang perundingan kontrak dengan kandidat pemasok baru dapat diselesaikan menjelang masa berlaku PSP berakhir. Sebab negosiasi tersebut tidak segera dimulai tak lama setelah Menteri Keuangan menerbitkan PSP.
Selain itu, sikap bebal Kementerian Pertahanan untuk terus melanjutkan belanja sistem senjata ke Turki berkontribusi pula pada keterlambatan loan agreement sebab calon lender melihat risiko besar terkait pinjaman untuk mendukung kegiatan tersebut sehingga commercially unviable.
Brazil membangun Scorpene-class di Itaguaí Construções Navais (ICN) shipyard, Rio de Janerio, Brazil (photo: Opex360)Salah satu dinamika yang dihadapi oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan terkait dengan loan agreement adalah tuntutan kenaikan harga kontrak yang diminta oleh calon pemasok sebab harga lama yang sudah tercantum dalam kontrak sudah tidak relevan lagi. Tuntutan kenaikan harga terjadi sebab calon pemasok memiliki sejumlah asumsi saat kontrak ditandatangani, di mana asumsi tersebut mempunyai batas waktu.
Sebagaimana diketahui, pasokan material pada industri dirgantara dan pertahanan global saat ini selalu mengalami kenaikan harga dalam jangka waktu tertentu. Semakin lama suatu kontrak tidak memiliki loan agreement, maka semakin besar pula kemungkinan tuntutan kenaikan harga akan diajukan oleh calon pemasok.
Penting pula untuk dicatat bahwa penyelesaian loan agreement kini juga merupakan batu ujian bagi kredibilitas Indonesia di mata industri dirgantara dan pertahanan global. Dengan tertundanya penandatanganan beberapa loan agreement pada akhir tahun lalu, sejumlah pihak mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap kontrak yang telah disepakati.
Sangat penting untuk menjaga kredibilitas Indonesia dalam kontrak sebab Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari bantuan industri pertahanan internasional guna melaksanakan modernisasi kekuatan pertahanan. Begitu pula dengan ambisi Indonesia untuk menguasai teknologi pertahanan yang memerlukan dukungan industri pertahanan asing.
Indonesia akan membangun Scorpene-class di galangan PT PAL, Surabaya (photo: PAL)Kontrak kapal selam
Di antara kontrak akuisisi sistem senjata yang belum mempunyai loan agreement sampai akhir Desember 2024 ialah program kapal selam Scorpene Evolved yang sudah ditandatangani pada akhir Maret 2024. PSP kegiatan tersebut telah jatuh tempo pada 31 Maret 2024 dan hingga kini belum mendapatkan perpanjangan dari Menteri Keuangan walaupun Kementerian Pertahanan telah mengajukan permohonan pada tahun lalu.
Mengingat bahwa program ini merupakan high profile project, perpanjangan PSP oleh Menteri Keuangan nampaknya terkait pula dengan kesiapan fiskal untuk mendukung program tersebut, seperti dana Rupiah Murni Pendamping (RMP). Mengingat bahwa nilai kontrak Scorpene Evolved cukup besar, maka nilai RMP yang dibutuhkan akan cukup besar juga.
Mengutip sejumlah sumber yang kredibel, pada akhir Januari 2025 Kementerian Keuangan telah menandatangani loan agreement untuk program kapal selam Scorpene Evolved. Tantangan setelah loan agreement diteken adalah memastikan ketersediaan RMP agar kontrak tersebut memasuki tahap efektif. Sampai saat ini berapa angka RMP untuk APBN 2025 Kementerian Pertahanan belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar satu per enam dari total anggaran belanja modal.
Tidak boleh dilupakan pula kesiapan mitra lokal Naval Group terkait dengan bank guarantee dalam program kapal selam kelas Scorpene Evolved sebagaimana diatur dalam Joint Operation Agreement. (Alman Helvas Ali)
(CNBC)
10 Februari 2025
PTU Terbangkan Pesawat Su-30MKM, Pamer Keupayaan dan Kesiagaan TUDM Melaksanakan Operasi Pemintasan Pesawat Asing dan Force Down
Australian Third MQ-4C Triton Program on Track and Preparing Next Aircraft for Delivery
Thai TAI and Sweden's SAAB Sign Cooperation Agreement to Support the RTAF's Gripen E/F Fighter Aircraft
10 Februari 2025
TAI and SAAB AB signed MoU to industrial support maintenance and logistics for RTAF Gripen E/F, Saab 340, Components, Tactical Data Link, and Command and Control capabilities at TAI headquarters in Bangkok, Thailand (photos: TAI)
Thai Aviation Industries (TAI) and SAAB AB, Sweden, on 7 February 2025 signed a Memorandum of Understanding (MOU) at TAI's headquarters near Don Mueang International Airport in Bangkok, Thailand, which TAI Thailand has published on its official social media channels. It is an important sign of progress in the project to procure 12 Swedish Saab JAS 39 Gripen E/F fighter aircraft of the Royal Thai Air Force (RTAF) through a cooperation agreement to support logistics and maintenance.
