03 Maret 2025

MINDEF Buka Semula Tender Kontrak Sewaan Black Hawk untuk TDM - PTD

03 Maret 2025

Helikopter UH-60 Black Hawk US Army (photo: DVIDS)

KUALA LUMPUR: Kementerian Pertahanan (MINDEF) merancang untuk membuka semula tender kontrak sewaan helikopter Black Hawk jenis UH-60 untuk digunakan Tentera Darat Malaysia (TDM) pada masa hadapan.

Perancangan itu dilakukan selepas syarikat dilantik sebelum ini iaitu Aerotree Defence and Services Sdn Bhd gagal membuat penghantaran mengikut tarikh ditetapkan.

Panglima Tentera Darat, Jeneral Tan Sri Muhammad Hafizuddeain Jantan berkata, setakat ini beberapa syarikat telah pun mengemukakan kertas cadangan bagi menawarkan diri untuk membekalkan helikopter berkenaan.

"Buat masa ini, parameter dia tetap kekal di mana nilai projek masih di paras RM200 juta dan kita memerlukan sewaan lima tahun untuk empat helikopter ini.

"TDM masih lagi membuka ruang untuk sebarang cadangan dari mana-mana pihak yang berminat dan berkemampuan untuk projek pembekalan ini," katanya pada sidang media selepas menghadiri Perbarisan Hari Tentera Darat Ke-92 di Dataran PTD, Kem Perdana Sungai Besi, di sini, hari ini.

November lalu, MINDEF menyerahkan notis pembatalan kontrak sewaan empat helikopter Black Hawk kepada syarikat yang sebelum ini telah memenangi tender berkenaan.

Menteri Pertahanan, Datuk Seri Mohamed Khaled Nordin dilapor berkata tindakan itu diambil selepas syarikat berkenaan gagal memenuhi tarikh akhir ditetapkan walaupun sudah dilanjutkan hingga akhir Oktober lalu.

Helikopter Leonardo AW-149 (photo: Leonardo)

Bakal peroleh empat helikopter AW-149 menjelang 2027
Dalam perkembangan lain, Muhammad Hafizuddeain berkata TDM juga bakal memperoleh empat helikopter AW149 susulan pembelian 28 unit helikopter itu secara kontrak pajakan dengan kos RM16 bilion untuk tempoh 15 tahun.

"Kita difahamkan paling awal akan menerima helikopter ini menjelang 2027... walaupun cuma empat pesawat sahaja diterima, tetapi kita berterima kasih kepada pihak kerajaan.

"Apabila kita memiliki helikopter ini kelak, ia sedikit sebanyak dapat menutup jurang keupayaan kemampuan sistem pertahanan yang kita ada sekarang, selain dari segi keupayaan pengangkutan udara," katanya.

Selain TDM, Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM) akan memperoleh 12 unit helikopter sama, manakala Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) memperoleh dua unit.

Baki daripada keseluruhan 28 unit helikopter ini akan diserahkan kepada Polis Diraja Malaysia (PDRM), Jabatan Bomba dan Penyelamat Malaysia (JBPM) dan Jabatan Perdana Menteri (JPM).

02 Maret 2025

Menhan Serahkan 700 Maung MV3 ke TNI dan Polri sebagai Kendaraan Operasional

02 Maret 2025

700 unit ranops terdiri dari 50 unit untuk Markas Besar TNI, 400 unit untuk TNI AD, 100 unit untuk TNI AL, 100 unit untuk TNI AU, dan 50 unit untuk Polri dari tiga varian Maung MV3: Komando, Tangguh, Jelajah (photos: Kemhan, Pindad)

Kemhan RI menyerahkan 700 unit ranops (kendaraan operasional) Maung MV3 buatan PT Pindad kepada TNI-Polri di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Sabtu (1/3).

Menhan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa penyerahan 700 unit Maung MV3 ini menjadi momen penting bagi pemerintah, industri pertahanan, serta TNI-Polri. “Totalnya sekitar 4.000 unit, tetapi diserahkan bertahap sesuai kapasitas produksi,” ujar Menhan.

Ia juga menekankan kebangkitan industri pertahanan nasional dalam menjaga stabilitas negara. “Pemerintah konsisten memberikan dukungan operasional kepada TNI dan Polri,” tambahnya. Maung MV3 akan digunakan secara luas oleh personel di berbagai daerah.

