02 Juli 2025

Korps Marinir Juga Pelajari Kendaraan Amfibi China di Stand Norinco Saat Indo Defence 2025

02 Juli 2025

Kendaraan pendarat amfibi AWAV 8x8 buatan Chaiseri, Thailand yang digunakan oleh Royal Thai Marines Corps (photo: Korps Marinir)

WadanKormar Melaksanakan Courtesy Call Dengan Vice Admiral Commandant of Royal Thai Marine Corps

Dispen Kormar TNI Angkatan Laut (Jakarta). Wakil Komandan Korps Marinir (Wadankormar) Brigadir Jenderal TNI (Mar) Muhammad Nadir, M.Tr.Opsla. mewakili Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayor Jenderal TNI (Mar) Dr. Endi Supardi, S.E., M.M., M.Tr.Opsla., CHRMP., CRMPR. melaksanakan Courtesy Call dengan Vice Admiral Apichat Sapprasert Commandant Of Royal Thai Marine Corps bertempat di Paviion Countries Thailand Indo Defence 2024 Exspo & Forum JIExspo Kemayoran, Jakarta Utara. Rabu (06/11/2025).

Dalam pertemuan singkat namun penuh kehangatan disele-sela kegiatan Indo Defence 2024 Exspo & Forum_tersebut, Wakil Komandan Korps Marinir melaksanakan Courtesy Call  dengan Vice Admiral Apichat Sapprasert  yang diterima langsung di Paviion Countries Thailand Indo Defence 2024 Exspo & Forum.

Kendaraan pendarat amfibi roda rantai VN-16 buatan Norinco, China yang juga digunakan oleh Royal Thai Marines Corps (photo: Korps Marinir)

Dalam Kesempatan Ini, Orang nomor 2 di Korps Marinir TNI Angkatan Laut ini memiliki tujuan untuk menjalin Komunikasi dalam peran peningkatan hubungan kerjasama dibidang latihan, Alutsista Marinir kedua negara guna menghadapi tantangan perkembangan teknologi Pasukan Marinir Angkatan Laut yang akan dihadapi kedua negara.

Pavilion China
Usai Giat Courtesy Call Wadan Kormar berkesempatan mengunjungi ke Beberapa Paviion Countries Perusahaan Pertahanan Indonesia dan Paviion Negara Sahabat peserta Indo Defence 2024 Esxpo & Forum.

Turut Hadir dalam kegiatan tersebut Asisten Perencanaan dan Anggaran Komandan Korps Marinir (Asrena Dankormar) Kolonel Marinir Wahyudi Saputra, S.E., M.M., Asisten Komunikasi dan Elektronika (Askomlek Dankormar) Kolonel Marinir Didiet Hendra Wijaya, M.Mp. dan Kepala Sekretariat Umum Korps Marinir (Kasetum Kormar) Letkol Marinir Iwan Permana.

TNI AU Latihan Menembak Sasaran di Laut Natuna

02 Juni 2025

Pesawat nir-awak yang kemungkinan besar digunakan menembak dari ketinggian ribuan kaki adalah CH-4 UCAV berkemampuan MALE dengan maks ketinggian 8,000 meter (26,246 kaki) dan maks jangkauan 3.500 km, sedangkan jarak tempuh jika dilakukan penerbangan langsung dari Pangkalan Skadron 51 di Lanud Supadio, Pontianak ke perairan Penagi di Natuna adalah 466 km, secara bolak balik masih kurang dari 1.000 km, jarak komunikasi dengan koneksi satelit secara BLoS masih jauh dari batas maks 1.000 km, meskipun demikian drone ini dapat saja menggunakan fasilitas lanud Raden Sadjad, Natuna (photo: Jenda Corp)

Natuna (ANTARA) - Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) melaksanakan latihan menembak sasaran di laut wilayah Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, guna menguji kesiapan tempur Pangkalan TNI AU Raden Sadjad (Lanud RSA).

Komandan Lanud RSA Natuna, Kolonel Pnb I Ketut Adiyasa Ambara, di Natuna, Rabu, mengatakan latihan menembak yang digelar pada Rabu pagi itu, menggunakan pesawat nir awak, yang menembak pada ketinggian ribuan kaki sasaran di Perairan Penagi, Kecamatan Bunguran Timur.

