Tampilkan postingan dengan label Kapal Perang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kapal Perang. Tampilkan semua postingan

05 Februari 2011

KCR-40 Clurit Diluncurkan di Batam

05 Februari 2011

KCR-40 buatan Palindo Marine Industries Batam (photo : Defense Studies)

Kapal Perang Buatan Batam

BATAM (BP) – Industri shipyard di Batam mengukir sejarah baru, setelah berhasil menyelesaikan pengerjaan Kapal Cepat Rudal (KCR) dalam waktu kurang dari setahun. Hebatnya lagi, kapal perang ini memiliki kemampuan mengangkut dan menembakkan rudal ini, seluruh desain dan pengerjaanya dilakukan putra-putri terbaik Indonesia.

”Sebagian bahan atau material pembuatan kapal perang ini merupakan hasil produksi dalam negeri,” kata Laksamana Pertama TNI Suryo Djati Prabowo, Kepala Dinas Pengadaan TNI Angkatan Laut, Jumat (4/2). Kapal perang ini diberi nama KCR-40 Clurit. Kecepatannnya mencapai 30 knot.

“Ini satu-satunya kapal cepat rudal di Indonesia buatan anak bangsa di Batam,” ujar Suryo dengan bangganya di sela-sela peluncuran kapal sepanjang 44 meter itu di PT Palindo Marine Industri, Tanjunguncang, kemarin.

Kapal sejenis yang di Indonesia saat ini, kata Suryo, rata-rata buatan luar negeri. Namun buatan Batam ini kualitasnya tidak kalah dengan karya asing.

Kapal Cepat Rudal ini berbahan baja-alumnium yang dikembangkan industri perkapalan (shipyard) di Batam untuk Indonesia dan dunia internasional.

”Dengan keberhasilan ini, kita tunjukan kepada dunia bahwa kita telah mampu membangun dan mengembangkan alut sista secara mandiri di dalam negeri,” kata Suryo.

Kapal yang keseluruhan proses pembuatannya di PT Palindo Marine Industries, Batam ini, akan dilengkapi dengan sistem persenjataan modern berupa Sensor Weapon Control (Sewaco) modern, Meriam caliber 30 MM 6 laras sebagai Close in Weapon System (CIWS) serta peluru kendali. Kehadiran kapal dengan sistem pendorongan handal yang mampu berlayar dengan kecepatan 30 knot ini, kata Suryo, diharapkan mampu mengemban tugas-tugas TNI AL dan juga memberikan efek deterrence bagi pertahanan negara.

Sementara menurut Komandan Lanal Batam Kolonel laut (P) Iwan Isnurwanto, KCR ini terbuat dari baja khusus pada bagian hulunya (lambung). Baja High Tensils Steel ini juga produk dalam negeri yang diperoleh dari PT Krakatau Steel.Sementara untuk bagian atasnya, kapal ini menggunakan aluminium Alloy yang memiliki stabilitas dan kecepatan yang tinggi jika berlayar.

Kapal dengan sistem propulsi Fixed Propeller 5 daun ini juga akan dilengkapi 1 unit meriam 6 barel caliber 30 MM, meriam anjungan 2 unit caliber 20 MM dan peluru kendali 2 set Rudal C-705.

Dalam waktu dekat, kapal perang ini akan diuji coba. “Setelah itu, kapal buatan Batam ini dapat segera memasuki jajaran operasional TNI AL,” ujar Suryo.
Sementara itu, putra-putri terbaik bangsa di belakang proses pekerjaan KCR ini, kata direktur PT Palindo Marine Industries Hermanto, berasal dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) yang bekerja di Batam. “Iya. Desain dan pembangunan kapal ini sejak awal dilakukan oleh putra-putri bangsa Indonesia dari ITS di Batam. Kita bangga dengan karya besar mereka,” katanya. (spt)

(Batam Pos)

28 Januari 2011

TNI AL Repowering 6 Kapal Perang

28 Januari 2011



KRI Karel Satsuit Tubun - 356 (photo : Ian Johnson)

Sebanyak 6 kapal perang TNI AL akan di-repowering untuk kurangi beban biaya. Ke-6 kapal itu, diantaranya, kapal tempur buatan Belanda.