Pengadaan ini didanai APBN yang berasal dari rakyat Indonesia, memastikan manfaat maksimal bagi pertahanan dan keamanan nasional. Dengan memilih produk dalam negeri, pemerintah juga mendukung ekonomi, membuka lapangan kerja, serta memperkuat ekosistem industri manufaktur dan pertahanan nasional.

PT Pindad Perkenalkan SS3-M1, Senjata Taktis Modern dengan Performa Unggul

02 Maret 2025

Senapan serbu terbaru, SS3-M1 (Senapan Serbu Generasi 3 – Modular versi 1) (all photos: Pindad)

Direktur Utama PT Pindad, Sigit P. Santosa memperkenalkan secara resmi varian senapan serbu terbaru, SS3-M1 dalam kegiatan Press Tour DEFEND ID pada Rabu, 26 Februari 2025, di Lapangan Divisi Kendaraan Khusus PT Pindad, Bandung. Press Tour merupakan inisiatif komunikasi strategis Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Kepala Biro Informasi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang untuk memperkuat corporate branding PT Pindad di seluruh platform media.


SS3-M1 (Senapan Serbu Generasi 3 – Modular versi 1) merupakan produk senjata dengan penamaan sesuai arahan Menteri Pertahanan Republik Indonesia. Penamaan senjata ini disesuaikan dengan produk senjata sebelumnya dan mengedepankan aspek familiarisasi untuk pengguna. Senjata ini merupakan pengembangan dari produk SS1 & SS2 PT Pindad dengan berbagai masukan positif dari pengguna. Dengan kaliber 5.56 x 45 mm NATO dan panjang laras 14,5 inci, senapan ini dilengkapi dengan popor teleskopik yang dapat disesuaikan.


Secara dimensi, SS3-M1 memiliki panjang total 871 mm dalam kondisi terentang penuh dan 797 mm dalam kondisi normal. Memiliki bobot 3,25 kg, senjata ini tergolong ringan sehingga memudahkkan pengguna dalam mobilisasi dan pengoperasian. Dari segi desain, SS3-M1 dilengkapi dengan sistem picatinny rail & m-lok pada hand guard untuk pemasangan aksesori dan alat optik tambahan. Selain itu, terdapat pegangan vertikal yang meningkatkan stabilitas serta kenyamanan pengguna dalam mengoperasikan senjata.


Saat ini, SS3-M1 dirancang sebagai senjata standar bagi berbagai satuan terutama untuk satuan dengan tingkat operasional tinggi. Senapan ini memiliki performa kemampuan yang setara dengan senjata basis serupa yang beredar di dunia seperti Colt M4, HK 416, dan Caracal CAR816.


“Salah satu wujud komitmen kami adalah inovasi dalam produk senjata SS3-M1. Penamaan ini merupakan arahan dari Menteri Pertahanan, sehingga pengguna dapat lebih familiar dan seragam dengan penamaan berbagai varian produk PT Pindad. Secara singkat, SS3-M1 adalah senapan serbu 5.56 x 45 mm yang merupakan pengembangan SS1 & SS2,” jelas Sigit P. Santosa.

RTAF and RTA Conducts Joint Taining

02 Maret 2025

Joint RTAF and Royal Thai Army operation training (all photos: RTAF)

The Royal Thai Air Force, represented by the Tactical Air Control Unit (TCS 12), conducted joint training with the Surasee Force (9th Infantry Division) at Thung Lad Ya, Kanchanaburi.


Using the Command and Control Mobile system and other systems that provide real-time situation awareness in close air support operations, including sending a Combat Control Unit (CCT) to join the ground forces to provide advice on the use of air power.


The demonstration and training of air operations to support ground forces this time.


The participating aircraft include:
1. DA-42MNG from Squadron 402, aerial photographic reconnaissance mission,
2. F-16 MLU from Squadron 403, close air support (target attack) mission.


This training is considered an important integration of air forces and ground forces in protecting the sovereignty of the nation, and the peace of the people.

01 Maret 2025

PTDI dan Dassault Aviation Resmikan Design Office untuk Dukung Program Rafale

01 Maret 2025

Peresmian Dassault Aviation-PTDI Design Office di PT DI (photos: PT DI)

Bandung  – PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Dassault Aviation meresmikan Dassault Aviation-PTDI Design Office di Gedung Direktorat Teknologi Lt. 4, PTDI, Bandung. Peresmian ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Potensi Pertahanan (Dirjen Pothan) Kemhan RI, Mayor Jenderal Piek Budyakto, CEO PT Dassault Aviation Indonesia, Jerome Puech, Direktur Niaga Teknologi & Pengembangan PTDI, Moh Arif Faisal, Direktur Produksi PTDI, Dena Hendriana, serta jajaran Manajemen PTDI dan Dassault Aviation.