This also includes support for the delivery and maintenance of the Saab 340 ERIEYE AEW Airborne Warning and Control Aircraft and the Saab 340B Transport Aircraft, Squadron 702, Wing 7, Surat Thani, as well as increasing the capability to maintain the main parts of domestic aircraft of the Royal Thai Air Force and Royal Thai Navy (RTN), enhance the capabilities of Tactical Data Link (TDL) and Command and Control (C2) networks to Thai TAI in accordance with the offset and technology transfer policy to develop the Thai aviation and defense industries.
The Royal Thai Air Force is looking to receive approval from the Thai government and the Thai parliament in fiscal year 2025 around April-May 2025 for the replacement of its F-16A/B ADF fighters of Squadron 102, Wing 1, Korat with 12 Gripen E/F fighters.
Phase 1 procurement, with a budget of approximately 19,000,000,000 baht ($539 million), consists of the first 4 aircraft, consisting of 3 single-seat fighter aircraft Gripen E and 1 two-seat fighter aircraft Gripen F, with the contract expected to be signed around June 2025 and will be delivered to Squadron 102, Wing 1 in 2029.
The Royal Thai Air Force has selected the Swedish Gripen E/F fighter over the US Lockheed Martin F-16C/D Block 70/72 Viper fighter from two final options out of 22 fighter jets considered.
The Commander-in-Chief of the Royal Thai Air Force, Air Chief Marshal Panpakdee Pattanakul, previously revealed to Thai media in January 2025 that Sweden’s proposed compensation agreement, including trade, imports, and exports, would be worth more than 60 billion baht ($1,778,515,530). The recent signing of the MOU between TAI Thailand and SAAB Sweden paves the way for the procurement agreement to be finalized soon.
(AAG)
09 Februari 2025
US, France and Japan Partner for 3-Carrier Exercise in Philippine Sea
09 Februari 2025
CVN-70 USS Carl Vinson (photo: Dvids)France, Japan, U.S. Partner in Multi-Large Deck Event in Philippine Sea
PHILIPPINE SEA – U.S. forces will participate in Exercise Pacific Steller 2025, a multi-large deck event (MLDE) hosted by the French Navy in the Philippine Sea beginning Feb. 8. The exercise will involve ships from the U.S. Navy’s Vinson Carrier Strike Group (VINCSG), the French Carrier Strike Group, and the Japan Maritime Self-Defense Force.
This MLDE is designed to advance coordination and cooperation between French, Japanese and U.S. maritime forces while simultaneously demonstrating capabilities in multi-domain operations, promoting a shared dedication to regional stability, and highlighting the U.S. Navy’s enduring power projection capability.
“Pacific Steller 2025 allows us to practice seamless integration with our French and Japanese allies in a multi-domain environment,” said Rear Adm. Michael Wosje, commander, Carrier Strike Group (CSG) 1. “Coordinated operations between USS Carl Vinson, FS Charles De Gaulle, and JS Kaga strengthen our alliances and deter our adversaries. Together, we seek to maintain an open and inclusive Indo-Pacific, free of all forms of coercion, and we’re excited to work alongside our allies and partners who share that vision.”
Vinson Carrier Strike Group (CSG) 1 (photo: CPF)The U.S.-France alliance is built on a legacy of shared interests, values, and a commitment to freedom and human rights.
“It is a great opportunity for the French Carrier Strike Group to cooperate with our partners in the Indo-Pacific during the whole deployment. While France is a resident nation of the Indo-Pacific, it has not deployed its CSG to this part of the world for a long time,” said Rear Adm. Jacques Mallard, commander, French CSG. “Since January 14, the aircraft carrier Charles De Gaulle, based in Toulon more than 6000 miles from here, is sailing in a different area. There is no doubt that PACIFIC STELLER will ramp up to a new level of interoperability for our three navies and represents a challenge that we are more than eager to take up alongside Japanese and US partners.”
The most recent MLDE in the Indo-Pacific occurred in August 2024 between the Nimitz-class aircraft carrier USS Abraham Lincoln (CVN 72) and the Italian Navy aircraft carrier ITS Cavour (CVH 550). The event marked the first MLDE conducted between the U.S. and Italian navies in the Indo-Pacific region.
“Our routine integration aims to showcase our partnership and demonstrate our ability to work together with our French and Japanese allies,” said Capt. Matthew Thomas, commanding officer of the Nimitz-class aircraft carrier USS Carl Vinson (CVN 70). “Pacific Steller 2025 is one of many exercises with the goal to enhance the maritime security of the Indo-Pacific region. As the flagship of CSG-1, Carl Vinson stands ready and looks forward to participating alongside Charles De Gaulle and Kaga.”