Satu diantara kapal yang sudah selesai di-repowering yakni KRI Karel Sasuit Tubun. Sementara KRI Oswot Siahaan dalam proses repowering. Repowering ini dalam upaya memperbarui kapal-kapal TNI AL yang sudah tua dan dianggap tidak layak dipakai beroperasi

Laksamana Agus Suhartono Panglima TNI AL seperti dilaporkan Rangga reporter Suara Surabaya, Jumat (28/01), mengatakan repowering dilakukan pada kapal yang badannya bagus tapi daya dorongnya sudah buruk.

Ini disampaikan Laksamana Agus Suhartono di sela sertijab jabatan komandan Jenderal Akademi TNI dari Letjen Nono Sampurno kepada Marsekal Pertama S Andreas di AAL Surabaya.

Kata Panglima TNI, prioritas repowering adalah kapal-kapal dari Belanda dan Jerman. Untuk kapal-kapal yang dibeli dari Amerika pada tahun70-an akhir tidak digunakan lagi. Panglima TNI mengistilahkan dengan sebutan akan dilepas.

Repowering kapal dilakukan secara bertahap sejak akhir tahun lalu. Dengan repowering, penggunaan BBM pada kapal bisa dihemat. Panglima menambahkan biasanya 1 kapal bisa menghabiskan 50 ton solar, dengan pembaharuan hanya menggunakan 18-20 ton solar.

Repowering kapal ini melibatkan industri perkapalan dalam negeri seperti PT PAL, PT Pindad dan Industri Angkatan Laut. Industri dalam negeri, dinilai Panglima, sudah baik. Selain kapal, sistem kendali persenjataan seperti rudal juga di-repowering. Khusus untuk rudal masih melakukan kerjasama dengan China dan Rusia. (tin)


(Suara Surabaya)

27 Mei 2010

Brunei Hibahkan Dua Kapal Patroli

27 Mei 2010

KDB Pejuang dan KDB Waspada (photos : cari)

Bandar Seri Begawan, Kompas - Untuk mengeratkan hubungan baik yang sudah terjalin selama ini, dan memahami kebutuhan Indonesia, Brunei menghibahkan dua kapal patroli kepada TNI AL. Brunei juga menyatakan akan mempertimbangkan pembelian produk industri pertahanan Indonesia, seperti pesawat patroli dan senapan serbu.

Hal itu disepakati dalam kunjungan kerja Wakil Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin ke negara tetangga ASEAN di ujung utara Borneo ini, 24-25 Mei. Sjafrie menandatangani kesepakatan di atas bersama mitranya, Wakil Menteri Pertahanan Brunei Pehin Mohammad Yasmin Umar, di ibu kota Bandar Seri Begawan.

Dua kapal patroli yang dihibahkan Brunei merupakan Kelas Waspada, yakni KDB (Kapal Diraja Brunei) Waspada dan KDB Pejuang. Kapal yang dibuat oleh galangan Vosper Thornycroft Singapura tahun 1978-1979 ini dikategorikan sebagai kapal patroli berpeluru kendali. Memiliki bobot 210 ton, KDB Waspada memiliki dua tabung peluncur rudal antikapal Exocet MM-38, meriam antipesawat 30 mm buatan Oerlikon, dan dua senapan mesin kaliber 7,62 mm yang dimutakhirkan pada 1990-an.

”Kita sekarang perlu mempersiapkan kapan dan bagaimana kedua kapal patroli tersebut dapat dialihkan ke Indonesia,” ungkap Sjafrie ketika membahas cara memindahkan kedua kapal yang masing-masing membutuhkan sekitar 40 awak itu bersama dengan perwira TNI AL yang menyertai lawatannya.