Fasilitas Design Office ini menjadi tonggak penting dalam implementasi program pengadaan dan industrialisasi pesawat tempur Rafale di Indonesia, seiring dengan kontrak pengadaan 42 unit Rafale oleh Kemhan RI yang telah ditandatangani secara bertahap pada September 2022, Agustus 2023, dan Januari 2024.

Sebagai bagian dari kerja sama Offset dan Transfer of Technology (ToT), Dassault Aviation mendukung PTDI dalam pengembangan Computer Based Training (CBT) untuk sistem Rafale, serta peningkatan kompetensi dalam manajemen proyek, industrialisasi dan integrasi sistem senjata sesuai dengan standar Dassault Aviation.

Terdapat dua area utama dalam fasilitas Design Office ini, yaitu: CBT facility, yang menggunakan diagram interaktif dan grafik 3D real-time untuk memberikan pelatihan mendalam mengenai sistem pesawat Rafale, guna meningkatkan pemahaman teknis bagi kru dan teknisi; serta Weapon Integration Laboratory, yang dirancang untuk meningkatkan kapabilitas PTDI dalam integrasi sistem senjata di pesawat tempur.


Dengan adanya kerja sama ini PTDI juga akan memperoleh teknologi Electronic Warfare (EW), yang merupakan salah satu aspek esensial dalam perkembangan industri pertahanan global. Sistem ini memungkinkan pesawat tempur seperti Rafale untuk mendeteksi, mengganggu, dan menetralisir ancaman elektronik dari musuh, meningkatkan survivabilitas dan efektivitas dalam pertempuran modern. Dengan diperolehnya teknologi EW di PTDI, diharapkan kemampuan nasional dalam pengembangan dan integrasi teknologi peperangan elektronik semakin maju, mendukung kemandirian industri pertahanan Indonesia dalam menghadapi tantangan global.

Di luar kewajiban Offset, PTDI juga akan terlibat dalam Engineering Work Package (EWP) yang mencakup pembangunan fasilitas Maintenance, Repair & Overhaul (MRO) di PTDI, guna memungkinkan perawatan dan perbaikan pesawat tempur di dalam negeri, serta Production Work Package (PWP) untuk mendalami produksi komponen berbasis komposit.

Direktur Niaga Teknologi & Pengembangan PTDI, Moh. Arif Faisal, menyatakan, "Kami berharap kolaborasi antara PTDI dan Dassault Aviation tidak hanya memenuhi kewajiban Offset dan ToT, tetapi juga berkembang melalui skema business-to-business dalam bidang rekayasa dan produksi. Ini merupakan bukti nyata komitmen Dassault Aviation dalam mendukung pertumbuhan industri dirgantara dan pertahanan Indonesia."

Selain berkontribusi dalam program Rafale, Dassault Aviation juga akan mendukung PTDI dalam proses perolehan sertifikasi European Aviation Safety Agency (EASA) untuk pesawat N219. Sertifikasi ini menjadi langkah strategis bagi PTDI untuk memperluas pasar N219 ke tingkat global, khususnya di wilayah Eropa dan negara-negara yang mengacu pada standar EASA.

Dengan pengalaman luas dalam industri penerbangan sipil dan militer, Dassault Aviation akan membantu PTDI dalam aspek compliance engineering, safety assessment, flight test preparation, serta peningkatan kapabilitas sertifikasi pesawat. Dukungan ini tentunya menegaskan komitmen Dassault Aviation dalam pengembangan industri dirgantara nasional, tidak hanya di sektor pertahanan tetapi juga dalam sektor penerbangan sipil.

People’s Liberation Army–Navy Ships Operating Near Australia and New Zealand

01 Maret 2025

Chinese naval task group 107 group looping around the bottom of South Australia (infographic: MG Shahidul)

FROM THE AUSTRALIAN SIDE

Tuesday, 25 February 2025 - 16:30 PM
Update 1

People's Liberation Army-Navy (PLA-N) Task Group 107, comprised of the Jiangkai-class frigate Hengyang, the Renhai-class Cruiser Zunyi, and the Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu, is operating approximately 160 nautical miles (296 kilometres) east of Hobart, inside of Australia’s Exclusive Economic Zone.