Latihan menembak di laut yang dilaksanakan dengan pesawat nir awak sukses menghancurkan sasaran (all photos: Lanud Raden Sadjad)

Sasaran yang ditembak berupa tong yang dibungkus terpal. Kegiatan menembak ini guna meningkatkan akurasi dan kemampuan tempur personel.

"Kegiatan ini merupakan rangkaian dari latihan terpadu Jalak Sakti dan Hardha Marutha I Tahun 2025," katanya.


Latihan yang diprakarsai oleh Komando Operasi Udara I (Koopsud I) itu, juga diikuti oleh seluruh satuan di bawah Komandonya dan Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat).

Kegiatan dipusatkan di Air Weapon Range (AWR) Buding, Lanud H.AS Hanandjoeddin, Belitung dan satuan lainnya mengikuti melalui dalam jaringan.


Untuk Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) yang dikerahkan dari jajaran Koopsud I lainnya, meliputi berbagai jenis pesawat tempur dengan sasaran tembak berbeda-beda.

"Jumlah personel yang terlibat dalam kegiatan ini kurang lebih mencapai 3.000 orang," ujar dia.


Latihan ini juga dirancang untuk menguji kesiapan satuan dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan, sekaligus memperkuat kemampuan komunikasi dan kerja sama antar satuan Koopsud I dan Kopasgat, yang merupakan pilar pertahanan udara di wilayah barat Indonesia.

"Dengan metode gladi posko dan gladi lapangan, skenario tempur digelar seolah-olah dalam kondisi nyata. Proses ini menuntut koordinasi, pengambilan keputusan cepat, dan pelaksanaan taktis yang presisi," ujar dia.


Ia menambahkan hasil pelatihan menunjukkan Lanud RSA Natuna siap menghadapi berbagai tantangan di wilayah strategis perbatasan NKRI, serta memperkuat daya gentar Indonesia di jalur udara barat.

"Latihan ini sejalan dengan semangat TNI AU AMPUH, yaitu Adaptif, Modern, Profesional, Unggul, dan Humanis, dalam mewujudkan pertahanan udara yang solid serta tanggap terhadap berbagai ancaman," ucap dia.

01 Juli 2025

Sudah Disetujui TNI AL, Terafulk Pamerkan Desain LST 120 Meter Baru

01 Juli 2025

Desain kapal LST 120 M ajuan Terafulk (photo: Defense Studies)

Perusahaan desain kapal swasta Indonesia, Terafulk Megantara Design, memamerkan desain Kapal Pendarat Tank (LST) 120 meter baru untuk memenuhi persyaratan modernisasi TNI AL selama Indo Defence 2025. Perusahaan tersebut membagikan rendering komputer LST baru tersebut secara eksklusif kepada Naval News.

Menurut perincian yang dibagikan kepada Naval News, desain tersebut didasarkan pada LST kelas Bintuni, yang dibangun di dalam negeri dan telah beroperasi sejak 2015, dan LST kelas Semangka yang lebih tua yang dibangun pada 1980-an oleh Galangan Kapal Korea-Tacoma (sekarang Hanjin Heavy Industries) untuk TNI AL. Terafulk menekankan bahwa LST baru tersebut menawarkan kemampuan yang lebih baik dan sangat dipengaruhi oleh masukan langsung dari TNI AL, dengan umpan balik operasional dan persyaratan khusus misi memainkan peran utama di seluruh proses desain.

Desain LST 120M dari Terafulk (image: NavalNews)

Dengan panjang 120 meter, LST 300 ton lebih berat daripada kelas Bintuni, dengan ruang penyimpanan yang lebih besar secara keseluruhan dan superstruktur yang lebih kompak. Khususnya, kapal ini memiliki hanggar khusus yang dapat menampung satu helikopter berukuran sedang, kemampuan yang tidak ada di kelas Bintuni.