Mengomentari hibah Brunei, Wamenhan RI menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan wujud ketulusan Brunei dalam menjalin persahabatan dengan RI. Brunei bahkan menyatakan akan mempertimbangkan serius penambahan pesawat patroli CN-235.

20 Mei 2009

Navy Unveils $11b Warship Contract

20 Juni 2007
Hobart class-air defence destroyer for Australian Navy (image : Defense Industry Daily)


Five new Royal Australian Navy warships will be built by defence contractors in Adelaide and Melbourne in partnership with the Spanish company Navantia.

Three F100 Air Warfare Destroyers (AWD) and two amphibious landing ships will be built in an $11 billion contract which is expected to create around 2,000 new jobs through the firms ASC and Tenix.

"The Royal Australian Navy will undergo a quantum leap in its air warfare capability when the F100 enters service," the Defence Department said in a statement.

The first F100 will be delivered in 2014, with the second and third ships arriving in 2016 and 2017.

"They are very significant decisions for the future combat capability of the Royal Australian Navy," said Prime Minister John Howard.

"They represent a very long term investment in the future defence capability of this country."

Mr Howard says the ships will serve the country for decades.

"This decision will enhance our capability for years into the future, particularly - but not only - in our part of the world".

The F100 can be used for joint maritime operations from area air defence and escort duties through to peacetime diplomatic missions.

Capable of landing more than 1,000 personnel, the transporters will also be used in response to natural disasters.

South Australian Premier Mike Rann has welcomed the employment opportunities.

"We believe that the Spanish design offers enormous opportunities for a fourth ship rather than just three ships," Mr Rann said.

"We'll be certainly very strongly supporting the Federal Government making the decision for a fourth ship to be built, which of course will bring even more benefits to SA."

Victorian Industry Minister Theo Theophanous says the deal will provide a significant boost to the state's ship building industry.

"We've been working on this for a long time and we're very pleased that the Government has made the right decision for the right ship for the Navy," he said.

"It's a very large ship, it's a winning design. It will be the biggest Navy ship ever built in Australia."

The Navy failed to convince the Government to support a rival American bid for the destroyers.


Navantia's F100during visit to Australia (photo : ABC)

Arleigh Burke's design was favoured by the Navy, but was beaten by Navantia.

The executive director of the Australia Defence Association, Neil James, says the US destroyer is superior but the Government's decision is understandable.

"There's no doubt that on paper the American ship was a better ship," he said.

"The problem is, of course, it's on paper whereas the Spanish one you can see and you can touch and you can stand on the deck.

"Also, to an extent, it's cheaper and you may be able to get a fourth destroyer for pretty much the same money."

(ABC)

05 Mei 2009

Launch of First Locally-Built RSN Frigate

3 Juli 2004
Formidable Class of the Royal Singapore Navy (photo : ImdexAsia)

The Republic of Singapore Navy's (RSN) second stealth frigate, RSS Intrepid, was launched on 3 Jul 2004, by Mrs Lee Hsien Loong, wife of Deputy Prime Minister and Minister for Finance, Mr Lee Hsien Loong, at the Singapore Technologies Marine yard. DPM Lee officiated at the launching ceremony.

The launch of RSS Intrepid, the first locally-built frigate, marks another significant milestone for the RSN’s frigate programme. Singapore Technologies Marine, under a technology transfer agreement with French shipbuilder Direction des Constructions Navales (DCN), has successfully constructed and launched the locally-built ship on schedule.

The RSN’s stealth frigates will be equipped with advanced sensor and weapon systems, and have enhanced anti-air, anti-surface and anti-submarine warfare capabilities. The RSN’s first frigate, RSS Formidable, is currently at the DCN shipyard in L’orient, France, completing her outfitting phase and would be undergoing harbour and sea trials soon. She is expected to sail back to Singapore in early 2005.

When RSN’s frigates come into service from 2007 onwards, the Navy will be able to undertake a wider spectrum of missions in order to defend Singapore and its vital Sea Lines of Communications.

The ceremony today was witnessed by Minister for Defence, RADM(NS) Teo Chee Hean, and senior MINDEF and SAF officials.