Task Group 107 re-entered Australia’s Exclusive Economic Zone in the early hours of this morning.

Australia's Exclusive Economic Zone (image: SeaWeek)

Defence continues to monitor the Task Group while it remains in the vicinity of Australia’s maritime approaches, and is coordinating closely with the New Zealand Defence Force.

Australia expects all militaries operating in the region to engage transparently, maintain the highest standards of safety and professionalism, and we encourage all states to maintain open communication to ensure their actions support regional security and stability.

We respect the right of all states under international law to exercise freedom of navigation and overflight in international waters and airspace, just as we expect others to respect our right to do the same.

The PLAN’s Type 054A frigate Hengyang during its voyage south into the Tasman Sea (photo: ADF)

Thursday, 27 February 2025 - 08:30 AM
Update 2

People's Liberation Army-Navy (PLA-N) Task Group 107, comprised of the Jiangkai-class frigate Hengyang, the Renhai-class Cruiser Zunyi, and the Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu, is operating approximately 296 nautical miles (548 kilometres) west of Hobart, entering the Great Australian Bight.

Defence continues to monitor the Task Group while it remains in the vicinity of Australia’s maritime approaches, and is coordinating closely with the New Zealand Defence Force.

The PLA Navy’s Type 055 cruiser Zunyi is seen in the Solomon Sea (photo: ADF)

Friday, 28 February 2025 - 08:45 AM
Update 3

People's Liberation Army-Navy (PLA-N) Task Group 107, comprised of the Jiangkai-class frigate Hengyang, the Renhai-class Cruiser Zunyi, and the Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu, is operating approximately 320 nautical miles (593 kilometres) south southwest of Adelaide.

Defence continues to monitor the Task Group while it remains in the vicinity of Australia’s maritime approaches.

The Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu of the People’s Liberation Army Navy sails in the Solomon Sea (photo: ADF)

Saturday, 1 March 2025 - 08:35 AM
Update 4

People's Liberation Army-Navy (PLA-N) Task Group 107, comprised of the Jiangkai-class frigate Hengyang, the Renhai-class Cruiser Zunyi, and the Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu, is operating approximately 480 nautical miles (890 kilometres) southwest of Adelaide.

Defence continues to monitor the Task Group while it remains in the vicinity of Australia’s maritime approaches. (Aus MoD)

The Royal Australian Navy ship HMAS Arunta (lower L) sailing near the People's Liberation Army-Navy (PLA-N) Fuchi-class replenishment vessel and Weishanhu Jiangkai-class frigate Hengyang in the Tasman Sea (photo: ADF)

FROM THE NEW ZEALAND SIDE 

22 February 2025
Update 1

The New Zealand Defence Force, in conjunction with Australian authorities, are monitoring a People’s Liberation Army – Navy (PLA-N) Task Group in the Tasman Sea, in international waters about 350 nautical miles northeast of Australia’s Bass Strait.

The Task Group consists of the Jiangkai-class frigate Hengyang, the Renhai-class cruiser Zunyi, and the Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu. 

In close coordination with the Australian Defence Force (ADF), we are monitoring the Task Group’s movements using air and naval assets, and have been doing so since the TG entered Australian waters more than a week ago.

New Zealand's Exclusive Economic Zone (image: NIWA)

On Saturday afternoon the Task Group transmitted a radio message of its intention to conduct live firing, the second such event in two days.

On Friday 21 February, a vessel from the Task Group broadcast a safety message indicating their intent to conduct a live firing activity in the vicinity of the Task Group. Due to the lack of advanced notification of the firing, by standard practice of providing a Notice to Airmen (NOTAM), this activity caused several commercial aircraft to divert course. 

During today’s live firing event, personnel on the New Zealand Navy frigate HMNZS Te Kaha reported observing the Renhai class cruiser firing its main gun.

The NZDF has worked closely with other agencies as this response has developed, including the Civil Aviation Authority to help ensure aviation safety is maintained.

Current New Zealand response
New Zealand continues to coordinate closely with Australia. ADF and NZDF surface and air assets – HMNZS Te Kaha and P-8A Poseidon maritime patrol aircraft flights -- are maintaining a watch over the Task Group.

In addition, the tanker HMNZS Aotearoa is operating in the vicinity of Bass Strait to provide replenishment support to Australian and New Zealand naval vessels as required.