Kapal ini dirancang untuk menampung hingga 15 kendaraan tempur infanteri BMP-3F, empat truk, dan 474 personel (114 awak kapal, 350 pasukan, dan 10 personel penerbangan). Terafulk juga menyatakan bahwa kapal tersebut secara teknis dapat mengangkut kendaraan tempur yang lebih berat, termasuk tank tempur utama Leopard 2 milik Angkatan Darat Indonesia.

Desain LST 120M dari Terafulk (image: Terafulk)

Kapal ini dapat membawa empat Landing Craft Vehicle and Personnel (LCVP) sepanjang 12 meter, yang masing-masing dapat mengangkut sekitar 25 prajurit yang diperlengkapi dengan lengkap. LCVP diposisikan di dek misi depan di depan anjungan, bukan di sepanjang sisi superstruktur, seperti yang terlihat di kelas Bintuni. Konfigurasi ini menyediakan lebih banyak ruang internal, memungkinkan akses tanpa halangan ke buritan dan dek helikopter, dan konon dirancang untuk menyederhanakan pengoperasian LCVP.

Propulsi disediakan oleh mesin diesel kembar, yang menghasilkan kecepatan tertinggi 16 knot dan jangkauan sekitar 6.200 mil laut, dengan daya tahan hingga 20 hari di laut. Untuk pertahanan diri, LST dilengkapi dengan dua meriam 40mm, yang juga dapat digunakan untuk dukungan tembakan angkatan laut, serta dua senapan mesin 12,7mm dan sistem umpan.

Perbandingan LST 120M dan LST 117M kelas Bintuni (image: NavalNews)

Menurut Terafulk, perusahaan telah memperoleh persetujuan Angkatan Laut untuk desain LST yang baru. Setelah produksi dimulai, Terafulk berencana tidak hanya menyediakan desain untuk galangan kapal yang berpartisipasi tetapi juga menawarkan rekomendasi terkait pembuatan kapal tentang cara membangun kapal secara paling efektif.

Naval News memahami bahwa salah satu aspek utama dari program LST yang baru adalah standardisasi. Hal ini terjadi setelah pengalaman kelas Bintuni, di mana sembilan kapal yang saat ini beroperasi—meskipun dibangun di bawah kelas yang sama—diproduksi oleh galangan kapal yang berbeda dan menunjukkan variasi dalam karakteristik dan dimensi.

Desain-desain baru kapal angkatan laut dari Terafulk (photo: Defense Studies)

Saat ini, belum ada jadwal pasti kapan pembangunan akan dimulai dan jumlah kapal yang direncanakan akan diperoleh Angkatan Laut. Sebagai catatan, TNI AL masih mengoperasikan 15 LST lama, termasuk 11 LST kelas Frosch bekas Angkatan Laut Jerman Timur yang dibangun pada tahun 1970-an.

Terafulk menyampaikan kepada Naval News bahwa mereka akan merancang kapal serbu lapis baja pesisir dan sungai baru sepanjang 28 meter, serta kapal patroli cepat sepanjang 60 meter, untuk Angkatan Laut Indonesia. Terafulk juga menyatakan bahwa mereka telah mengadakan diskusi dengan setidaknya dua pelanggan Asia Tenggara yang dirahasiakan untuk kapal pengisian bahan bakar dan kapal patroli lepas pantai (OPV) sepanjang 90 meter.

Australian Army Successfully Fires Sidewinder Missile from High-mobility Launcher

01 Juli 2025

A Hawkei High Mobility Launcher from 16 Regiment, fires an AIM 9X Sidewinder missile at the Woomera Test Range in South Australia (all photos: AUs DoD)

Sidewinder first gives gunners a buzz

In a world-first, Australian Army soldiers fired one of the most battle-tested and lethal air-to-air missiles from a national advanced surface-to-air missile system (NASAMS) Hawkei high-mobility launcher at Woomera Test Range in May.

Australia is one of only three countries to have fired an AIM-9 Sidewinder from NASAMS and the only one to fire it from a high-mobility launcher (HML).


The launcher, from 16th Regiment, was a modified Hawkei protected mobility vehicle-light, capable of carrying up to six Sidewinders or AIM-120 Advance Medium Range Air-to-Air Missiles (AMRAAM).  