02 Mei 2009

Vietnamese Navy to Order Additional Fast Attack Craft

1 Desember 2003
Tarantul III-fast attack craft (photo : ttvnol)

In mid-October 2003, the Vietnamese navy ordered 10 additional fast attack craft from Russia's Vympel Design Bureau. The agreement with Vympel apparently covers the cost of 10 vessels that would be built under license at the Saigon Shipbuilding Company in Ho Chi Minh City, Vietnam. The design of the 10 new fast attack craft is based on the Tarantul III (Molniya) design and known as the BPS 500-class in Vietnam.

The Vietnamese navy took delivery of the first unit of the class from Saigon Shipbuilding in 2001 and expects the second unit to be delivered by the close of 2004. Construction of a third unit probably will commence in 2004 following the delivery of the second unit. Vietnam is taking advantage of the very low cost of indigenous construction within its borders as well as expanding its shipbuilding base as it attempts to modernize its naval force.

(Navy League)

TNI AL Beli 4 Korvet Belanda Sepakati Harga Rp 5,78 Triliun

2 Desember 2003
Korvet kelas Sigma - TNI-AL akan membeli kapal jenis ini sebanyak 4 buah (photo : Renk)

Rencana TNI AL membeli kapal korvet Belanda segera terwujud. TNI AL, kini tinggal meneken perjanjian transaksi pembelian, setelah negosiasi harga korvet memasuki tahap akhir.
Menurut KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh, TNI AL dan Belanda sepakat, harga empat korvet itu, senilai USD 680 juta (sekitar Rp 5,78 triliun).

Satu kapal korvet lengkap dengan peluru kendali, masing-masing seharga USD 170 juta (sekitar Rp 1,44 triliun). ''Harga sudah disepakati dan tinggal membuah kontrak. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan,'' kata KSAL Laksamana Bernard Kent usai acara serah terima jabatan Pangarmabar (Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat) dari Laksda Mualimin Santoso kepada Laksma Y. Didi Heru Purnomo di Markas Komando Armabar di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, kemarin.

Bernard mengungkapkan, TNI AL memesan empat buah kapal jenis korvet. Dari keempat korvet itu, dua buah dibuat di Belanda dan dua buah lagi di PT PAL Surabaya. Pembayaranya, akan dilakukan melalui tiga tahap selama tiga tahun. Pada tahap pertama, Indonesia harus membayar USD 50 juta. "Anggaranya telah kita minta ke pemerintah, dan dananya sudah turun,'' ujarnya.

Lantas kapan korvet-korvet tersebut akan didatangkan ke Indonesia? Menurut mantan Pangarmatim itu, kapal korvet tersebut, paling cepat akan datang pada akhir 2005. Sebab, pembuatan sebuah kapal, paling tidak memerlukan waktu selama delapan belas bulan. ''Ya paling cepat, akhir 2005,'' ujarnya.

Mengenai protes parlemen Belanda atas pembelian empat korvet itu, Bernard minta agar mereka tak melakukanya lagi. Sebaliknya, jika mereka khawatir terhadap penggunaan korvet tersebut, sebaiknya mereka tak melakukan penawaran penjualan. "Kalau takut, nggak usah dijual. Suruh simpan di dapurnya dia. Itu kalau takut jual,'' tandasnya kesal.

Diketahui, usai tercapainya kesepakatan penjualan korvet Belanda ke Indonesia itu, langsung memunculkan reaksi keras dari parlemen negeri Bunga Tulip itu. Mereka khawatir, korvet-korvet yang dibeli TNI AL itu, akan dipergunakan untuk operasi militer di Nanggroe Aceh Darussalama (NAD)

Terang saja, protes parlemen Belanda itu tak bisa diterima Indonesia. Bernard mengingatkan, agar Belanda tak ikut campur lagi atas barang yang telah mereka jual. Mereka tak selayaknya ikut mengatur penggunaan korvet oleh suatu negara yang berdaulat. "Itu kan uangnya saya. Bukan neneknya dia,'' tandas perwira tinggi kelahiran Sulawesi Utara itu.