The Chinese task group as seen from HMNZS Te Kaha and Seasprite helicopter (photo: NZDF)

24 February 2025
Update 2

The Chinese naval Task Group of three ships was this morning holding position at around 280 nautical miles east of Tasmania, outside Australia’s EEZ.

The New Zealand Defence Force (NZDF) continues to use ships and aircraft to monitor the Task Group, in close coordination with the Australian Defence Force.

The NZDF assets being used to monitor the Task Group are the Anzac frigate HMNZS Te Kaha and Royal New Zealand Air Force P-8A Poseidon flights.

25 February 2025
Update 3

The Chinese naval Task Group of three ships was this morning 218 nautical miles east of Hobart, Tasmania.

The New Zealand Defence Force (NZDF) is using ships and aircraft to continue to monitor the Task Group, in close coordination with the Australian Defence Force.

The NZDF assets being used to monitor the Task Group are the Anzac-class frigate HMNZS Te Kaha, maritime sustainment vessel HMNZS Aotearoa, and Royal New Zealand Air Force P-8A Poseidon flights.

The Chinese task group as seen from HMNZS Te Kaha and Seasprite helicopter (photo: NZDF)

26 February 2025
Update 4

The Chinese naval task group of three ships was this morning south of Tasmania, inside the Australian EEZ, and moving west.

The Chinese task group as seen from HMNZS Te Kaha and Seasprite helicopter.

The New Zealand Defence Force (NZDF), in close coordination with the Australian Defence Force, continues to monitor the task group.

The NZDF assets being used to monitor the task group are the Anzac-class frigate HMNZS Te Kaha and maritime sustainment vessel HMNZS Aotearoa. 

HMNZS Aotearoa conducts a replenishment at sea with HMNZS Te Kaha (photo: NZDF)

27 February 2025, 10.30am
Update 5

The Chinese naval task group of three ships was this morning west of Tasmania, heading west and entering the Great Australian Bight.

The New Zealand Defence Force (NZDF), in close coordination with the Australian Defence Force, has continued to monitor the task group.  Assets involved have been the Anzac class frigate Te Kaha and maritime sustainment vessel HMNZS Aotearoa, and P8-A Poseidon flights.

Live fire notifications
The New Zealand and Australian Defence Forces have been in constant contact in relation to the Chinese task group’s activities, and continue to work closely together to monitor the situation.

HMNZS Te Kaha’s primary focus when the live firing notification occurred was ensuring the safety of all vessels and aircraft in the area, including civilian ships and aircraft.
Civilian aircraft and authorities were able to share information that enabled those aircraft to take appropriate action in response.

The key point is that while these live fire activities are allowed under international law, the manner in which the task group notified its intentions did not meet best practice.

Boeing P-8A Poseidon (photo: NZDF)

27 February 2025, 10.35pm
Chinese Task Group Monitoring

New Zealand and Australia continue to monitor a Chinese Navy task group as it enters the Great Australian Bight, west of Tasmania.

People’s Liberation Army-Navy (PLA-N) Task Group 107, comprised of PLA-N Jiangkai-class frigate named Hengyang; the PLA-N Renhai cruiser named Zunyi and the PLA-N Fuchi-class replenishment vessel Weishanhu, progressed through Southeast Asia and into Australia’s northern maritime approaches earlier this month.

The New Zealand Defence Force has been tracking the task group through allies and partners since the start of February as it transited into the Arafura sea.

The assets that have been used to monitor the task group are HMNZS Te Kaha, maritime sustainment vessel HMNZS Aotearoa and the Royal New Zealand Air Force (RNZAF) P-8A Poseidon.

Aerial surveillance has been conducted by RNZAF P-8A Poseidon flights since 16 February from the Coral Sea throughout the transit south. RNZAF aircraft have been sharing the tracking and surveillance duties with Royal Australian Air Force P-8A aircraft.

HMNZS Te Kaha departed Whangarei on 17 February bound for the Middle East. The ship has been aligned with the Royal Australian Navy monitoring the task group since 19 February.

HMNZS Aotearoa was directed to provide support to New Zealand and Australian vessels after conducting Antarctic operations, arriving around Tasmania on 19 February where the ship has been in continual service supporting both nations vessels monitoring the task group.

A map from Chinese outlet Tencent News shows the past and projected course of the PLAN's Naval Task Group 107 (infographic: The Diplomat)

28 February 2025
Update 6

The Chinese naval task group of three ships has continued in a westerly direction this morning, across the Great Australian Bight.