The Sidewinder is more manoeuvrable in the air compared to an AMRAAM but has a shorter range.


The activity was also the first time both canister and high-mobility launchers fired at the same target, in what is called “ripple fire”.

The successful test came after the regiment conducted Army’s first NASAMS live-fire using an AIM-120 AMRAAM in 2023.


It was a first for many of the regiment’s soldiers at Woomera, the culmination of 18 months of training.

111 Battery HML detachment commander Bombardier Luke Dunbar said his young team had trained to operate NASAMS from day one at the Adelaide ground-based air defence unit.


“There were smiles from ear to ear,” Bombardier Dunbar said when the first missile went off.

'Our peers in different units are asking us what we can bring to the table and how to integrate us into their plans.'


Described as ground-breaking and state-of-the-art by the soldiers involved, each NASAMS troop can comprise a combination of HML and canister launchers controlled through a fire distribution centre (FDC).

Inside the FDC, tactical control officers and assistants track targets travelling many kilometres away.


Speed, altitude and pattern of flight help operators determine the type of target, be it an enemy cruise missile, unmanned system, or jet. The system will recommend the best munition and launcher to engage with.

Following the successful live-fire, 16th Regiment can mix and match AMRAAM and Sidewinder missiles in canister or high-mobility launchers to give ground-based air defenders more options.  


111 Battery Commander Major Fernando Tula Recinos said the capability lifted the regiment’s profile at the strategic and tactical level. 

“Our peers in different units are asking us what we can bring to the table and how to integrate us into their plans,” Major Tula Recinos said. 

“The buzz is real.”
 

Berpacu Waktu Bangun Kapal Selam Scorpene

01 Juli 2025

Kapal selam Scorpene yang akan dibangun PT PAL (photo: Defense Studies)

Pembangunan infrastruktur vital dikebut, insinyur pun disiapkan seiring dimulainya kontrak alih teknologi penuh dengan Perancis. Kesiapan PT PAL kini dipertaruhkan.

Deru mesin dan denting logam yang bersahutan dari Divisi Kapal Selam di ujung utara Kompleks PT PAL Indonesia, Surabaya, Jawa Timur, terdengar lebih bersemangat dari biasanya. Di atas lahan seluas satu hektar, jajaran besi menancap pada beton-beton fondasi dermaga. Lokasi itu bakal menjadi denyut nadi industri pertahanan menampung teknologi canggih.

PT PAL Indonesia, produsen kapal perang nasional, kini benar-benar sedang berpacu dengan waktu. Mereka mengejar tenggat untuk menyiapkan seluruh fasilitas yang dibutuhkan untuk ”melahirkan” sang predator laut dalam, kapal selam Scorpene.

Kebutuhan akan fasilitas modern ini bukanlah isapan jempol. Pengalaman adalah guru terbaik. Kepala Divisi Kapal Selam PT PAL Indonesia Agus Rifai mengungkapkan, pelajaran berharga dipetik saat peluncuran KRI Alugoro 405 pada 2021 lalu, kapal selam pertama yang berhasil dirakit di dalam negeri.

”Ternyata dalam proses peluncuran KRI Alugoro kemarin, kami belum punya fasilitas yang namanya "shiplift". Akhirnya pemerintah memberikan bantuan di PMN (penyertaan modal negara) 2021 untuk melengkapi proses kami sehingga PT PAL bisa 100 persen melaksanakan "whole local production" kapal selam,” ujar Rifai di sela-sela kunjungan eksplorasi industri pertahanan ke PT PAL Indonesia, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (25/6/2025).

Bantuan pemerintah itu kini berwujud proyek masif. Progres pembangunan dermaga kapal selam yang dikerjakan oleh PT PP (Persero) Tbk tampak signifikan. Aktivitas pembangunan yang dimulai 14 Juni 2024 kini sudah mencapai 62 persen. Torehan ini bahkan melebihi rencana awal.