Sementara itu, mengenai rencana penggabungan Koarmabar dengan Koarmatim, tampaknya belum bisa dilakukan pada Hari Samudera 5 Desember 2003. Menurut Bernard, rencana penggabungan itu, masih memerlukan koordinasi dengan Departemen Pertahanan (Dephan). ''Masalah ini, masih perlu dikordinasikan dengan departemen pertahanan,'' kilahnya.

Sekadar diketahui, TNI AL semula berencana menggabungkan Koarmabar dan Koarmatim pada Hari Samudera 5 Desember 2003. Penggabungan itu, bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas operasional TNI AL dalam melakukan tugasnya menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia.

Menurut Bernard, sebenarnya TNI AL telah siap melakukan penggabungan kedua armada tersebut. Panglima TNI pun, memiliki kewenangan untuk membentuk komando-komando TNI. Hanya saja, masih terganjal prosedur mekanisme pembentukannya. "Karena harus menyampaikan rencana strategis, maka Dephan perlu diajak bicara,'' tandasnya.

Ditambahkan dia, penggabungan Koarmabar dengan Koarmatim tak bisa diputuskan Mabes TNI sendiri. Bagaimanapun juga, harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Dephan. ''Mudah-mudahan, kami berharap, tahun depan segera terealisasi,'' ujarnya.

Kapan koordinasi dengan Dephan akan dilakukan? Bernard masih belum bisa memastikan. ''Kami masih menunggu kedatangan Menhan,''tandasnya.

Kirim Tim

Tergulingnya panser TNI yang menyebabkan kematian kamerawan Indosiar Ari Wailan Orah (Awo) masih menyisakan teka-teki. Pusat Polisi Militer (Puspom) masih akan menyelidiki penyebab tergulingnya panser itu, secara lebih mendalam lagi. ''Kami akan memberangkan tim untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan tim investigasi Kodam Iskandar Muda, minggu ini,'' kata Danpuspom Mayjen Sulaiman AB usai mengikuti upacara serah terima panglima komando Armabar di Markas Koarmabar TNI AL kemarin.

Tim Puspom yang akan diberangkatkan ke Aceh itu,menurut Sulaiman, untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya kesalahan manusia (human error) dalam peristiwa tersebut. Tim tersebut, akan memastikan apakah kecelakaan panser yang masuk ke jurang itu, benar-benar karena rem blong atau as roda patah. Artinya, memang bukan diakibatkan kesalahan manusia. ''Kalau bukan human error, berarti bukan kesalahan prajurit,'' ujarnya.

Sulaiman sendiri memastikan, kemungkinan terjadinya human error dalam peristiwa tersebut, sangat kecil. Dari hasil pengecekan dan pemeriksaan di tempat kejadian perkara serta pemeriksaan saksi-saksi, tak ada indikasi yang mengarah kepada human error. Selain itu, panser buatan tahun 1995 tersebut telah menjalani pemeriksaan laik jalan, sebelum diberangkatkan. ''Makanya, kemungkinan human error kecil sekali,'' tandasnya.

Tim Puspom itu akan bekerja berapa lama? Sulaiman mengaku tak bisa memberikan batasan waktu tertentu. ''Kami hanya berharap, bisa mendapatkan hasil secepatnya,'' tandasnya.(nur)

(Radar Sulteng)

30 April 2009

KRI Bekas Jerman Demo di Teluk Jakarta

31 Desember 2002
KRI Sutanto (877) satu dari 16 korvet kelas parchim (photo : Kaskus Militer)

Sejumlah kapal perang RI (KRI) kelas Parchim eks Jerman, dengan penampilan baru setelah mengalami "repowering", melakukan demonstrasi berbagai manuver dan membentuk sejumlah formasi di perairan Teluk Jakarta, Selasa.

Kapal-kapal itu antara lain KRI Imam Bonjol, KRI Teuku Umar, KRI Silas Papare, KRI Sultan Thaha Syaifuddin, KRI Tjiptadi, dan KRI Untung Surapati.