FS Charles De Gaulle R91 (photo: Seaforces)
MLDEs are conducted in a manner that is consistent with international law and with due regard to the safety of navigation and the rights and interests of other states.
Participating large-deck ships include the Nimitz-class aircraft carrier USS Carl Vinson (CVN 70), the French carrier FS Charles De Gaulle, and Japan’s Izumo-class multi-functional destroyer JS Kaga (DDH-184).
CSG-1 consists of Carl Vinson, embarked staffs of CSG-1 and Destroyer Squadron (DESRON) one, Carrier Air Wing 2 (CVW) 2, the Ticonderoga-class guided-missile cruiser USS Princeton (CG 59), and Arleigh Burke-class guided-missile destroyers USS Sterett (DDG 104) and USS William P. Lawrence (DDG 110).
CVW-2 is composed of nine squadrons flying the F-35C Lightning II, F/A-18E/F Super Hornets, EA-18G Growler, E-2D Advanced Hawkeye, CMV-22 Osprey and MH-60R/S Seahawks.
JS Izumo DDH-183 (photo: JMSDF)
French Carrier Strike Group consists of Charles De Gaulle, its embarked French Strike Force staff and carrier air wing, an air-defense destroyer, multi-mission frigates, a supply ship, an attack submarine, and a detachment of Atlantique 2 maritime patrol aircraft.
The French carrier air wing flies the Rafale Marine (F4) fighter aircraft, E-2C Hawkeye, and Dauphin, Caiman Marine, and Panther helicopters.
The French Carrier Strike Group is currently engaged in Mission CLEMENCEAU 25, sailing alongside its allies and strategic partners to promote a free, open and stable Indo-Pacific space for the benefit of French populations, interests, and those of their regional partners, within the framework of international law.
The Carl Vinson Carrier Strike Group is operating in the U.S. 7th Fleet area of operations. U.S. 7th Fleet is the U.S. Navy’s largest forward-deployed numbered fleet and routinely interacts and operates with allies and partners in preserving a free and open Indo-Pacific region.
Philippines to Acquire an Additional 12 Units of the Atmos 2000 SPH
09 Februari 2025
Currently, the Philippine Army operates twelve 6x6 truck-mounted Atmos 2000 SPH (photo: Philippine Army)Another 12 units of Atmos 2000 for the Philippine Army approved
The Armed Forces of the Philippines plans to acquire an additional 12 units of the Atmos 2000 self-propelled howitzers by 2025.
This acquisition is part of the AFP's ongoing modernization program to enhance its capabilities and ensure National Security.
This project includes the funds given in the new budget of the AFP for the year 2025. Based on the new funds of the AFP modernization program the list includes the purchase of an additional 12 units of Atmos 2000 self-propelled howitzers.
Currently, the Philippine Army is actively operating this weapon system Atmos 2000. The Atmos 2000 is an autonomous truck-mounted howitzer system is a long-range fast-moving artillery platform from Elbit Systems, Israel.
This self-propelled 155 mm 52 caliber howitzer is known for its accuracy mobility and power capable of reaching targets up to 41 km away, it allows the AFP to engage threats with precision while maintaining mobility and flexibility in diverse terrains.
The Atmos 2000 typically requires a crew of four to six personnel to operate which is fewer than traditional artillery systems.
Its design allows for rapid deployment as the system can quickly move set up fire and relocate making it suitable for shoot-and-scoot tactics.
The Atmos 2000 is used to provide long-range fire support in various combat scenarios including counter-battery fire targeting enemy
artillery positions support infantry and armored units and defensive and offensive operations where mobility and quick response are crucial.
The AFP Modernization Program is a multiphase initiative aimed at transforming the country's Armed Forces into a credible and effective military force.
The acquisition of the additional Atmos 2000 units is part of Horizon 3 of this program which focuses on enhancing the Firepower and Mobility of ground forces.
See full article The Mowst
Kisah, Kapal Pemburu "Motor Torpedo Boat" Datang Dipangkalan ALRI Surabaja
08 Februari 2025
PH Successful Conduct of 6th Multilateral Maritime Cooperation Activity (MMCA) with US, Japan, Australia
Havelsan Successfully Upgrades Turkish CN-235 Aircraft with Advent Marti System
08 Februari 2025
The interoperability feature of Havelsan's Advent Marti C2 system integrated with Türkiye's Coast Guard Command's TCSG-553 aircraft (infographic: Havelsan)ADVENT MARTI Command and Control System Integrated into TCSG-553 Aircraft
Developed with national engineering capabilities, the ADVENT MARTI Command and Control System has been successfully integrated into the TCSG-553 aircraft of the Turkish Coast Guard Command. This integration aims to enhance the operational efficiency of critical airborne platforms used in security and defense missions.