Monitoring is being done by Australian military assets, and the Anzac class frigate HMNZS Te Kaha remains in the region. The maritime sustainment ship HMNZS Aotearoa has finished its replenishment tasks and is now heading for port.
 
The New Zealand Defence Force remains ready to support Australia by providing military assets for further monitoring should the need arise.  

Gripen RTAF Sukses Lakukan Pendaratan dan Take Off di Jalan Raya

01 Maret 2025

Latihan pendaratan dan take off di jalan raya ini merupakan kelanjutan bertahap dari pengujian di landasan pacu pendek di Wing 5 hingga pengujian di area sempit di landasan pacu Wing 7 dan diakhiri dengan pendaratan dan take off di jalan raya no 4287 di Songkhla, Thailand Selatan (all photos: RTAF)

Operasi pendaratan di jalan raya pertama pesawat JAS-39 Gripen Angkatan Udara Kerajaan Thailand telah selesai. Hal ini tentu akan menggembirakan warga setempat yang menyaksikan jet tempur lepas landas dan mendarat di jalan yang digunakan sehari-hari.

Distrik Songkhla adalah daerah perbukitan di dekat perbatasan Malaysia (photo: TAF) 

Kebutuhan untuk menggunakan jalan sebagai landasan pacu muncul dari konsep Operasi Penyebaran, yang menyebarkan risiko operasi penerbangan ke berbagai lokasi.

Swedia, produsen Gripen, memiliki wilayah daratan yang kecil, dengan cukup banyak bandara. Tetapi negara ini harus berhadapan dengan Rusia yang memiliki sejumlah besar pesawat. Jika perang pecah, Swedia memperkirakan Rusia akan menghancurkan beberapa lapangan terbang dan pangkalan udara milik Swedia, oleh karena itu menggabungkan pesawat di satu tempat sangatlah berisiko.

Ini akan memungkinkan Swedia untuk menyebarkan pesawatnya ke berbagai lokasi, dengan 1-2 pesawat atau 1 skuadron, bersama dengan tim pendukung kecil. Agar pesawat dapat menyebar ke lokasi berbeda, lepas landas untuk menghadapi pesawat Rusia, segera kembali, mengisi bahan bakar, mempersenjatai diri, dan kembali. Melakukan hal ini secara berulang-ulang akan mengurangi waktu kill loop, sehingga jumlah pesawat yang menggunakan senjata lebih sedikit daripada jumlah pesawat yang lebih banyak.

Meskipun Gripen bukan satu-satunya pesawat yang mampu melakukan operasi berbasis jalan raya, karena bila jalan raya dirancang dengan baik dan ada perencanaan yang tepat, Jet tempur apa pun dapat beroperasi di jalan raya. Namun karena Gripen sejak awal dirancang dengan tujuan beroperasi di jalan raya, oleh karena itu ada banyak rancangan yang memudahkan pengoperasian. Baik itu jarak tempuh naik turun yang pendek, kemampuan untuk mengisi bahan bakar dan melengkapi hanya dalam waktu 15 menit, serta peralatan pendukung lainnya, dirancang untuk memungkinkan operasi skala kecil yang dapat dikerahkan ke berbagai lokasi dan mendukung pesawat.

Meskipun Angkatan Udara Kerajaan Thailand mungkin tidak memperoleh semua peralatan yang dibutuhkan untuk operasi jalan raya, Namun secara keseluruhan, Angkatan Udara Kerajaan Thailand juga mampu mengadaptasi peralatan yang tersedia di pangkalan untuk mendukung operasi lepas landas dan pendaratan di jalan raya pertama ini. Seperti kendaraan pembersih landasan pacu, mobil pemadam kebakaran, kendaraan pengisian bahan bakar atau perlengkapan pendukung lainnya, yang sekaligus menunjukkan salah satu kemampuan Angkatan Udara Kerajaan Thailand yang semakin meningkat. 

Setelah pendaratan Gripen, Jalan raya no. 4287 di Songkhla, Thailand Selatan difungsikan kembali sebagai jalan raya biasa (photo: TAF)

Dan ini mungkin membuka jalan bagi doktrin atau strategi yang lebih serius untuk operasi di jalan raya. Ini akan memungkinkan pesawat lain seperti F-16, F-5, T-50, atau Alpha Jet untuk dilatih di jalan raya di masa mendatang.

(TAF)