Menurut Kasal Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh, keenam kapal perang tersebut merupakan sebagian dari 12 kapal sejenis yang mengalami repowering.

"Kita memiliki 16 kapal eks Jerman kelas Parchim, yang sekarang sudah direpowering sejumlah 12 kapal, dan sisanya empat kapal lagi masih dalam proses penyelesaian dan diharapkan bulan Juli atau Agustus 2003 sudah selesai direpowering, sehingga tahun depan seluruh kapal itu sudah siap operasi," kata Kasal.

Kapal-kapal itu disiapkan dengan biaya hanya sekitar 3 juta dolar AS per kapal, jauh lebih murah dibandingkan dengan pengadaan kapal baru sejenis yang dapat mencapai harga antara 140 - 150 juta dolar AS.

Saat ini, TNI AL mempunyai 116 kapal, dan tahun depan akan didispose delapan kapal, sehingga tinggal 108 kapal saja yang beroperasi.

Kendati kapal-kapal yang ada itu rata-rata telah berusia 30 tahunan, namun masih bisa dipertahankan beroperasi melalui program Perpanjangan Usia Pakai (PUP) dengan mengganti mesin dan perbaikan badan kapal.

Dengan mengeluarkan biaya hanya 48 juta dolar AS, Kasal melanjutkan, TNI AL dapat menyiapkan 16 kapal yang dapat bertahan 15 hingga 20 tahun lagi.

"Sementara dengan biaya sebesar itu, satupun kita belum tentu dapat membeli satu kapal korvet sejenis yang baru," tegasnya.

Dengan mesin baru dan penampilan KRI yang baru itu, secara psikologis moril anggota TNI AL diharapkan dapat meningkat lagi karena mereka merasa berada di kapal baru.

"Semua ini merupakan upaya kita untuk keluar dari keprihatinan. Semua tahu bahwa kapal-kapal eks Jerman ini sudah sekian tahun terbengkalai di dermaga. Moril anak buah sudah turun karena kapal tidak pernah berlayar, sementara awak kapal lainnya terus keluar-masuk pangkalan," tambahnya.

Patroli Cepat

Selain enam kapal kelas Parchim itu, demonstrasi serupa juga diperagakan Kapal Cepat Patroli KAL Type-35 yang baru selesai dirancang bangun oleh Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AL (Dislitbangal), dan Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) TNI AL Pondok Dayung.
KAL-35 berukuran panjang 35 meter, lebar maksimal 5,75 meter, kecepatan maksimal 22 knot, kecepatan jelajah 15 knot, ABK 15 orang, displacement 91 ton serta dipersenjatai dengan kaliber 20 mm di geladak haluan dan 12,7 mm di geladak atap buritan.

Untuk status KAL-35 ini, menurut Kasal, pihaknya sudah mengajukan permohonan kepada Panglima TNI agar kapal ini dapat dijadikan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI).

"Kapal-kapal type 35-36 ini akan menjadi kekuatan kewilayahan yang akan disebar ke Pangkalan-pangkalan TNI AL. Untuk itu, saya sudah menghimbau para Gubernur dan Bupati yang memiliki wilayah laut untuk turut berpartisispasi dalam pengadaan kapal-kapal patroli ini," demikian Kasal.

Sumber : Gatra

28 April 2009

MEKO Makes its Mark in Malaysia

8 November 2001
Meko A-100 for the Royal malaysia Navy (photo : Naval-Technology)

The Royal Malaysian Navy (RMN) Patrol Vessel (PV) programme finally transitioned from paper to steel in June this year when the first metal for PV1 was cut at the Hamburg yard of Blohm + Voss. This event, initiated by head of the resident RMN Project Team Capt Amzah bin Sulaiman, marked the opening of another chapter in the already protracted history of the New Generation Patrol Vessel (NGPV) project, first instituted a decade ago.