Air platforms, equipped with advanced mission systems, play a pivotal role in intelligence, reconnaissance, and surveillance operations. They are essential tools in combating drug smuggling, migrant trafficking, human trafficking, and preventing high-risk incidents like hijackings. Advanced decision support systems like ADVENT MARTI are vital in ensuring mission success in these scenarios.
CN-235 no registration TSCG-553 of the Turkish Coast Guard integrated with Advent Marti Command and Control System (photos: Havelsan)
The ADVENT MARTI solution, part of the ADVENT CMS product family developed under the leadership of the Turkish Naval Forces Command, is specifically designed for special mission aircraft and helicopters. It provides real-time situational awareness, advanced command and control capabilities, and a flexible structure to adapt to various mission requirements.
Advanced Features of ADVENT MARTI
The ADVENT MARTI system is highly adaptable and configurable, seamlessly integrating with a wide range of sensors and equipment. It is suitable for platforms such as Maritime Patrol Aircraft, Maritime Surveillance Aircraft, Helicopters, and UAVs.
Key Capabilities:
-Intelligence, Reconnaissance, and Surveillance
-Anti-Submarine Warfare (ASW) and Surface Warfare
-Electronic Warfare
-Search and Rescue (SAR)
-Tactical Data Link Relay
-Preventing Illegal Activities like Drug Smuggling, Human Trafficking, and Hijacking
HAVELSAN’s Combat Management System (CMS) enhances mission effectiveness through real-time decision-making capabilities and seamless integration with existing defense infrastructure.
By leveraging national engineering expertise, ADVENT MARTI continues to strengthen the operational efficiency of security forces and contribute to global security initiatives.
(Havelsan)
Rapim TNI AL, KSAL Bahas Kebutuhan Sensor Bawah Laut di 8 "Choke Points"
08 Februari 2025
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (image: kapal dan logistik)JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali mengatakan bahwa kebutuhan pemasangan sensor bawah laut di kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), menjadi salah satu pembahasan dalam rapat pimpinan (Rapim) TNI AL 2025.
Keberadaan sensor bawah laut tersebut dianggap perlu untuk memperkuat pengamanan di 8 choke points atau titik sempit jalur pelayaran di area ALKI I, II dan III.
"Kita memiliki delapan choke points penting itu semua harus dijaga (dengan) sensor bawah air untuk mendukung pengamanan di ALKI I, II maupun III. Semua kita bahas," ujar Ali kepada wartawan di Mabes TNI AL, Kamis (6/2/2025).
Dalam kesempatan itu, Ali juga menekankan bahwa TNI AL bakal bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait yang memiliki sensor bawah laut dan pos pengawas.
"TNI AL juga bakal bersinergi dengan kementerian dan lembaga lainnya yang memiliki juga sensor maupun pos pengawas. Kita juga akan memperkuat puskodal, harapannya bisa mengawasi seluruh perairan Indonesia, termasuk dengan (delapan) choke points tersebut," kata Ali.
Contoh penerapan Underwater Sensor Networks (UWSNs) (image: MDPI)Berdasarkan catatan Kompas.com, Jalur ALKI I difungsikan untuk pelayaran dari Laut China Selatan melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda ke Samudra Hindia, dan sebaliknya, serta untuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut Natuna dan sebaliknya.
Adapun perairan indonesia yang termasuk dalam wilayah ALKI I adalah Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Jawa.
Sedangkan pada ALKI II difungsikan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat Lombok ke Samudera Hindia, dan sebaliknya. Jalur ALKI II meliputi jalur lintas perairan Laut Sulawesi, Selat Makassar, Selat Lombok dan Laut Lombok.
Sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, ALKI II memiliki nilai strategis karena menghubungkan lalu lintas perairan dan perdagangan internasional dari Afrika ke Asia Tenggara dan Jepang serta dari Australia ke Singapura dan Tiongkok serta Jepang, begitu pula sebaliknya.
Sedangkan jalur ALKI III pada umumnya dibagi menjadi beberapa bagian. ALKI III-A difungsikan untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu.
Contoh SOSUS array mendeteksi kapal selam (image: gentleseas)ALKI III-A menghubungkan jalur perairan dan perdagangan internasional Australia bagian barat ke Filipina dan Jepang, dan sebaliknya.
Kemudian ALKI III-B difungsikan untuk jalur perairan dan perdagangan internasional yang meliputi pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Samudra Hindia dan sebaliknya.
ALKI III-C difungsikan untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Arafura dan sebaliknya.
Sedangkan jalur ALKI III-D difungsikan untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu ke Samudra Hindia dan sebaliknya.
Untuk ALKI III-E difungsikan sebagai jalur pelayaran dari Samudra Hindia melintasi Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku.
(Kompas)