Kapal selam KRI Nagapasa 405 dari kelas DSME 1400 yang dibangun di PT PAL bekerjasama dengan galangan DSME Korea (photo: PAL)

Secara keseluruhan, pekerjaan struktur dermaga akan tuntas pada Desember 2025. Setelah itu, pekerjaan akan menyisakan aktivitas pengerukan ruang sandaran kapal selam hingga kedalaman 16 meter dan instalasi fasilitas "shiplift" itu sendiri, yang teknologinya didatangkan dari Syncrolift, perusahaan asal Norwegia yang menjadi rujukan dunia.

Fasilitas baru ini dirancang dengan spesifikasi yang jauh melampaui kebutuhan Scorpene. Kapal selam asal Perancis itu memiliki bobot 2.000 ton, tetapi kapasitas "shiplift" mampu mengangkat beban hingga 6.000 ton. Konstruksinya diklaim sangat kokoh dengah perhitungan 15 ton per tiang pancang.

Kemampuan angkat yang masif itu bukan tanpa alasan. Fasilitas tersebut dirancang serbaguna. Tidak hanya kapal selam, kapal-kapal permukaan, seperti fregat, pun bisa ”digendong” oleh "shiplift" ini. Rencana itu bahkan sudah konkret.

”Nanti di bulan Agustus (2026), kapal Fregat Merah Putih (unit) kedua yang ada di hangar akan kita pindahkan melalui "shiplift" ini untuk dimasukkan ke dok guna melanjutkan proses konstruksi,” ungkapnya.

Di jantung kawasan ini, berdiri tiga hanggar utama berukuran total 100 x 100 meter. Seluruh proses vital berlangsung di sana. Mulai dari pengepresan lambung "hull pressing", penyambungan, hingga pemasangan seluruh perlengkapan canggih "outfitting", semuanya dilakukan dalam satu alur produksi yang terintegrasi.

Kecanggihan tak berhenti di situ. "Shiplift" ini nantinya akan dilengkapi dengan sistem transversal "boogie", yang memungkinkan kapal selam tidak hanya bergerak maju-mundur dari laut ke hangar, tetapi juga bisa digeser ke samping menuju dermaga rawat (dermaga bay).

PT PAL menunjukkan kemampuannya membangun kapal selam, dalam seminar industri pertahanan Indonesia-Perancis, Rabu (8/3/2023) (photo: Kompas)

”Karena rumitnya kebutuhan inilah yang menjadikan fasilitas ini sejatinya cukup mahal untuk bisa diaplikasikan,” tutur Rifai.

Pada akhirnya, semua pacuan waktu ini bermuara pada satu momen pembuktian. Sebuah momen saat kapal selam Scorpene pertama buatan Indonesia diluncurkan dari dermaga ini. Dunia akan menjadi saksi kemampuan PT PAL Indonesia memproduksi dan merawat Scorpene, kapal selam senilai Rp 15 triliun.

Untuk diketahui, kontrak kapal selam Scorpene antara Indonesia dan Naval Group, Perancis, ditandatangani pada 28 Maret 2024. Namun, kontraknya belum efektif karena belum ada pembayaran uang muka. Kontrak ini mencakup pembangunan dua unit kapal selam Scorpene di PT PAL Indonesia.

Ingin dipercepat
Project Director untuk Kapal Selam Scorpene PT PAL Laksamana Muda (Purn) Wiranto mengungkapkan adanya arahan baru yang mengubah dinamika proyek secara fundamental. Proyek yang semula dirancang untuk berjalan selama 96 bulan atau delapan tahun untuk pembangunan dua kapal selam di Surabaya kini diminta untuk berlari lebih kencang.

”Ini menarik sekali. Beberapa bulan yang lalu, Bapak Presiden meminta kepada tim, yaitu tim dari PT PAL dan mitra kita dari Naval Group, untuk (proyek ini) dimajukan lebih cepat tiga tahun,” tuturnya.

Permintaan ini, lanjutnya, sontak menjadi sebuah tantangan besar yang harus dijawab bersama. Kalkulasi ulang, penjadwalan yang lebih agresif, dan inovasi proses kini menjadi pekerjaan rumah utama bagi kedua belah pihak.

Di sisi lain, Wiranto memaparkan bahwa proyek ini akan dimulai dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 30 persen. Angka ini merupakan pijakan awal dalam sebuah maraton panjang menuju kemandirian penuh, yang menjadi sasaran utama dari seluruh proyek alih teknologi ini.