Rarely in recent memory has a single naval procurement activity generated so much commercial jockeying and frenzied marketing, further coloured by the unavoidable entanglements of both domestic and international politics, and punctuated by a major regional economic crisis. For much of the last decade, warship builders and combat system suppliers worldwide saw the putative requirement for up to 27 offshore patrol vessels (OPVs) - an initial batch of six, to be followed by three further batches of seven over a 15-year period - as a prestigious prize. Such a contract would secure important long-term business and establish a firm foothold from which to further penetrate the Malaysian market. At the same time, the Malaysian government assiduously offered the NGPV programme to all comers to encourage inward investment and technology transfer, and to build up its domestic industrial capability under the Vision 2020 initiative.

Sumber : Jane’s

17 April 2009

Vietnam To Boost Corvette Fleet

27 Januari 2009

Vietnam is to receive two modified Tarantul II (Type 1241 RE) corvettes from Russia's Vympel joint stock company over the next few months (Jane's Defence Weekly 9 December 1998). The 455-ton corvettes, optimised for tropical conditions, will join two Tarantul I ships which have been in Vietnamese service since 1996.


Tarantul II of Vietnam (photo : Militaryphotos)

As with the the earlier corvettes the new ships will be armedwith two twin launchers for the 45n mile range P-15 Termit-R(SS-N-2D 'Styx') missile, the Igla air defence missile, a 76mmAK-176 gun and two 30mm AK-630M air defence guns. The former Soviet Union/Russia has previously exported 24 Tarantul I and II class corvettes: Bulgaria purchasing two; Finland - one; the former East Germany - five; India - five; Iraq - one; Poland - four; Romania - two; Yemen - two; Vietnam - two. Another 44 were built for Soviet/Russian service. The naval sector represents no more than 14% of Russia's arms exports with a drop in the number of platforms sold in recent years.

Vietnam is considering acquiring Project 12418 vessels armed with quadruple Kh-35 (SS-N-25 'Switchblade') missile launchers. This could involve local assembly (JDW 4 September 1996).

Sumber :
Jane’s

12 April 2009

Anzac Frigates Sail Diverging Courses

1 November 1996

Valued at about A$5 billion (US$3.9 billion) overall, the 15-year ANZAC Ship Project to build 10 frigates - eight for the Royal Australian Navy (RAN) and an initial two for the Royal New Zealand Navy (RNZN) - is the largest defence contract ever awarded in Australia.

HMAS Anzac of The Royal Australia Navy (photo : Maritimequest)

A joint government-to-government programme, it is intended to provide the RAN and RNZN with a variant of the Blohm +Voss MEKO 200 frigate specifically tailored to the regional operating requirements of the two services. The programme also aims to provide long-term economic benefits for Australian and New Zealand industries with 80 per cent (by value) local content. The ANZAC ships are being assembled at the Williamstown, Victoria, yard of Transfield Defence Systems, but more than 1,000 other Australian and New Zealand companies are involved in the project.

HMNZS Te Kaha of the Royal New Zealand Navy (photo : NZDF)

Lead ship HMAS Anzac was commissioned into the RAN in May this year. It will be followed by the RNZN's first-of-class, HMNZS Te Kaha, due to commission in May 1997. Both navies regard the ANZAC ships as vital to their future fleets - but for quite different reasons. When the ANZAC contract was awarded in 1989, the RAN envisaged the ship - procured under Project SEA 1348 - as a "Tier 2" light patrol frigate for low- to medium-intensity missions (the DDG-2 Perth class destroyers and FFG-7 Adelaide class frigates being classified as Tier 1 ships).

Today, looking to exploit the growth potential inherent in the platform and combat system, the RAN is considering a number of capability-enhancement options under the ANZAC War fighting Improvement Programme (WIP). The importance of the ANZAC Ship Project to the RNZN is some what different.

Sumber : Jane’s

Thailand Takes East Asia Into The Carrier Age

31 Januari 1996

HTMS Chakri Naruebet, the Royal Thai Navy's offshore patrol helicopter carrier was launched by Spanish naval shipbuilder EmpresaNacional Bazan on 20 January at the company's main Ferrol shipyard. The ceremony, attended by thousands of people including Queen Sirikit of Thailand and Queen Sofia of Spain and the commanders-in-chief of the Spanish and Thai navies, was the latest milestone in the RTN's fleet modernization programme.

HTMS Chakri Naruebet of the Royal Thailand Navy (photo : Forummarine)

Hangar configuration of HTMS Chakri Naruebet (photo : Skyscrapercity)

In recent years, the RTN has ordered new frigates and a full-size auxiliary oil replenishment (AOR) tanker from China; secondhand frigates, new-build S-70B Seahawk helicopters and two squadrons of A-7E Corsair strike fighters from the USA; and has started a competition for two or three submarines.

A-7 Corsair of the Royal Thai Navy (photo : Jetphotos)
S-70 of the Royal Thai Navy (photo : Jetphotos)

When Bazan delivers Chakri Naruebet (Thai for `In honour of the House of Chakri') on 27 March 1997, the ship will be fully equipped to conduct flight operations and, with a comprehensive communications suite, to act as the RTN flagship. Initially, it is to serve primarily as a disaster relief and rescue co-ordination platform - as the carrier's pennant number `911' seems to suggest. According to an RTN statement, having Chakri Naruebet in service at the time of the recent typhoon `Gay' would have been"extremely valuable", with the ship serving "as a floating platform for the RTN and other relief organizations' helicopters, making assistance more prompt and effective".

To fight a war however, the 182.6 m-long ship would need to be equipped with a number of C{2} and self-defence enhancements before it could be responsibly sent into a high-threat zone. Chakri Naruebet's potential as a fighting ship, however, is impressive for its 11,500 tonne size.

Sumber :
Jane’s.

11 April 2009

Thailand Purchased Frigates From China

1995

Chao Phraya Frigate

Chao Phraya class frigate (photo : Worldwarships)

Thailand has purchased four Chinese Jianghu-class FFGs and two improved Type IV frigates. The frigates, two being of the Chinese-made F25T class, were designed and built by the China State Shipbuilding Corp in Shanghai. The type IV frigates are HTMS Taksin (delivered in November 1995) and HTMS Naresuan. The four Jianghu-class FFGs are the HTMS Bang Pakong, HTMS Chao Phraya (delivered in 1991), HTMS Saiburi, and HTMS Kraburi . The ships were purchased at "friendship prices" of 2,000 million baht each, compared to the 8,000 million baht price tag for Western-built frigates.

Apparently, these frigates proved less than impressive to the Thai Navy. The quality of workmanship of the frigate was said to be inferior, and considerable rework was needed to bring the vessels up to acceptable standards. The ability of the ships to resist battle damage was extremely limited, and damage control facilities were virtually non-existent. Fire-suppression systems were rudimentary, and it appeared that were the hull breached rapid flooding would quickly lead to the loss of the ship.

Naresuan Frigate

Naresuan class frigate (photo: Worldwarships)

Thailand purchased four Chinese Jianghu-class FFGs and two improved Type IV frigates. The frigates, two being of the Chinese-made F25T class, were designed and built by the China State Shipbuilding Corp in Shanghai. The type IV frigates are HTMS Taksin (delivered in November 1995) and HTMS Naresuan. The four Jianghu-class FFGs are the HTMS Bang Pakong, HTMS Chao Phraya (delivered in 1991), HTMS Saiburi, and HTMS Kraburi . The ships were purchased at "friendship prices" of 2,000 million baht each, compared to the 8,000 million baht price tag for Western-built frigates.

Apparently, these frigates proved less than impressive to the Thai Navy. The quality of workmanship of the frigate was said to be inferior, and considerable rework was needed to bring the vessels up to acceptable standards. The ability of the ships to resist battle damage was extremely limited, and damage control facilities were virtually non-existent. Fire-suppression systems were rudimentary, and it appeared that were the hull breached rapid flooding would quickly lead to the loss of the ship.

Sumber :
Global Security