Detail kapal selam Scorpene buatan Prancis (image: Kompas)

”Kalau tidak salah, sampai dengan tahun 2045, sasaran kita nanti harus bisa melaksanakan ekspor kapal selam,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Frega Wenas Inkiriwang yang menyambangi lokasi pembangunan, memandang hiruk-pikuk galangan kapal PT PAL sebagai bagian dari sebuah maraton panjang. Pembangunan postur pertahanan yang ideal diakui sebagai sebuah upaya yang menuntut kesabaran, biaya, dan di atas segalanya, komitmen yang tak lekang oleh waktu.

”Bicara penguatan postur pertahanan, itu tidak bisa dibangun dalam waktu yang singkat. Untuk membangun sebuah kapal selam, misalnya, itu butuh 8 sampai 9 tahun, bahkan di beberapa proyek bisa sampai 10 tahun,” tuturnya.

Kesadaran akan rentang waktu yang panjang inilah yang melandasi komitmen pemerintah untuk menjaga keberlanjutan. Kendati kepemimpinan berganti, kontrak-kontrak strategis yang telah ditandatangani akan terus dihormati dan dijalankan hingga tuntas. 

Pemerintah melihat geliat industri pertahanan dalam kerangka filosofis yang lebih dalam. Di bawah payung "holding" Defend ID, perusahaan seperti PT PAL tidak lagi dipandang semata sebagai entitas bisnis yang mengejar keuntungan. Mereka adalah garda terdepan dalam sebuah perjuangan senyap.

Karena itu, inisiatif dan terobosan dari internal industri menjadi sebuah keniscayaan yang ditunggu-tunggu. Pemerintah mendorong agar BUMN pertahanan proaktif dalam riset dan pengembangan, menyiapkan fondasi sebelum panggilan tugas datang. Dengan begitu, saat negara memutuskan sebuah kebutuhan mendesak, industri nasional sudah dalam posisi siaga.

Miniatur komposisi konvoi kapal perang milik TNI AL yang diproduksi PT PAL Indonesia dipajang di Kompleks PT PAL Indonesia, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (25/6/2025) (image: Kompas)

Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyebut langkah ini sebagai momen ”strategis dan bersejarah”. Namun, ia mengingatkan bahwa Scorpene bukanlah kapal selam biasa, melainkan sebuah platform tempur canggih yang menuntut tingkat kesiapan multidimensi.

Ia menekankan bahwa pembangunan fasilitas fisik seperti dermaga dan hanggar hanyalah satu bagian dari teka-teki besar. Aspek yang jauh lebih krusial adalah memastikan seluruh fasilitas itu memenuhi standar presisi tinggi yang disyaratkan Naval Group.

”Hal yang perlu diperhatikan, antara lain, adalah akurasi permesinan berat, sistem "lifting" presisi tinggi, dan sistem perlindungan terhadap kebocoran informasi. Ini bukan sekadar soal membangun fisik, tapi bagaimana memastikan semua fasilitas itu bisa digunakan secara efisien dan aman,” jelasnya.

Lebih jauh, Fahmi menggarisbawahi esensi dari proses alih teknologi (ToT) itu sendiri. Menurut dia, kesuksesan proyek ini akan hampa jika Indonesia hanya menjadi ”tukang rakit”. Taruhan sesungguhnya terletak pada kedalaman ilmu yang diserap. Untuk itu, pelibatan ekosistem yang lebih luas—mencakup perguruan tinggi, pusat riset, dan industri komponen lokal—menjadi sebuah keharusan agar tidak berhenti sebagai proyek perakitan semata.

Aspek tata kelola yang baik dan transparan juga menjadi sorotan utamanya. Mengingat nilai proyek yang fantastis, potensi penyimpangan harus diantisipasi dengan pengawasan yang ketat tanpa mengorbankan kerahasiaan pertahanan.

”Jika semua itu dijalankan dengan tepat, Indonesia tak hanya akan memiliki kapal selam canggih, tapi juga akan memiliki industri strategis yang mandiri dan berdaya saing di kawasan,” tambah Fahmi.